10 - Murka

36.4K 2.6K 133
                                    

Air mataku bergulir tanpa bisa dicegah ketika mobil suamiku memasuki halaman rumah. Segara kuhapus air mata lalu menyingkir dari jendela kamar.

"Dia sudah datang." Lirihku pada Erlan.

"Belum terlambat untuk berubah pikiran." Erlan menasihati.

Aku menggeleng seraya melepas gaun tidurku, menyisakan bra dan celana dalam. Sebenarnya aku malu setengah telanjang di depan Erlan. Tapi aku menekan perasaan itu kuat-kuat.

Erlan sendiri juga langsung melepas T-shirt dan celana jeansnya. Tubuhnya yang hanya dibalut boxer, merangkak ke atas ranjang. Dia langsung meletakkan kedua lututnya dia antara pinggulku begitu aku rebah.

Kami dia dalam posisi itu. Aku menatap kosong ke arah lehernya sedangkan Erlan menatap wajahku dengan penuh kasih sayang. Aku tahu tidak ada gairah di matanya. Hanya seperti sikap seorang kakak yang berusaha menenangkan adiknya.

"APA-APAAN INI??!!!"

Kami langsung menjauhkan diri lalu turun dari ranjang. Aku sungguh tidak pandai berakting. Tapi melihat wajah suamiku yang memerah murka, perasaan takut dan sedih melingkupi diriku. Air mataku kembali bergulir. Kali ini aku tidak menutupinya.

"Sayang—"

"DASAR BAJINGAN!! Sudah kuduga dari dulu kau bernafsu pada istriku!!!"

Melihat gelagat suamiku, aku tahu dia hendak menghajar Erlan. Segera kuposisikan diri di depan Erlan tanpa mempedulikan tubuhku yang masih setengah telanjang.

"Mas, jangan! Aku mencintai Erlan."

Mata suamiku memerah. Berbagai emosi tercetak jelas di wajahnya. Marah, sedih, kecewa.

Aku ingin sekali menghambur ke pelukannya. Membenamkan wajahku di dadanya. Lalu membiarkan jemari panjangnya membelai rambutku dengan penuh cinta. Tapi sekarang semua itu hanya akan jadi khayalan. Aku harus merelakan dirinya.

"Miranda, apa yang kau bicarakan? Menyingkir dari situ agar aku bisa menghajar lelaki yang telah menggodamu ini!"

Bukankah suamiku sangat lucu?

Sudah jelas apa yang aku dan Erlan tampakkan di depannya. Tapi rasa cintanya padaku membuatnya tutup mata dan hanya menumpahkan kesalahan sepenuhnya pada Erlan.

"Bukan Erlan yang memulai. Tapi aku yang sudah menggodanya." Kuhapus air mataku dengan punggung tangan.

"Tapi kenapa, Miranda?" suara suamiku berubah begitu pelan seperti dia tidak sanggup menanyakannya.

"Karena aku—aku sudah tidak mencintaimu lagi." Berat rasanya mengatakan kebohongan itu. Tapi terpaksa kulakukan.

Jemari suamiku mengepal dengan begitu eratnya. Rahangnya mengetat menahan emosi. "Lalu apa yang kau inginkan?"

Pertanyaan yang kutunggu.

Pertanyaan yang akan meruntuhkan rumah tangga kami.

"Kita bercerai." Ucapku dengan nada bergetar.

Kupikir hatiku tidak bisa lebih sakit lagi. Tapi melihat air mata suamiku yang tumpah sejak pertama kali aku mengenalnya di bangku kuliah, rasanya jantungku yang sudah koyak diremas dengan begitu kuatnya.

"Tolong jangan seperti ini, Miranda. Kalau aku punya salah, hukum aku sepuasmu. Kalau kau marah padaku, pukul aku sepuasmu. Tapi jangan pernah meminta cerai dariku."

Kini suamiku menangis. Lelaki yang sanggup tidak meneteskan setitikpun air mata di saat kematian ibunda yang begitu dicintainya, bisa menangis karena keinginanku untuk bercerai darinya.

Tuhan, bisakah kau mengampuni dosaku ini? Aku sungguh tidak berniat menyakitinya. Aku hanya ingin dia bahagia bersama wanita yang pantas mendampinginya.

"Jangan persulit semua ini, Mas. Aku tidak mau lagi hidup bersamamu."

Seketika raut wajah suamiku kembali berubah. Kemarahan memenuhi matanya. "Baiklah, kalau itu maumu. Kirimkan saja surat cerainya ke kantorku."

Setelahnya suamiku langsung berbalik. Suara pintu yang ditutup dengan keras menandakan betapa murkanya suamiku.

Suara mobilnya yang menderu keras adalah pertanda bahwa ia telah meninggalkan rumah kami. Seketika tubuhku terasa lemas. Aku jatuh terduduk di atas lantai. Isak tangisku begitu keras memenuhi seluruh penjuru kamar.

Erlan yang sejak tadi hanya menjadi penonton meraih selimut kemudian dililitkan ke sekeliling tubuhku. Setelahnya dia juga duduk di lantai lalu menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Dia membiarkan aku menumpahkan air mata di dadanya.

---------------------

Jujur ya, aku nulis bagian ini sambil nangis.

Untung saja gak ada yang lihat. Kalo ada, pasti aku udah dikira gila. Cuma nulis aja sampe nangis  T___T

~~>> Aya Emily <<~~ 

My Husband (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang