Mereka tidak melanjutkan pembicaraan karena sadar masih di sekolah Ardian. Baru setelah kembali ke rumah Alin dan Ardian pergi bermain, kedua wanita itu duduk berdampingan di ruang tamu.
"Aku bertemu Mas Ryan ketika masih bekerja sebagai pelayan di sebuah rumah makan." Alin memulai ceritanya. "Hari itu Mas Ryan datang bersama rekan-rekan sekantornya untuk merayakan sesuatu. Yah, rumah makan itu memang menjual minuman beralkohol yang biasa dipesan untuk acara-acara khusus."
Keningku berkerut. Aku tahu dengan baik bahwa suamiku tidak bisa minum alkohol. Dia pasti tidak tahu kalau rekan-rekannya hendak memesan alkohol. Kalau tahu dia tidak mungkin mau ikut.
"Sosok Mas Ryan yang tampan dan gagah sudah menarik perhatianku sejak pertama rombongan itu datang. Tapi pelayan sepertiku tentu hanya bisa mengagumi dari jauh." Alin tersenyum ironis. "Aku sempat memperhatikan rekan-rekan Mas Ryan memaksanya untuk minum. Aku mendengar penolakan darinya. Tapi karena bujukan mereka yang tiada henti, akhirnya Mas Ryan menyerah."
Otakku mulai mereka-reka kejadiannya. Tanpa bisa dicegah, perasaan lega memenuhi dadaku. Ternyata suamiku tidak mengkhianatiku secara sengaja.
"Hanya satu teguk. Tapi minuman itu sudah berhasil merenggut kesadaran Mas Ryan. Aku sampai merasa geram mendengar rekan-rekannya menertawakan dirinya yang sudah terkulai dengan kepala di atas meja. Lalu yang lebih parah lagi, Mas Ryan dibiarkan begitu saja disana sementara rekan-rekannya mulai pulang satu per satu."
"Apa rekan-rekannya memiliki dendam tertentu?" aku tidak sanggup menahan pertanyaan itu. Sekarang dadaku terasa panas karena marah. Aku tidak menyangka rekan-rekan suamiku tega melakukan hal itu.
"Sepertinya tidak. Mereka juga sudah mabuk. Mungkin mereka tidak sadar telah meninggalkan Mas Ryan di rumah makan itu." Lalu Alin melanjutkan ceritanya. "Sampai waktu tutup, Mas Ryan tetap tidak beranjak. Salah satu pelayan laki-laki yang merasa kesal karena jam pulangnya tertunda, membangunkan Mas Ryan dengan kasar. Dia berhasil bangun, tapi jelas dalam keadaan mabuk berat. Dia bahkan tidak bisa keluar dari rumah makan tanpa dibantu. Tapi setelah sampai di luar, dia dibiarkan jalan sempoyongan tak tentu arah sendirian. Aku sungguh tidak tega melihatnya. Karena itu aku berinisiatif membawanya ke rumahku yang hanya berjarak seratus meter dari rumah makan itu.
"Aku harus berusaha keras untuk memapah tubuhnya sementara dia meracau tidak jelas. Sesampainya di rumah, aku langsung merebahkan tubuhnya di kamar yang tidak kutempati." Alin menghela nafas sebelum melanjutkan. "Kesalahanku dimulai saat itu. Seharusnya kubiarkan saja dia berbaring di sana. Tapi aku berpikir untuk menemukan ponselnya lalu menghubungi keluarganya. Dengan ragu aku menyentuh saku celananya. Mendadak jemarinya mencekal pergelangan tangannya. Dia terkekeh dengan pandangan aneh ke arahku. Dia pasti mengira aku orang lain. Tapi karena terlalu terkejut dengan kedekatan kami, aku hanya diam mematung." Alin tertawa namun air matanya bergulir. "Aku sama sekali tidak berpikir akibatnya. Aku sama sekali tidak berpikir kalau kemungkinan dia adalah suami orang. Bahkan bisa dikatakan pikiranku sedang kosong. Aku hanya diam membiarkan dia merenggut mahkotaku."
Masih saja jantungku berdenyut sakit walau aku sudah mendengar kenyataannya
"Paginya, dia terlihat begitu kacau. Bukan hanya karena baru tersadar dari kondisi mabuk, tapi juga karena kesadaran akan apa yang telah dilakukannya padaku. Berkali-kali dia meminta maaf. Lalu yang membuatku juga merasa buruk dan kotor, dia berkata bahwa dirinya sudah menikah dan sangat mencintai istrinya."
Perasaan bahagia itu muncul. Aku tahu suamiku tidak akan pernah menyakitiku secara sengaja. Sedari tadi aku juga berusaha mengingat kejadian itu. Pasti suamiku tidak pulang tanpa memberi kabar. Namun aku sama sekali tidak ingat.
"Setelahnya kami tidak pernah bertemu lagi. Hingga suatu hari aku menyadari bahwa diriku hamil. Sempat terlintas dalam benakku untuk melakukan aborsi. Tapi lalu pemikiran itu kutepis jauh-jauh. Kesalahanku lah hingga malam itu terjadi. Kenapa calon bayi tidak berdosa dalam perutku yang harus menjadi korban? Karena itu aku tetap mempertahankan Ardian. Walau ketika kandunganku semakin besar aku dipecat dari perkerjaan, walau para tetangga mencemooh dan menghinaku, walau keberadaanku tidak diterima lagi dalam keluarga besarku karena dianggap mencoreng nama baik keluarga, aku tetap mempertahankan Ardian.
"Semua tekanan itu membuatku terpaksa pindah ke sini. Kebetulan saat itu daerah ini masih jarang penduduk. Aku bisa tinggal dengan nyaman tanpa perlu ada tetangga yang bertanya macam-macam. Masih butuh satu bulan bagiku berkeliling-keliling daerah ini dalam keadaan hamil besar untuk mencari pekerjaan. Uang tabunganku sudah semakin tipis sedangkan waktu kelahiran tinggal sebentar lagi. Lalu aku mendapat pekerjaan dari pemilik rumah makan yang baik hati. Dia bahkan memberiku perkerjaan sebagai kasir karena keadaanku.
"Tak disangka, aku kembali bertemu dengan Mas Ryan. Entah karena insting atau apa, dia langsung menduga bahwa kehamilanku karena kejadian malam itu. Aku mengelak dan beralasan sudah menikah. Dia terlihat percaya, tapi ternyata dia membuntutiku pulang. Setelah didesak berkali-kali, akhirnya aku menyerah dan mengakui. Aku mengiyakan pertanyaannya sambil menangis. Semua penderitaanku selama berbulan-bulan seakan luruh bersama air mata itu. Mungkin karena akhirnya aku bisa berbagi cerita pada seseorang.
"Seminggu setelahnya kami telah resmi menikah. Aku sadar dia menikahiku hanya karena rasa bersalah dan bertanggung jawab. Tapi itu sudah cukup membuatku senang karena ada yang mau menerimaku dan Ardian di saat orang lain menolak kami." Alin mendongak menatapku lalu menggenggam jemariku kuat. "Dan sekarang ada Kak Ira yang juga mau menerimaku. Aku merasa sangat beruntung."
Mata kami sudah sembab sekarang. Aku menangisi semua yang telah dilalui Alin. Aku juga menangisi hatiku yang sudah hancur. Terutama aku menangis bahagia karena Alin memang wanita yang pantas mendampingi suamiku menggantikan diriku.
Ya, tekadku semakin bulat setelah mendengar cerita Alin. Walau akulah istri pertama, namun julukan orang ketiga memang pantas ditujukan kepadaku. Karena kebahagiaan mereka masih terhalang dengan adanya diriku.
-------------------------
~~>> Aya Emily <<~~
KAMU SEDANG MEMBACA
My Husband (TAMAT)
Literatura Feminina[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] Seberapa sabar kau menerima kebohongan? Seberapa tahan kau menanggung luka hati? Seberapa kuat kau membagi kasihmu dengan orang lain? Tidak? Lalu, percayakah kau bahwa ada seseorang yang tahan mengalami semua siksaa...