Disinilah aku, masih terpatung akan kenyataan ini, masih dengan napas yang tak beritme, masih dengan air mata yang tak terbendung. Mereka semua menyadari akan kedatanganku, sehingga dengan sigap mereka menjauhi dirinya masing-masing sambil menggaruki tengkuk leher lalu memasang wajah tak berdosa.Disebelah kiri seorang wanita itu memasang air muka dengan bangga, seperti keberuntungan berpihak padanya. Sedang disisi lain si pria mencari-cari sepotong alasan apa yang akan ia keluarkan dari mulutnya.
Aku hampiri sang pria, masih dengan isakan tangis bahkan lututku melemas. Kutarik secarik kertas yang ada ditangannya. Woah, aku tahu apa yang mereka perbincangkan.
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
Terpampang jelas dikertas itu bahwa tanah ini milik Rossa indryani. Wanita paruh bayah yang sudah tertidur pulas terlebih jika hujan.
"Ini yang lo mau?!—" bentakku pada si wanita.
"Lo itu gak lebih dari benalu, jalang!" teriakku kuat-kuat yang membuat tangis ini semakin menjadi.
"Della! jaga ucapanmu"Bisa-bisanya pria ini menyuruhku menjaga ucapanku.
"HEY, KAMU FIKIR KAMU MENJAGA MULUTMU DARI MAMA?!" mengingat beberapa menit lalu mereka bercumbu mesra seaakan si pria tidak mempunyai status apapun.
"Jangan kalian fikir aku itu anak ingusan yang seenak kalian dibodohi. Sayangnya kalian lebih bodoh dariku, apalagi kamu. Kamu sangat bodoh jika berani menyerahkan tanah ini pada jalang itu"
"Della!" teriak si pria selepas aku mendaratkan tanganku dipipi si jalang.
Aku berlari menuju kamarku dengan membawa secarik kertas ini, aku benar-benar heran. Pantas saja si pria menyuruh jalang itu untuk tinggal disini, padahal bisa saja ia terlantar.
Adella yang menyeramkan masih terdiam diatas tempat tidurnya, duduk menyila sambil mematung memutar semua kejadian tadi diotaknya. Mata coklat itu jauh dari kata indah. Rambut yang biasa rapih sekarang seperti tersengat listrik karena tadi ia jambaki. Ia ingin sekali menceritakan semua ini pada seseorang, tapi tak mungkin karna ia fikir ini adalah aib keluarganya.
***
Pagi ini adalah pagi terburuk, aku tak ingin pergi ke sekolah. Jangankan sekolah, keluar kamarpun enggan. Lalu terbesit dipikiranku, Mama. Aku harus sekolah untuk Mama, aku harus bisa buatnya bangga. Hari ini hari pertama aku memakai seragam sekolah baruku.
Demi Mama Dell, aku bisa.
Aku menuruni anak tangga tanpa semangat, memakai hoodie berwarna navy yang sudah jarang kukenakan.
"Pagi sayang, ayo sarapan bareng." pinta Rossa dengan ketenangannya.
"Mulai hari ini Della gak suka sarapan Ma. Aku berangkat." kukecup Pipinya yang sedikit berkerut.
Kutahan tangisku. Aku berlari kecil untuk pergi dari rumah ini, sayup-sayup kudengar Rossa berteriak.
"Della kok belum salaman sama Papa, tante Hanna. Gak sopan sayang, hey!"Mereka lebih gak sopan Ma.
Lalu beberapa isakan itu terdengar dari seorang Adella yang rapuh.Setelah sedikit tenang, aku beralih merogoh saku untuk mencari handphone itu. Memasukkan earpods dan menyalakan musik Yellow dari Coldplay yang pernah pria itu nyanyikan untuk Mamaku.
YOU ARE READING
rechazado
Teen Fictionsemua tentangmu, ku selipkan tentangku. Ku tulis agar kau tahu.