Enam

44 32 0
                                    

Langkah beberapa orang yang terburu-buru terdengar di tengah hutan. Tak perduli akan apa yang mereka lintasi mendengar ada seorang gadis yang hampi kehilangan nyawanya.

Drap Drap Drap

Semakin cepat langkah-langkah kaki itu terdengar, menandakan mereka benar-benar panik saat ini.

"Liana, apa masih jauh?!" Seru dokter Anisa panik seraya mempercepat langkah kaki nya.

"Ga jauh lagi dokter, di bagian hilir sungai." jawab Amel.

"Disana!" Teriak Amel.

Melihat pemandangan didepannya dokter Anisa menutup mulutnya dengan satu tangan, Amel yang menyembunyikan wajahnya di balik punggung sang sepupu, sedang Farel mengalihkan pandangannya.

Didepan mereka terbaring lemas seoarang gadis dengan tubuh penuh darah, sepertinya gadis itu telah di serang oleh binatang buas.

Bergerak cepat, insting seorang dokter yang memang wajib dimiliki seorang dokter, keluar dari dalam diri Anisa. Mendekati tubuh gadis itu cepat dan berusaha mengangkatnya.

Namun tenaganya tak cukup kuat untuk mengangkat tubuh gadis itu, melihat Anisa yang kesusahan Farel lantas membantu. Diangkatnya tubuh tak berdaya gadis itu lebih mendekati kearah sungai.

"Amel tolong basuh luka gadis itu dengan air!" perintah Anisa, Amel yang mendengarnya mengangguk cepat dan melakukan apa yang di perintahkan oleh dokter Anisa.

Anisa sendiri merobek cepat syal yang ia pakai, dan mengeluarkan obat antiseptik. Dituangkannya cairan itu keluka gadis tersebut lalu dibalutnya luka yang sebelumnya telah dibersihkan oleh Amel.

Seluruh luka gadis yang belum diketahui namanya itu telah selesai ditangani. Namun ada satu hal yang masih membuat dahi Anisa mengkerut.

"Apa gadis ini menderita asma?" batinnya bertanya, melihat pernafasan yang tak stabil dari pasien dadakannya ini. Diperiksanya tubuh gadis itu, dan benar saja. Gejala-gejala asma dimiliki oleh gadis itu.

"Ada apa Nis?" tanya Farel bingung melihat Anisa yang sibuk memeriksa gadis itu.

"Asma, gadis ini mengidap asma." jawab Anisa.

Tangannya sibuk mencari-cari obat yang biasanya selalu dianjurkan untuk dibawa setiap saat oleh dokter.

"Apa dia ga bawa obatnya? Bisa tolong carikan di sekitar sini? Mungkin terjatuh ketika dirinya di serang, kita harus cepat lukanya belum tertutup sempurna." Jelas anisa tegas.

Sementara Farel dan Amel mencari-cari obat yang di maksud Anisa. Anisa sendiri mencoba melalukan pertolongan pertama serta berusaha tetap menjaga kesadaran sang gadis yang kira-kira umurnya sebaya dengan Amel.

"Hei, pertahankan kesadaran mu." ujarnya sambil menepuk-nepuk pipi gadis itu pelan.

"Kenapa bisa seperti ini?" ujarnya lagi kepada gadis yang dalam keadaan antara sadar dengan tidak. Gadis itu nampak sangat sulit bernafas, sesekali terbatuk dengan mata yang menyipit sayu.

Anisa yang melihat hal itu dengan pandangan sendu semakin tak tega. Dia tak tau harus melakukan apa, seluruh alat-alat kesehatannya ia tinggalkan di tenda kesehatan, yang dapat Anisa lakukan hanyalah berdoa agar Farel dan Amel menemukan obat asma yang menurut dirinya pasti terjatuh disekitar sini.

"Dokter! Dokter Anisa!" Suara Amel terdengar dari dalam hutan. perlahan tubuhAmel mulai terlihat sepenuhnya, diikuti Farel di belakangnya.

"Apa kau temukan obatnya Liana?" tanya Anisa penuh harap.

"Aku kurang yakin tapi... Apa ini?" ujarnya agak ragu, diulurkannya tangannya kedepan, menunjukkan apa yang didapatnya setelah beberapa puluh menit mencari.

"Iya, Itu bisa dibilang itu obat asma. Bisa berikan kepadaku Liana?" Amel memberikan Alat ataupun obat bernama VENTOLIN HFA Inhaler atau dapat juga disebut obat semprot asma, kepada Anisa.

