"Istri Anda mengidap penyakit kanker rahim stadium empat."
DEG.
Tubuhku terasa limbung hingga tanpa sadar aku mundur dua langkah menjauhi dokter.
"Apa sekarang waktunya bercanda, Dok?" tanyaku dengan geram. Kedua tanganku sudah mengepal kuat, siap menghajar dokter itu sewaktu-waktu.
"Maafkan kami, tapi itu hasil pemeriksaan." Ungkap dokter itu dengan raut iba. "Pasien sudah sadar sekarang. Anda bisa langsung menemuinya. Tapi tolong jangan buat dia tertekan."
Sepeninggal dokter, aku masih berdiri mematung di depan pintu ruang rawat Miranda.
Pikiranku kalut.
Butuh waktu beberapa menit hingga aku berhasil membuka pintu lalu masuk. Dengan langkah yang terasa bisa ambruk sewaktu-waktu, aku mendekati ranjang dimana tubuh Miranda tergolek lemah.
Dia menatapku dengan raut bersalah. Air matanya tidak berhenti mengalir hingga membasahi bantal.
Aku duduk di tepi ranjang. Memperhatikan wajahnya yang semakin tirus dengan air mata berlinang. Perlahan kuraih salah satu tangannya lalu kugenggam kuat. Mengabaikan nasihat ibu yang selalu berkata 'lelaki tidak boleh menangis, aku menangis tersedu. Kubungkukkan tubuhku di atas tubuh Miranda hingga kening kami menempel. Air mataku jatuh ke pipinya dan berbaur dengan air matanya. Dia menangis tanpa suara sedangkan aku terisak seperti anak kecil.
"Sayang, maafkan aku! Seharusnya aku tahu kalau kau sakit. Seharusnya aku menemanimu melawan penyakit ini. Tapi apa yang kulakukan? Aku malah menikah dengan wanita lain."
Aku tahu permintaan maaf tidak akan mengembalikan waktu. Tapi aku ingin memohon ampunan darinya.
Kurasakan tangan Miranda yang bebas menangkup pipiku. Rasanya sungguh nyaman hingga membuatku berharap dia tidak akan pernah melepaskannya.
"Maafkan aku juga karena tidak jujur padamu." Ucap Miranda dengan suara lembutnya. "Andai aku mengatakannya, kau pasti tidak akan pernah pulang terlambat hanya untuk pergi makan-makan bersama rekan-rekanmu hingga malam itu harus terjadi. Andai aku mengatakannya, kau pasti tidak akan menikahi wanita lain secara diam-diam dengan alasan apapun."
Aku tertawa ironis.
Sementara aku tidak tahu tentang penyakit parah yang dideritanya, dia tahu semua yang terjadi padaku.
"Aku tidak akan bertanya kau tahu darimana." Ucapku seraya mengecup bibirnya sekilas lalu kembali menyatukan kening kami.
"Kalian terlihat sangat serasi. Aku senang kau tidak akan sendirian ketika aku pergi."
"Apa kau mau mendengar apa yang terjadi begitu kami hanya berdua atau bertiga dengan Ardian tanpa orang lain melihat?"
Tidak ada gunanya lagi menyimpan rahasia. Miranda sudah tahu cukup banyak. Kenapa tidak sekalian saja kuceritakan semua?
"Kalau kau tidak keberatan menceritakannya."
Aku bisa melihat luka di matanya yang buru-buru ia hapus. Dia memasang senyum untuk meyakinkanku.
"Aku menikahi Alin hanya karena rasa bersalah dan tanggung jawab. Kuberi dia nafkah layaknya seorang suami. Tapi yang tidak bisa kulakukan, memadu kasih dengannya seperti ketika bersamamu. Tiap aku datang, aku tidur di kamar tamu dengan pikiran yang selalu kembali padamu. Kumakan apapun yang dia masak namun nyaris tidak ada interaksi di antara kami. Aku lebih banyak diam dan dia tampak tidak berani memulai percakapan.
"Semakin lama, aku semakin merasa bersalah. Alin wanita yang baik dan tidak pantas diperlakukan seperti seonggok tubuh tanpa perasaan. Sikap dinginku berimbas pada kesehariannya. Tetangga mulai berkomentar. Akhirnya aku memutuskan akan bersikap manis layaknya suami padanya di luar rumah. Tapi begitu pintu rumah tertutup, kami kembali menjadi asing.
"Semakin besar kandungan Alin, dia terlihat semakin ingin di dekatku. Mungkin bawaan bayi. Tapi itu tidak mengubah sikapku. Karena itu dia hanya bisa memeluk dan menciumku di luar rumah. Setelah Ardian lahir, kami sepakat untuk saling membantu mengurusnya. Tapi itu tetap tidak bisa membuatku nyaman berada di dekatnya."
Bahkan hingga kini perasaan tidak nyaman itu belum juga hilang padahal sudah lima tahun aku menikahi Alin.
"Kamar tamu yang biasa kutempati dijadikan kamar Ardian. Kami sempat berdebat tentang hal itu. Tapi kemudian kami sepakat. Selama Ardian masih meminum ASI, dia akan tidur bersama Alin. Tapi setelah itu, dia akan tidur bersamaku. Selanjutnya hanya keberadaan Ardian yang membuatku bertahan di rumah itu. Aku yakin tidak akan ada yang tahu betapa tidak normalnya pernikahan kami karena Alin selalu bersikap ceria di luar rumah.
"Lalu beberapa bulan ini perasaan bersalah kembali datang. Kewajiban suami memberi nafkah lahir dan batin kepada istrinya. Tapi aku hanya memenuhi salah satu nafkah dan mengabaikan nafkah lainnya. Alin sendiri tidak pernah mengeluh. Dia selalu menerima perlakuanku. Itu membuat rasa bersalahku semakin besar hingga aku mencoba untuk mendekatinya lebih dari yang selama ini kami lakukan. Tapi seperti yang kuduga, aku tidak bisa. Jika bukan dirimu, aku tidak bisa melakukannya. Bahkan aku sudah mengurungkan niat ketika baru berdiri di depan kamar Alin.
"Hingga suatu hari, aku mengetahui bahwa obat perangsang dalam dosis tertentu bisa membuat orang amat bergairah dan sedikit hilang kesadaran sekaligus kendali. Aku memberanikan diri mencobanya demi menebus rasa bersalahku kepada Alin. Tapi ternyata apa yang kulakukan lebih parah setelah menelan obat itu. Aku memperkosa Alin. Walau tidak sadar sepenuhnya, aku masih ingat dengan jelas bagaimana Alin menolak tapi kalah dengan tenagaku. Dia menangis dan mengeluh kesakitan sepanjang malam. Bahkan dia masih terus menangis hingga keesokan harinya. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk menghiburnya selain menghindarinya. Setelah itu, kami kembali bersikap seperti biasa. Asing satu sama lain begitu tidak ada orang yang melihat."
Aku berhenti. Tidak tahu harus melanjutkan apa lagi. Sudah kuceritakan semua. Kini aku diam menunggu reaksi Miranda.
"Berjanjilah kau akan berhenti bersikap seperti itu pada Alin."
"Apapun yang kau minta, akan kuturuti. Bahkan jika kau meminta aku memotong lidahku sendiri, akan kulakukan. Tapi tolong jangan memintaku bermesraan dengan wanita lain meski dia istriku. Aku sudah cukup tersiksa karena tidak sanggup jujur padamu dan terus menerus bersama wanita yang tidak kucintai."
"Hidupku tidak lama lagi. Aku tidak mau kau sendirian."
"Aku akan pergi bersamamu. Bahkan kematian pun tidak akan bisa memisahkan kita." Aku berkata serius.
"Mas, Ardian membutuhkan." Dia kembali terisak.
"Tapi aku juga membutuhkanmu." Aku berkata dengan suara parau.
Tidakkah dia mengerti bahwa dialah nafasku?
Tidakkah dia mengerti bahwa dialah pemilik hatiku?
Tidakkah dia mengerti bahwa jantungku hanya berdetak untuknya?
Tidakkah dia mengerti bahwa otakku hanya mendamba dirinya?
Kalau dia pergi, aku hanya akan menjadi seonggok tubuh dengan organ yang telah membeku. Karena itu, tidak. Tidak akan kubiarkan dia pergi sendirian. Aku akan selalu mendampingi di tiap langkahnya.
---------------------------
~~>> Aya Emily <<~~
KAMU SEDANG MEMBACA
My Husband (TAMAT)
ChickLit[CERITA MASIH LENGKAP SAMPAI END] Seberapa sabar kau menerima kebohongan? Seberapa tahan kau menanggung luka hati? Seberapa kuat kau membagi kasihmu dengan orang lain? Tidak? Lalu, percayakah kau bahwa ada seseorang yang tahan mengalami semua siksaa...