Mimpi

1.5K 99 8
                                    

Saat libur begini, aku yang masih pulas tertidur di atas kasurku langsung terbangun mendengar suara ribut di kamar lain. Suara percakapan dua orang dengan penuh nada emosi.

Sempat ingin kuhiraukan suara-suara bising itu dan lanjut untuk tidur kembali. Paling-paling Bi Inah mengomeli Pak Ujang lagi karena menggoda pembantu tetangga sebelah, pikirku. Tetapi lama-lama suara itu menganggu juga.

Aku pun langsung bangkit dari kasurku dan berjalan ke luar kamar. Kupertajam telingaku mencari sumber suara keributan itu. Arah suaranya dari kananku. Ku langkahkan kaki menuju ruangan dimana sumber suara itu menggema.

Di depan ruangan, baru terasa sedikit jelas suara keributan ini. Suara perempuan berteriak histeris.

Perasaan apa ini?
Antara ketakutan dan penasaran bercampur aduk membuatku makin kalut. Telingaku berdenging mendengar suara jeritan perempuan di dalam.

Apa yang sebenarnya terjadi di dalam?
Mengapa perempuan ini berteriak-teriak seperti kesakitan?
Aku tak tahan dengan dengingan di telingaku!

Tanpa mengetuk pintu lagi, langsung ku putar kenop pintu cepat.

"AAAA...!!"

SRAAKK...!!!

DUKK..

Semua terjadi begitu cepat.
Semua langsung terasa hening. Jeritan-jeritan itu hilang.

Dengingan ini semakin menyakiti telingaku. Menusuk tajam hingga ke rongga otak. Namun gangguan di pendengaran ini masih belum bisa mengalahkan indera penglihatanku. Mengalihkan apa yang kulihat sedetik barusan.

Sesuatu yang menggelinding jatuh. Jatuh!
Kepala!
Kepala terjatuh!
Kepala perempuan yang lepas dari tubuhnya!
Jatuh ke lantai!

Diikuti simbahan darah dari kepala dan leher tubuhnya. Darah di lehernya meliuk-liuk mengalir turun membasahi tubuhnya. Sementara di lantai, gumpalan-gumpalan darah sudah berceceran kemana-mana.

Di ruangan yang sedikit gelap dan lembab ini. Ditambah bau anyir dari cairan berwarna merah itu. Sudah cukup mengganggu indera penciuman hidung ini.

Aku tau sebentar lagi aku akan mual dan muntah. Tapi tanganku pun enggan bergerak menutup mulutku. Bau yang mengganggu ini juga masih belum bisa mengalahkan indera penglihatanku.

Aku tak bisa berkutik. Aku bahkan tak mampu untuk berteriak. Semua yang kulihat rasanya mematikan syaraf dan melemaskan ototku.

Mataku masih membelalak. Merekam kejadian sekilas itu yang tak bisa kucerna juga dalam otak.

Bola mataku sudah terasa kering. Aku juga sudah tidak tahan dengan pemandangan ini. Tapi kelopak mataku juga tak mampu untuk berkedip.

Wajah itu.
Wajah dari kepala di lantai itu.
Wajah yang selalu selalu terbingkai ruang tengah.

Aku kenal betul wajah itu. Walaupun masih harus sedikit kucari dalam memori. Dan saat ini yang kulihat, hanya benar-benar wajahnya. Hanya benar-benar kepalanya!

Tubuhku merosot terjatuh. Aku kemudian sadar bahwa ada sosok lain di ruangan itu.

Sosok lain yang tak bukan adalah yang mengayunkan sabit ditangannya tadi. Sosok yang membuat hening jeritan-jeritan tadi. Sosok yang sudah menebas leher perempuan itu. Memisahkan tubuh dan kepala. Menyisakan cipratan darah dimana-mana.

Aku bahkan tak tau lagi ia benar-benar orang atau bukan. Pakaiannya serba hitam. Tangannya masih memegang sabit. Sabitnya yang kini berkilat-kilat merah.

Ia memutar kepalanya, menengok ke arahku. Menyadari kehadiranku. Kulihat wajahnya mengenakan topeng.

Aku pun merangkak mundur.
Berharap belakangku adalah jalanan yang lapang.

Namun sial!
Belakangku sudah membentur tembok.

Ia berjalan menghampiri. Sabit ditangannya semakin dipegang erat. Sebentar lagi ia akan mencapai muka pintu.

Kukumpulkan semua kekuatan dalam tubuh ini untuk bangkit berdiri.
Lari.
Aku harus berlari!
Aku harus lari dari pembunuh ini!

Detik berikutnya aku mulai menyadari bahwa pandanganku sedikit kabur. Dengingan ditelingaku menghilang. Semua hening.

Aku bahkan tak bisa mendengar derap langkah kakiku sendiri. Aku juga sudah tidak bisa merasakan gerakan tubuh ini.

Cahaya dari balik pintu rumah semakin dekat. Semakin besar hingga membuat pandanganku memutih.

"Haaah.. Haahh.,."

Nafasku tersengal-sengal. Keringat membanjiri pelipis dan leherku. Kerongkonganku begitu kering.

Kusapukan pandangan ke kiri dan kananku. Ruangan ini adalah kamarku. Aku terduduk di atas kasur. Kupandangi kedua telapak tanganku. Gemetar.

Kuusap wajahku yang penuh peluh keringat. Menenangkan segala keresahan tubuh dan batin ini. Otak ku mulai mencerna.

Aku langsung bangkit dari kasur. Ku buka pintu kamarku dan menengok ke kanan. Baru kusadari bahwa ruangan yang tadi tidak pernah ada di rumah ini.

Kamarku adalah yang paling ujung di rumah ini. Ku ingat-ingat lagi tidak ada ruangan lain yang bentuknya seperti itu. Bahkan lorong rumahnya pun sangat berbeda.

Resah dan gelisah. Aku masih merasa tak yakin. Ku berjalan mengelilingi rumah. Mengecek semua kamar satu persatu hingga kembali ke kamarku.

Benar tidak ada. Ruangan dan lorong rumah tadi terasa asing. Tidak sesuai dengan bangunan di rumahku ini. Kejadian tadi seperti bukan terjadi di rumah ini.

Lalu apa itu tadi?
Apa aku bermimpi?
Mimpi.
Kurasa tadi aku bermimpi!

Mimpi yang rasanya seperti nyata. Mimpi yang seakan benar-benar membuatku menyaksikan ibuku dibunuh di depanku.

Ku ambil ransel sekolah yang tergeletak di atas lantai. Ku rogoh dan kuambil dompetku. Kubuka dompetku sambil mencari-cari sesuatu diantara selipan kantong dompet. Selembar foto. Foto kami bertiga, ayah, aku dan ibuku.

Kupandangi lekat-lekat wajah ibuku. Tanpa sadar setitik air mengalir dari ujung mataku. Mimpi itu membuatku rindu pada ibu. Aku merasa menjadi anak yang kejam dan durhaka telah memimpikan ibuku seperti itu.

Tak banyak memang kenangan yang kuingat bersama ibuku. Bahkan ingatan itu pun begitu samar. Dulu, aku masih terlalu kecil. Hingga saat ini, aku bahkan lupa rasanya memiliki seorang ibu.

Kalau bukan karena Bi Inah, mungkin aku akan menjadi anak yang tak terurus. Tapi entah mengapa, kehangatan dan senyuman ibu tak pernah terasa asing buatku.

DRRRTT.. DRRRTT.. DRRRTT.. DRRRTT..

Handphoneku bergetar. Kuusap air mata yang mengalir dipipiku. Ku masukkan kembali foto tadi ke dalam dompet.

Kuambil handphone yang sedari tadi tergeletak di samping bantal. Ternyata panggilan masuk dari Rendy. Segera kuangkat telepon itu.

"Ha-halo?"

"Oh akhirnya diangkat. Gue dari tadi nelponin lo, Dly!"

"Sorry, sorry.. gue tadi tidur. Kenapa, Ren?"

"Lah lo lupa ya? Hari ini kan kita mau nonton film bareng sama duo cerewet itu."

"Ah iya ya?"

"Kemarin gue chat, lo jawab bisa. Gue udah dijalan ke rumah lo nih."

"Oh iya iya. Sorry gue baru bangun belum mudeng."

"Yaudah rapih-rapih gih sana. 5 menit lagi gue nyampe nih. Buruan ya, mereka udah bawel banget. Katanya udah beliin kita tiket dan nungguin dari tadi."

"O-oke deh"

Aku lupa! Hari ini aku memang berjanji untuk pergi bersama mereka! Padahal aku sedang enggan untuk kemana-mana. Hatiku merasa berat setelah mengalami mimpi itu.

Tetapi karena sudah terlanjur janji, aku merasa tak enak jika tiba-tiba membatalkannya. Apalagi mereka adalah teman baruku. Mereka juga sudah menunggu dan membelikanku tiket.

Mungkin dengan bermain bersama mereka, akan memperbaiki suasana hatiku yang agak berantakan ini, pikirku.    

DIARY 1987Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang