Wanita Tua

1.6K 119 18
                                    

Esoknya aku berangkat sekolah seperti biasanya. Saat istirahat siang, Aku, Rendy, Tata dan Lina membicarakan tugas kelompok kami.

"Lagi sih bukan langsung kemarin aja pulang sekolah kita kerjain" ujar Tata.

"Lah itu cowok-cowok malah pada ke warnet, Ta!" timpal Lina.

"Yaudah, hari ini aja pada ngerjain di rumah gue gimana?" jawab Rendy.

Tata pun langsung menyahuti, "Oke! Tapi minum sama cemilan lo yang sediain ya!"

"Setuju!" Jawab Lina ikut-ikutan.

"Iya-iya! Lo gimana, Dly? Bisa hari ini?"

"Bisa kok. Ohya, ada yang bawa catetan tugasnya apa gak?"

"Gue bawa kok nih. Bentar ya"

Lina pun langsung mencari-cari buku catatannya. Kulihat, ia mengeluarkan sebuah buku dari kolong mejanya.

Ah!
Buku itu!
Buku berwaran hitam itu mengingatkanku pada sesuatu.
Ya. Buku Diary itu!

Sial.
Tadi malam aku tak sempat mencari buku itu lagi.
Padahal sudah kuputuskan untuk membuktikan bahwa kejadian dua hari berturut ini hanya kebetulan belaka. 

Ah ya!
Tunggu sebentar.
Kejadian yang dialami penulis buku itu berlangsung setiap harinya.

Aku baru membaca tiga hari pertama. Dua hari kemarin sudah terjadi hal yang sama. Maka seharusnya hari ini adalah hari ketiga!

Hari ketiga.
Apa yang dialami si penulis buku Diary itu?
Kalau tidak salah, ia pulang larut malam dan menabrak seseorang dengan mobil.

Hari ini sepulang sekolah, aku akan kerja kelompok dan bisa sampai larut malam. Kurasa ini adalah kesempatanku membuktikan bahwa kejadian dua hari kemarin hanyalah kebetulan belaka.

Dan jika aku bisa pulang hari ini tanpa mengalami kejadian aneh, hal itu akan jadi bukti bahwa Diary itu hanya omong kosong. Aku tak akan menunggu truk sampah datang untuk membuangnya. Akan langsung kubakar buku itu!

Benar saja. Kami mengerjakan tugas kelompok hingga larut malam.

"Kalian pulang pada gimana?" Tanya Rendy.

"Gue dijemput sama bokap nih. Bentar lagi sampe" jawab Lina.

"Tebengin gue balik dong, Ren! Ga jauh banget sih tapi tetep aja serem kalo pulang malem gini sendirian" pinta Tata.

"Iya-iya. Lo gimana, Dly? Ada yang jemput?"

"Kayaknya enggak nih. Supir gue masih sama bokap lagi ke kota sebelah" jawabku setelah membaca pesan di handphone.

Ah sial!
Bagaimana caranya agar aku pulang bisa naik mobil?
Jika aku pulang dengan naik ojek, apakah kejadiannya akan dianggap sama?
Motor juga bisa saja kan menabrak seseorang?

"Yaudah lo sekalian gue anter deh. Bentar ya gue ngeluarin mobil dulu" ujar Rendy memecah lamunanku.

"T-thanks, Ren"

Kurasa rencanaku akan tetap berjalan, pikirku.

Tata sudah turun dari mobil beberapa saat yang lalu. Sekarang aku dan Rendy sedang menuju rumahku.

Sepanjang jalanan ini tidak kutemui lampu. Penerangan hanya mengandalkan lampu mobil kami.

Kiri dan kananku hanyalah pepohonan. Entah lah ini benar-benar hutan atau pepohonan milik warga.

Jalannya cukup lebar. Meskipun hanya dilapisi kerikil yang belum di aspal. Membuat Rendy mengendarai mobilnya dengan sedikit laju kencang.

Bunyi letukannya dengan ban. Suara jangkrik di sana-sini. Diselingi deru mesin yang berpacu. Semua terdengar jelas di telingaku.

Aku baru pertama kali melewati jalan ini. Suasananya terasa cukup asing untukku. Aku menoleh ke samping, tempat si pengemudi mobil ini berada. Kulihat Rendy sedikit kesulitan menahan berat kantung matanya.

"Ren, lo ngantuk?"

CKIIITT...

BRAAKKK!!

"Hah.. hah.."

Aku tak sempat mencerna otakku.
Semua terjadi begitu cepat!
Bahkan rasanya aku sampai lupa untuk bernafas. Tiba-tiba semua terasa begitu menyesakkan.

Yang sempat kulihat dari sudut mataku ini adalah wanita tua yang menyebrang jalan. Detik berikutnya mobil kami sudah melenyapkan wanita itu.

Wanita tua yang tadi menyebrang jalan itu!
Lenyap!

Lenyapnya wanita itu digantikan cipratan cairan berwarna merah di kaca mobil.

Mataku membelalak.
Nafasku memburu.
Keringat membanjiri pelipisku di mobil ber-ac ini.

Tunggu!
Tunggu dulu!
Apa kami sudah menabrak seseorang?
Apa kami sudah membunuh seseorang?!

Masih dengan tubuh gemetar, aku langsung membuka pintu mobil. Perlahan demi perlahan aku berjalan ke depan mobil.

Ku arahkan pandanganku ke jalan di depan mobil. Tak ku kedipkan mataku sekali pun. Mataku terasa kering. Sekering kerongkongan ini yang sudah menelan ludahku berkali-kali.

Tidak ada.
Tidak ada siapa-siapa!

Wanita tua yang kulihat berada di depan mobil kami beberapa detik lalu tidak ada!
Lenyap!
Hilang!
Bahkan bercak darah yang menutupi kaca mobil kami pun lenyap.

Ku sapukan pandanganku ke sekitar. Tidak ada apa-apa. Dengan langkah cepat ku kelilingi mobil sambil melihat kesana kemari. Tidak ada juga. Tidak ada orang satupun. Aku langsung bergegas masuk ke dalam mobil.

Aku pun diam dan berpikir sejenak. Lamunan hanyu dalam keheningan.
Apa tadi itu hanya halusinasiku lagi?
Lalu kenapa Rendy tiba-tiba mengerem mendadak?

"Sorry, Dly. Tadi gue agak ngantuk" ujar Rendy membuka percakapan.

"Eh.. Ren, ta-tadi.. lo.. Eh.. hampir nabrak apa?" tanyaku masih dalam keadaan gugup.

"Ada kucing tadi lewat tiba-tiba. Warnanya item lagi gak keliatan. Bikin gue ngerem mendadak! Mati ga tuh kucingnya?"

"Gue gak liat apa-apa..."

"Ya syukur deh. Sorry ya jadi bikin lo panik kayak gitu"

"Tapi bener yang lo liat itu cuma kucing?"

"Iyalah. Masa lo ga liat tadi? Lagi ditempat sepi begini mau nabrak apaan lagi gue? Pohon?!"

"Bu-bukan orang kan? Kayak perempuan agak tua gitu?"

"Wah lo sepanik itu sampe ngayal ya, Dly? Tadi lo keluar kan? Lo liat ada orang ga di sekitar sini?"

"Gak ada..."

Rendy pun langsung menancapkan gas.

Disepanjang jalan kami hanya diam. Mungkin Rendy akan menganggapku gila atau aneh karena omonganku tadi. Aku tidak perduli. Aku terlalu sibuk dengan pikiran ruwetku.

Apa ini halusinasiku lagi?
Tapi rasanya ini terlalu nyata untuk menjadi khayalan!

Aku harus temukan buku itu. Aku tak boleh membacanya lagi. Aku harus membakarnya sebelum kewarasanku semakin terpengaruh dengannya!

Sesampai dirumah, aku langsung mencari buku Diary itu. Ku obrak-abrik kamarku. Ku keluarkan semua barang-barang dalam kardusku. Hilang. Buku itu tidak ada.

"Bi, Bi Inah!" Teriakku.

"Iya kenapa, Den? Astaga ini kamar kenapa berantakan gini?" ujar Bi Inah terkejut saat melihat keadaan kamarku.

"Bi Inah liat buku yang sampulnya hitam gitu ga? Udah agak lusuh gitu bukunya"

"Ih, Bi Inah kan ga pernah masuk kamar Den Adly! Katanya Den Adly sendiri yang mau benahin kamar. Eh ini kenapa malah diberantakin?"

"Iya nanti kurapihin. Makasih, Bi."

Seharusnya memang tidak ada orang lain lagi yang masuk ke kamarku selain Bi Inah.

Apa buku Diary itu benar-benar hilang?
Mungkin, jika buku itu hilang merupakan hal yang bagus buatku.
Ya.
Mungkin dengan hilangnya buku itu, kehidupanku akan kembali seperti biasanya.

Aku tidak akan dihantui oleh kejadian-kejadian aneh lagi. Aku harus melupakan tentang Diary itu!

DIARY 1987Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang