Dua minggu yang lalu, Miranda memintaku membawa Alin ke tempatnya dirawat. Aku menyingkir begitu kedua wanita itu bertemu diiringi tangis. Setelahnya Alin bercerita padaku bahwa Miranda adalah wanita yang telah menolongnya beberapa tahun silam dan kemudian mereka bersahabat.
Ternyata aku telah menorehkan luka yang begitu besar di hati Miranda. Padahal selama itu pula, dia sudah menanggung penyakit seorang diri.
Mengingat Miranda dengan Erlan saja hatiku sudah begitu sakit meski dia sudah menjelaskan kejadian itu. Lalu bagaimana sakitnya hati Miranda melihatku bersama Alin?
Sekarang kondisi Miranda memburuk. Rambut indahnya perlahan rontok. Tubuhnya semakin kurus dengan wajah yang selalu pucat.
Selama dua minggu ini, aku hanya ke kantor tiga kali. Itupun hanya beberapa jam. Aku tahu Miranda tidak akan bisa bertahan lebih lama. Dan seperti yang kubilang padanya, kalau dia pergi akupun akan pergi bersamanya.
"Mas."
Aku hanya menggeliat mendengar panggilan Miranda. Kubenarkan posisi kepalaku di dadanya. Lenganku semakin kuat memeluk pinggangnya.
"Mas, bangun! Sebentar lagi waktunya dokter memeriksaku. Bisa-bisa kau diomeli lagi."
Aku sama sekali tidak tidur. Hanya memejamkan mata dan menikmati kedekatan kami.
Seperti inilah yang kulakukan tiap hari bersamanya sejak ia dirawat di rumah sakit. Saling berbagi cerita, bermanja-manja dalam pelukan satu sama lain, atau kalau dia bosan di dalam kamar, aku akan mengajaknya ke taman rumah sakit.
Sudah tak terhitung berapa kali dokter wanita yang merawat Miranda mengomeliku yang dengan nyamannya menjadikan kamar ini sebagai tempat penginapan dan berbagi ranjang dengan pasien. Yah, sebenarnya dokter itu berani mengomeliku karena kami adalah teman semasa SMA. Kalau aku orang lain, mungkin dia hanya akan mengingatkan sekali dan memaki dalam hati.
"Mas."
Aku mendongak lalu mendaratkan kecupan singkat di bibirnya. "Istriku mulai cerewet. Biarkan saja dokter itu. Kalau dia lelah, dia akan berhenti mengomel." Ucapku santai sambil kembali merebahkan kepalaku di dadanya.
Miranda yang dalam posisi duduk bersandar bantal, membelai rambutku dengan lembut. Rasanya sungguh nyaman.
"Rambutmu semakin panjang." Dia berkomentar.
"Itu karena rambutmu pindah ke kepalaku, Sayang."
Dia tertawa kecil. "Apa aku semakin terlihat jelek?"
Aku mendongak lagi untuk memperhatikan wajahnya. "Mirandaku tidak pernah terlihat jelek."
Dia tersenyum lebar lalu memberikanku sebuah kecupan di kening. "Suamiku terdengar manis sekali."
"Astaga, Ryan! Berapa kali harus kukatakan? Kau membuat ranjang pasienku semakin sempit. Dia harus istirahat dengan nyaman."
Aku mengerucutkan bibir lalu kembali merebahkan kepala di dada Miranda tanpa menghiraukan dokter dan suster yang berdiri di ambang pintu.
Dengan mata tertutup, aku mendengar langkah dokter dan suster mendekat lalu berdiri di samping ranjang.
"Ryan, pergilah! Aku harus memeriksa pasienku."
Aku tidak mengubah posisi dan berpura-pura tidak mendengar ocehannya.
"Tolong biarkan saja, dok. Aku merasa nyaman seperti ini."
Aku tersenyum tanpa membuka mata. Memang sangat nyaman.
Nilam, nama dokter itu, masih terus menggerutu. Tapi dia menuruti permintaan istriku. Nilam melakukan pemeriksaan rutin yang kutahu sedikit sulit dengan adanya diriku dalam pelukan Miranda.
Selesai dengan pemeriksaan, sarapan dan obat untuk Miranda datang. Aku bangkit dari posisi semula dan bersiap menyuapi Miranda ketika pintu kamar rawat terbuka.
"Kak Ira, ada buket bunga untukmu dari tetangga." Alin menjelaskan sambil menyerahkan rangkaian bunga yang begitu wangi.
Sebenarnya aku semakin merasa bersalah pada Alin. Sejak Miranda dirawat, aku mengabaikan semua hal di luar kamar rawat Miranda. Pakaian untukku Alin yang membawakannya. Aku hanya pernah mengantarnya sekali ke rumah, lalu menyerahkan kunci rumah besar itu.
Toh nantinya seluruh kekayaanku akan diwariskan kepada Ardian. Biarlah Alin belajar mengurus semua itu.
Aku tahu Alin kesulitan. Dia seperti memikul beban berat yang aku timpakan. Tapi sungguh aku tidak sanggup berpura-pura baik-baik saja lalu membantu Alin beradaptasi dengan lingkungan barunya. Lagipula kami memang tidak pernah akrab sebelumnya.
Seperti biasa, Alin tidak pernah mengeluh. Dia pasti kelelahan mengurus Ardian serta rumahku, lalu bolak-balik ke rumah sakit. Belum lagi para tetangga tentu mulai bergosip. Tapi seperti biasa, senyum ceria selalu ia tampilkan untuk menyembunyikan luka hatinya.
"Cantik sekali." Puji Miranda.
"Sarapan untukmu, Mas." Ucap Alin sambil meletakkan bungkusan di atas meja samping ranjang.
"Terima kasih. Aku akan memakannya setelah Miranda selesai makan." Sahutku sambil berusaha mengulas senyum.
"Kemarilah, Alin. Duduk di sini!"
Aku menatap tidak suka pada Miranda tapi istriku itu sengaja menghindari tatapanku. Selalu saja seperti itu. Dia masih berusaha mendekatkan aku dengan Alin. Dia pikir aku bercanda akan menyusulnya kalau dia mati.
Memang aku terdengar seperti melangkahi takdir Tuhan. Tapi mau bagaimana lagi? Tidak ada gairah hidup jika dia tidak ada di sampingku.
"Maaf, Kak. Aku harus segera kembali ke sekolah Ardian." Jelas Alin seraya berbalik lalu meletakkan tas berisi pakaianku yang sudah dicuci. Setelahnya dia mengumpulkan pakaian yang sudah kukenakan lalu membawanya keluar kamar.
"Mas, bunuh diri bukan jalan agar kita bisa tetap bersatu."
Aku memilih diam dan menyibukkan diri dengan sarapan Miranda. "Buka mulutmu!" perintahku.
Miranda mengabaikan perintahku. "Bunuh diri adalah dosa besar. Kalau kau melakukan itu, mungkin kita tidak akan bisa bersatu lagi."
DEG
Aku menatapnya dengan mata yang mulai terasa panas.
Tuhan, kau yang paling tahu seberapa besar aku mencintai Miranda. Apa setelah aku memilih kematian kau masih akan memisahkan kami?
"Biarkan semua berjalan seperti ini sampai tiba waktunya nanti. Aku ingin menikmati tiap detik bersamamu." Jelasku sambil membelai pipinya.
Lama dia menatapku lalu akhirnya mmengangguk dengan air mata yang menetes Dia meraih tanganku yang masih bertengger di pipinya lalu mengecup telapak tanganku berulang-ulang.
"Sekarang makan." Ucapku dengan suara serak.
Segera dia menghapus air matanya lalu mulai menghabiskan makanan rumah sakit yang aku suapi.
---------------------------
~~>> Aya Emily <<~~
KAMU SEDANG MEMBACA
My Husband (TAMAT)
ChickLit[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] Seberapa sabar kau menerima kebohongan? Seberapa tahan kau menanggung luka hati? Seberapa kuat kau membagi kasihmu dengan orang lain? Tidak? Lalu, percayakah kau bahwa ada seseorang yang tahan mengalami semua siksaa...