Dengan sigap Anisa memasukkan ujung alat tersebut kedalam mulut Gadis itu, lalu ditekannya perlahan bagian atas dari alat itu.

pernafasan gadis itu sekarang tak seburuk tadi, walaupun begitu mereka harus cepat membawanya ke tenda.

"Farel bisa tolong kau angkat dia?"

"Ya tentu." jawab Farel, diangkatnya gadis itu didepan dada untuk mengantisipasi akan terbukanya luka-luka yang belum ditutup secara sempurna itu.

"Ayo cepat." ujar Anisa kepada Farel dan Amel.

****

Matahari sudah tak lagi tampak di atas langit, perjalanan dari hilir sungai menuju tenda perkemahan memakan waktu cukup lama.

Didepan tenda kesehatan, nampak beberapa orang menunggu disana. Banyak diantara mereka adalah panitia dari acara perkemahan ini.

"Kemana kamu Amelia?" tanya salah seorang panitia.

"Saya membersihkan sampah-sampah pak." jawabnya dengan kepala tertunduk.

"Ap-"

"Maaf menyela, pak." potong Farel tiba-tiba.

"Saya rasa Amelia tidak perlu disalahkan, bila dia mengikuti arahan yang diberikan mungkin saat ini gadis itu tak bisa menghirup udara lagi." Lanjut Farel mengeluarkan pendapatnya, sedangkan panitia yang tadi bertanya kepada Amel hanya diam dan mengaggukkan kepalanya.

Hening mendominasi keadaan saat ini, didalam tenda kesehatan itu dokter Anisa berusaha untuk menutup luka-luka gadis itu.

Anisa keluar dari tenda kesehatan itu dengan beberapa bulir keringat menetes dari pelipisnya.

"Ada beberapa luka yang harus dijahit, dia harus segera dibawa kerumah sakit. Waktu yang kami butuhkan untuk membawanya dari hilir sungai kemari cukup memakan waktu, bila tidak segera luka gadis malang itu akan terkena infeksi." jelas Anisa.

"Kita harus segera antarkan dia kerumah sakit, jangan lupa hubungi juga keluarganya." Ketua panitia itu mengeluarkan titahnya.

"Kalian..." panggilnya kepada Farel dan Amel.

"Bergabunglah dengan yang lain, masalah disini susah selesai." lanjutnya. Farel dan Amel mengganguk pelan dan berlalu dari hadapan panitia-panitia tersebut.

Langkah Farel terhenti, melihat kebelakang kearah Anisa tepatnya. Anisa yang merasa dirinya dipandang hanya mengisyaratkan untuk lebih dulu pergi, dengan mengibas-ngibaskan telapak tangannya.

Farel mengangguk dan menyusul Amel yang sudah lebih dulu melangkah di depannya.

"Bagaimana Anisa? perkembangan psikologi anak itu?" tanya ketua tadi kepada Anisa, wajahnya yang tadi tersenyum manis berubah ke mode serius. Menatap wajah ketua tersebut dengan serius, sepertinya topik yang mereka bicarakan sangatlah penting.

"Dari luar sepertinya dia baik-baik saja, tidak terlihat tekanan mental yang negatif dalam dirinya. Saraf-saraf dan kondisi kesehatannya stabil." jawab Anisa.

"Saya belum tau pasti keadaannya dari sisi dalam. Namun, peristiwa itu sepertinya membawa beberapa dampak positif, beberapa sifat buruknya berubah, dia lebih memperhatikan lingkungan. Sepertinya ada beberapa faktor yang menambah tekadnya itu." lanjut Anisa menjelaskan kondisi Amelia kepada sang ketua. Saat ini mereka hanya berdua didepan tenda kesehatan itu.

Gadis yang tadi hampir kehilangan nyawanya itu telah diantarkan kerumah sakit. Keluarganya pun telah dihubungi.

"Bila ada perkembangan berikutnya, akan segera saya katakan. Saya mohon undur diri." ujar Anisa menundukkan badannya sedikit. Ketua Panitia ini hanya menganggukkan kepalanya tanda mengizinkan.

Anisa beranjak dari tempatnya, melangkahkan kakinya kearah acara api unggun yang akan segera dimulai.

"Kenapa lama sekali Nis?" tanya Farel menggeserkan sedikit tempatnya duduk, memberikan isyarat kepada Anisa untuk duduk disampingnya.

"Gapapa, hanya ada beberapa yang harus diurus tadi." jawab Anisa seraya tersenyum.

Teriakan Sang AlamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang