Kembali

1.3K 95 21
                                    

"Adly, sini!" teriak seorang perempuan dari kejauhan.

Ia berdiri dari bangkunya. Tangannya pun melambai-lambai ke arahku. Tak lupa senyum sumringah di wajahnya. Menampilkan deretan gigi yang cemerlang.

"Tante Maya! Udah lama nunggu di sini?" tanyaku sambil menghampiri perempuan yang tak bukan adalah tanteku.

Sampai di hadapannya, Tante Maya langsung merangkulku. Diikuti kecupan di pipi kiri dan kananku.

"Engga, Tante juga baru sampe kok! Sini duduk." Ujarnya mempersilahkanku duduk di bangku yang berhadapan denganya.

"Gimana temen-temen Adly? Gapapa Adly tinggal?"

"Gapapa, Tante. Mereka juga pada pulang karena udah sore. Itu tadi Adly di anter kok sampe depan karna sekalian lewat."

"Oh syukur deh. Yaudah kamu pesen dulu gih." Ujar Tante Maya sambil menyodorkan buku menu yang sedari tadi tergeletak di atas meja.

Aku pun membolak-balik buku menu sebentar. Ku angkat tangan kananku. Seorang pelayan datang menhampiri. Kupesan Orange Squash. Pelayan itu mencatat lalu pergi. Kuletakkan kembali buku menu di atas meja.

"Ohya, gimana sekolah Adly? Udah terbiasa belum?" Tanya Tante Maya.

"Iya udah kok, Tante. Pelajarannya sama. Temen-temen kelas juga baik-baik."

"Syukur deh kalo Adly udah akrab sama banyak orang di sini. Siapa aja temennya Adly? Ceritain ke Tante dong!"

"Gak banyak kok, Tante. Tadi itu temen sekolah Adly yang juga duduknya deketan. Adly duduk sebangku sm yang namanya Rendy. Depan Adly ada Tata sama Lina. Kita akrab juga gara-gara kerja kelompok."

"Aduh, Tante jadi kangen sekolah deh! Terus di rumah gimana? Udah bebenah? Nyaman ga rumah barunya?" Tanya Tante Maya bertubi-tubi.

"Nyaman kok. Cuma emang belum bebenah barang-barang aja. Semua barang masih pada di kardus. Adly belum sempet buat rapihin kamar aja." Jawabku sambil menggaruk-garuk pipiku yang tak gatal.

"Loh kan udah seminggu pindahan masa belum rapih-rapih? Kenapa ga minta tolong Bi Inah aja? Ohya, Bi Inah gimana kabarnya? Sama pak supir baru kamu itu?" Tanyanya lagi bertubi-tubi.

"Pak Ujang namanya. Baik kok, mereka sehat-sehat aja. Adly udah janji mau beresin kamar sendiri, Tante. Jadi ga mau ngerepotin Bi Inah."

Pesananku pun kemudian datang. Ku aduk-aduk minuman di gelas itu dengan sedotan.

Tante Maya ini memang begitu cerewet. Rasanya aku selalu menahan nafas jika Tante Maya sudah melontarkan rentetan pertanyaan. Tapi aku tau bahwa itu adalah bentuk kasih sayangnya padaku. Jadi aku tak pernah kesal pada kebiasaannya itu. Hanya memang tidak pernah terbiasa saja.

Sedetik kemudian aku mulai tersadar. Sejak tadi, Tanteku ini hanya membicarakan seputar kehidupanku dan orang-orang disekitarku saja. Ia tak pernah sekalipun menanyakan tentang ayahku.

"Kalo ayah sekarang sibuk ngurusin kerjaannya semenjak dimutasi." Ujarku membuka percakapan kembali.

"Oh." Jawab Tanteku sekenanya.

Semenjak aku menyeruput minuman, kulihat ia sibuk dengan handphonenya. Matanya pun tak lepas dari layar ponsel.

Selalu begini.

Setiap aku membawa topik tentang ayahku, Tante Maya selalu menghindarinya atau menjawab sekenanya. Responnya selalu terasa dingin. Aku tak pernah tau sebenarnya apa masalah yang pernah terjadi di antara Tante Maya dan Ayahku.

"Ah, Adly! Sebenernya Tante dateng kemari bukan tanpa alasan." Ujarnya tiba-tiba.

Ia pun sudah meletakkan kembali handphonenya di meja.

"Emang apa, Tante?" tanyaku.

"Kan Adly udah seminggu tinggal disini. Adly gak ngerasa kangen Jakarta? Kangen suasananya, temen-temen di sana atau Om Hans gitu?" Tanyanya.

Aku pun sedikit menyerngit mendengar pertanyaan Tante Maya. Menurutku, pertanyaannya sedikit aneh. Sudah pasti jawabannya adalah 'iya'. Sejak lahir aku tinggal di sana. Mustahil rasanya kalau sedikitpun aku tak pernah merasa rindu pada tempat tinggalku dulu.

"Ya kangen lah, Tante. Emang kenapa, Tante?"

"Mungkin Tante udah ngomong ini ke Adly berkali-kali, dari semenjak Adly masih di Jakarta sampe Adly mau ke bandara," kalimatnya terhenti. Raut wajahnya tiba-tiba serius. Dengan nada pelan, ia melanjutkan kalimatnya, "Tapi Adly bener gak mau tinggal di Jakarta aja?" Tanyanya.

Aku pun melepaskan jemariku dari sedotan yang sedari tadi ku putar-putar. Ku senderkan punggungku ke sandaran kursi.

"Tinggal lagi sama Tante dan Om Hans? Tante ngerasa ini belum terlambat buat Adly mikir-mikir lagi. Apalagi Adly kan udah ngerasain tinggal disini. Jadi Adly bisa bandingin kan." Ujarnya lagi. Kali ini cukup panjang.

Aku pun terdiam. Memikirkan kembali kata-kata Tante Maya.

Aku memang merasa rindu akan kehidupanku sebelum pindah ke Balikpapan. Terlalu banyak kenangan di tempat tinggalku dulu. Juga rasa rindu pada wajah-wajah yang dulu sangat familiar.

Di sini, di tempat baruku ini. Di tempat yang begitu asing ini. Hanya ada ayah dan Bi Inah. Kehadiran mereka mengatakan, aku tidak sendirian.

Orang-orang yang kutinggalkan. Suasana yang kurindukan. Tempat-tempat yang penuh kenangan. Semua ada di sana.

Ditambah kejadian aneh akhir-akhir ini. Yang timbul semenjak aku pindah rumah. Rasanya benar-benar menguras mentalku.

Saat aku larut dalam pikiran, tiba-tiba Tante Maya membuka mulutnya kembali.

"Dan satu hal lagi, Adly. Kuburan ibumu ada di sana."

Deg!

Seketika dadaku terasa sesak. Seperti beban yang tiba-tiba dijatuhkan ke diriku. Kalimat itu benar-benar membuatku terdiam mematung.

Ah. Benar.

Itu adalah satu-satunya tempat kenangan yang tersisa dari ibu. Aku merasa tenang karena tau dimana dia.

Meski jasadnya mungkin kini hanya sisa tulang-belulang. Meski aku tak tahu bagaimana rupa di dalam gundukan tanah itu. Meski yang kulihat hanyalah gundukan tanah dan tumpukan batu.

Aku bisa pergi kemanapun. Aku bebas bergerak. Aku bisa menemui siapa saja. Tapi ibu hanya tinggal di situ. Ibu bersemayam di dalam situ. Ibu hanya bisa ditemui olehku dan orang-orang yang masih mengingatnya.

Yah.

Mungkin ada benarnya kata-kata Tante Maya.

Belum terlambat jika aku ingin tinggal bersama Tante Maya dan Om Hans.

Bukan sebuah dosajika dalam hatiku berkata, aku ingin kembali. 

DIARY 1987Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang