satu

64 39 3
                                    

"Nama saya Amelia Ratu Berliana, korban bencana banjir di kota SukaKamu, orangtua saya tidak terselamatkan. Terseret arus. Saya harap kita bisa berteman dengan baik." Amel mengakhiri perkenalan dirinya. Sekolah baru, rumah baru, suasana baru, semua baru deh.

"Turut berduka cita Amel," ucap ibu guru.

"Iya bu."

"Baiklah, ada yang mau ditanyakan?"

Amel melihat sekeliling kelasnya, dan mendapati seorang lelaki yang duduk didekat jendela tengah memakan sesuatu, dan bungkusannya dibuang dari jendela.

"Hei! Jangan buang sampah sembarangan!"

Seisi kelas memandang Amel, ibu guru mengikuti arah pandang Amel.

"Reihan! Berapa kali ibu katakan jangan makan dikelas!!" ibu guru membentak lelaki itu, membentak karna lelaki itu ah lebih tepatnya Reihan, karna Reihan makan dikelas, tidak mempermasalahkan tentang sampah yang dibuangnya.

Reihan menatap Amel sinis. Baiklah Amel, dihari pertamamu kau sudah mendapatkan musuh bukannya pacar.

***

Tettt

Bel pergantian pelajaran berbunyi, pelajaran setelah ini adalah sejarah atau ips, ah sama saja kalau disini.

Sejarah? Membahas yang sudah lalu? Ya tentang perjuangan pahlawan kita dulu, bukan kenangan kita bersama mantan.

Baiklah, itu gurunya, bu Ros namanya, Amel baru tau dari teman sebangkunya tadi. Satu-satunya orang yang tidak menatap Amel sinis, Rani namanya.

"Baik, buka buku, halaman 57!"

Semua murid membuka buku paketnya, kecuali Amel, karena dia belum kebagian buku paket.

Perang Dunia II

Ah melihat pembahasan kali ini, Amel terlihat lemas. Perang? Ah ayolah, bagaimana jika dulu, yang hidup dijaman dulu itu kami. Generasi kami yang hancur ini hidup dijaman dulu. Bagaimana mau perang? Bahkan membuang sampah ketempatnya saja tidak bisa, bagaimana mau perang?

"Uda elah, ngapain lo repot-repot buang ketempat sampah, kayak anak tk aja!" Amel tertawa diikuti tawa temannya yang lain.

Pia, gadis yang membuang sampah ketempat sampah tadi tersenyum "emang cuma anak tk yang buang sampah itu ditempat sampah?"

Amel terdiam. "Iya kali, kitakan uda besar juga, enggak usah lah, biarin aja, enggak masalah juga, lagipula ada penyapu jalan."

"Ngandelin penyapu jalan doang? Penyapu jalan juga harusnya dibantu, apasih susahnya cuma buang ketempatnya. Mantan aja mau lo buang ketempat sampah, masa sampah enggak mau." Pia terkekeh.

"Terserah lo deh Pia, kalah gua ngomong sama lo."

"Mel! Amel!" Rani menggoncang-goncang bahu Amel, setelah sekian lama Rani berusaha menyadarkan Amel dari lamunannya dan akhirnya Amel tersadar.

"Iya?" tanya Amel bingung.

"Lo ngelamunin apasih? Serius amat."

Amel tersenyum "bukan apa-apa."

Rani hanya memutar bola matanya malas.

Pelajaran yang membosankan itupun terus berjalan...

***

Tetttttt

Bel istirahat berbunyi, diiringi teriakan gembira para siswa. hamburan lautan manusia terlihat menuju satu tempat, kantin.

"Mel ga ke kantin?" tanya Rani memegang bahu Amel pelan, menyadarkan Amel dari lamunannya.. Mendapat pertanyaan dari Rani Amel mengangguk pelan "Uhm... bisa tunjukin gua dimana?" tanya Amel seraya menyunggingkan senyum kikuk dibibirnya.

"ahh, gua lupa lu murid baru, ayo!" Melangkah beriringan menuju kantin, yang ada hanya kecanggungan diantara mereka. Tak ada percakapan, yang ada hanya suara siswa-siswi yang berbincang saat istirahat.

"Em... Mel?"

"Ya?"

"Itu... Apa orang tua lu benar kebawa banjir?" Berusaha memecah kecanggungan Rani menanyakan pertanyaan yang cukup sensitif kepada Amel. Menyadari hal itu ada seberkas rasa takut di hati Rani.

"Iya, mereka direnggut paksa dari gua. Mungkin untuk menyadarkan gua agar perduli pada lingkungan" Menjawab dengan senyuman dibibir, membuat yang mendengarnya menyadari betapa kuatnya gadis ini.

"Maaf ya" Ujar Rani tiba-tiba.

"Eh? Untuk apa?" Memiringkan kepala heran, menatap wajah Rani yang tertunduk, membuat banyak pertanyaan muncul di benak Amel. Namun, yang ia dapat hanya gelengan lemah dari Rani.

"Ayo cepat Mel! Nanti makanannya ludes" Melangkah cepat kekantin, Rani meninggalkan Amel cukup jauh dibelakangnya. Amel yang tertinggal hanya menggelengkan kepala pelan seraya terkekeh pelan akan tingkah teman barunya itu.

Tungkai kecil itu menapaki koridor sekolah yang tak terlalu ramai, melupakan tujuan nya yang ingin mengisi perutnya di kantin. Ditengah acara kelilingnya, netra milik sang siswi baru ini menangkap hal yang sekarang sangat dibencinya.

Reihan, teman sekelasnya itu kembali membuang sembarangan sampah-sampah itu. Bukan Amel merasa dia paling benar, dia hanya tak mau mereka mendapat nasib sama sepertinya. Selain karna dia sudah bertekad untuk membersihkan Indonesia dari sampah.

"Kenapa lu buang sampah sembarangan lagi?" Ujar Amel lantang kepada Reihan. Sedang yang di ajak bicara, sama sekali tak perduli yang dikatakan amel.

"Berisik ahh, jangan sok best deh lu. minggir gua mau lewat." Ucapan Reihan membuat Amel naik darah. tak dapat lagi menahan luapan emosinya Amel menerik tangan Reihan kedepannya.

"Buang sampah itu kesana!" Teriakan Amel mengundang kehebohan siswa, perlahan siswa-siswi itu mendekati tempat mereka. Reihan yang sejatinya tak suka keramaian melakukan perintah dari Amel walaupun dengan berat hati.

"Lu dah buat gua malu, lu juga sampah masyarakat yang harus dibuang pada tempatnya, yatim." Kata-kata Reihan menusuk ulu hati Amel. Sangat sakit rasanya bagai diiris pisau, tanpa sadar cairan bening mengalir di pipi putihnya, membentuk aliran sungai kecil disana.

Reihan yang menyadari itu hanya mendecih sebal seraya beranjak dari tempatnya berdiri. Kerumunan siswa-siswi tadi pun sudah berangsur menghilang, menyisakan Amel yang menundukan kepalanya. Sepertinya, balasan untuk perintah membuang sampah... terlalu berat bukan?

Teriakan Sang AlamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang