4 - Kenangan

39.7K 2.6K 115
                                    

Suamiku berbohong.

Aku terlalu mencintainya dan terlalu mengenalnya hingga dengan mudah bisa mengetahui kenyataan itu.

Dengan jantung berdegup kencang, aku mengikutinya. Dia mengaku hendak melakukan perjalanan bisnis ke luar kota. Dan memang saat ini mobil yang dikendarai suamiku semakin mendekati perbatasan kota.

Aku pasti salah!

Kalimat itu kuulang-ulang dalam hati seperti mantra.

Baru saja memasuki pinggiran kota, mobil suamiku berbelok ke sebuah jalan menuju area perumahan yang baru dibangun.

Aku memarkir mobil di bawah pohon di seberang rumah mungil yang dituju suamiku. Begitu mobilnya berhenti di halaman rumah, seorang wanita dengan perut buncit keluar.

Jantungku serasa lepas lalu melompat dan menyumbat kerongkonganku ketika kulihat suamiku yang baru keluar mobil mendapat pelukan mesra dari wanita itu. Bahkan beberapa ciuman tampak menghujani wajah suamiku. Dari tempatku berada, aku bisa mendengar tawa geli yang khas terlontar dari bibir tipis suamiku.

Aku ingin sekali keluar. Mendatangi mereka lalu mencakar wajah suamiku dan menjambak rambut wanita selingkuhannya.

Namun niatku terhenti ketika pandanganku tertuju pada perut buncit wanita itu. Akhirnya dengan hati terluka berdarah-darah, aku hanya bisa melihat punggung mereka menghilang dari balik pintu rumah.

Selama bermenit-menit yang tidak sanggup lagi kuhitung, aku menangis tanpa suara. Lenganku dilipat di atas kemudi dan kepalaku terbenam di atasnya. Jemariku bergetar ketika mengelus perutku yang rata dan sepertinya tidak akan pernah bisa berisi.

Aku marah.

Aku kecewa.

Dan tentu saja aku cemburu.

Tapi di sini aku yang salah. Aku bukan perempuan sempurna. Jadi, bagaimana bisa aku menyalahkan suamiku?

***

Berminggu-minggu setelah itu, diam-diam aku selalu membuntuti suamiku dan wanita selingkuhannya, terutama ketika suamiku beralasan ke luar kota lagi. Sakit memang. Tapi aku mulai terbiasa dengan rasa sakit itu.

Katakan saja aku gila!

Aku sungguh tidak tahu apa yang kuharapkan. Aku hanya tidak suka meratapi nasib di rumah sambil mengira-ngira apa yang dilakukan suamiku bersama wanita itu.

Suatu hari, seperti biasa aku membuntuti wanita itu yang sedang berbelanja sendirian. Memang beberapa kali aku membuntutinya walau seorang diri sambil membanding-bandingkan diri kami.

Saat itu tanpa sengaja aku melihat seorang lelaki sedang mengawasi wanita itu. Walau wajahnya tertutup pinggiran topi, tapi aku bisa mengetahui dengan jelas lelaki itu mengincar tas wanita itu.

Aku yang semula bertekad tidak akan pernah menunjukkan diri, akhirnya memilih keluar dari persembunyian ketika melihat lelaki itu mulai mendekati si wanita.

Aku berteriak mengingatkan sambil menunjuk belakang wanita itu. Namun terlambat karena si lelaki sudah menarik tasnya. Alhasil, terjadilah aksi tarik-menarik di antara mereka berdua.

Kekhawatiran melingkupi diriku saat melihat perut buncit wanita itu. Ada anak suamiku di sana.

Dengan kesal aku melepas sepatu hak tinggi yang kugunakan lalu memukulkan dengan keras di punggung dan lengan lelaki itu yang masih berusaha merebut tas.

Lelaki itu tampak kewalahan dan terlihat cemas ketika warga mulai berdatangan untuk membantu. Dengan panik dan menahan sakit akibat amukanku, lelaki itu mendorong tubuhku hingga aku jatuh tersungkur. Kepalaku sempat pening selama beberapa saat sampai kulihat wanita itu telah berlutut di sampingku dengan wajah berlinang air mata.

Itu adalah pemandangan terakhir yang kulihat sebelum semuanya gelap.

***

Tanpa membuka mata, aku sudah tahu dimana diriku berada.

Rumah sakit.

Perlahan kuangkat kelopak mata dan mendapati wanita selingkuhan suamiku sedang duduk di kursi samping ranjang yang kutempati.

"Akhirnya Anda bangun juga." Ucapnya dengan nada lega namun tidak berhasil menutupi kecemasannya. "Saya sangat berterima kasih. Tapi karena menolong saya, Anda jadi celaka."

Aku tersenyum menenangkan. "Tidak masalah." Sahutku lemah.

"Kalau boleh tahu, siapa nama Anda?"

Dimana tasku?

Itu yang langsung kupikirkan karena didalamnya ada dompet lengkap dengan KTP, SIM dan lainnya. Terutama yang kukhawatirkan adalah ponselku yang menggunakan wallpaper fotoku dan suamiku.

Lalu aku teringat bahwa aku keluar mobil tanpa membawa apapun kecuali kunci mobil di saku rok dan beberapa lembar uang.

"Apa Anda bisa mengingat nama Anda?" wanita itu mulai terlihat panik.

Aku kembali tersenyum. "Panggil saja Ira."

Sebenarnya nama panggilanku Miranda. Tapi aku tidak bisa memberitahukan nama itu. Cepat atau lambat, wanita itu pasti akan menceritakan kejadian ini pada suamiku.

"Aku Alin. Sayangnya Anda tidak membawa apapun sehingga saya tidak bisa menghubungi keluarga Anda. Tapi Anda jangan khawatir. Suami saya sebentar lagi akan datang. Biar dia yang mengantar Anda pulang."

DEG.

Aku menelan ludah dengan panik. Kupaksa diriku duduk dan mengabaikan protes Alin yang melarangku.

"Sebenarnya aku terburu-buru dan aku membawa mobil." Ujarku sambil berusaha turun dari ranjang.

"Tapi—"

"Jangan khawatir. Aku baik-baik saja." Lalu mataku beralih pada perut buncit Alin. "Apa bayimu baik-baik saja?"

Kerongkonganku tercekat ketika menanyakan itu. Tapi aku berusaha menguatkan diri.

"Iya, berkat Anda." Alin tersenyum sambil membelai perutnya. "Setelah dia lahir nanti, aku akan mengajarinya memanggil Anda Bunda. Karena Anda adalah wanita yang telah membuatnya berhasil bertahan di dunia ini. Jadi, apa Anda bersedia berkunjung ke rumah kami?"

DEG.

Anak suamiku akan memanggilku Bunda?

Dengan mata berkaca-kaca, aku mengangguk. "Aku akan datang. Tapi tidak tahu kapan."

"Tidak masalah. Aku akan menuliskan alamatku." Alin keluar. Tak lama kemudian dia datang sambil membawa sobekan kertas. "Ini alamatku. Dan suamiku bilang sudah hampir sampai. Bagaimana kalau Anda menunggu sebentar?"

"Maaf, aku sungguh terburu-buru." Jelasku sambil menerima kertas itu. Setelahnya aku segera pergi dan berdoa semoga tidak berpapasan dengan suamiku.

***

Begitu kelopaknya terangkat, bocah itu langsung menatapku lekat. Sedetik kemudian senyum lebar menghiasi bibir mungilnya lalu secara tiba-tiba dia bangkit dan mengalungkan lengannya di sekeliling leherku.

"Bunda!"

DEG.

Selalu seperti ini padahal sudah empat tahun berlalu sejak pertama kali Alin mengajarinya memanggilku Bunda. Namun jantungku tidak pernah berhenti berdebar kencang tiap kali bibir mungilnya memanggilku begitu.

--------------------------

~~>> Aya Emily <<~~

My Husband (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang