Enam

8.8K 686 4
                                    

Setelah berkutat dengan waktu selama dua jam, akhirnya kain panjang berwarna merah muda berhasil menutupi rambut panjangku. Pantulan bayangan di cermin memperlihatkan diriku yang tersenyum kaku dengan balutan kemeja senada dan celana jeans.

Masih tersenyum kaku. Ada perasaan ragu yang mengganjal saat hendak pergi ke kampus. Bahkan aku sengaja melewatkan mata kuliah pertama karena kegalauan ini.

Ntar orang-orang bilang apa ya? Kurang lebih itulah isi kepalaku. Takut akan tanggapan orang lain. Padahal biasanya aku bersikap tidak peduli. Rasanya berbeda dengan hari ini. Bahkan teriakan gawai yang begitu nyaring semenjak satu jam yang lalu, tidak aku hiraukan.

Astagfirullah. Ini godaan setan kuat banget sih. Kepalaku menggeleng cepat. Cepat-cepat berjalan mengambil sepatu kets putih di atas rak sepatu dan ke luar meninggalkan kamar kost sebelum aku berubah pikiran.

Ternyata, bisikan setan masih mengikuti sampai ke halaman kampus. Jantungku semakin berdebar ketika langkah demi langkah mendekati kelas. Beberapa kali langkah ini terhenti dan menarik napas kuat-kuat agar perasaanku semakin tenang. Akan tetapi, semua usaha terasa percuma.

Kali ini, aku mengangkat sambungan telepon yang membuat gawaiku berdering. Tanganku mengusap layar persegi empat itu dan meletakkannya di telinga sebelah kanan.

"Ha-"

Sontak aku jauhkan benda itu ketika terdengar teriakan nyaring dari seberang telepon. Wajahku meringis sambil menatap layar datar yang masih berada di genggaman tangan.

"Gila kali ya! Dipikir kuping gue hutan?" ketusku ketika kembali menempelkan gawai ke telinga.

Langkahku semakin cepat karena tak sabar untuk melihat orang rese di seberang telepon. Ya, aku lupa akan ketakutan menanggapi reaksi teman-teman. Rasa kesal melupakan segalanya.

Tanpa pikir panjang, aku pun membuka pintu dengan keras hingga menimbulkan benturan keras mengenai dinding.

"Re! Lo kalau mau teriak liat-liat lokasi dulu, dong! Lo mau tanggung jawab kalau kuping gue budeg?!" teriakku di ambang pintu.

Semua pandangan menatap ke arahku. Hening ... sunyi senyap....

Kerutan di dahi pun mulai muncul dengan raut wajah penuh tanya.

"Kenapa pada liatin gue? Ada yang salah?" ketusku.

Aku pun berjalan menuju meja tempat Rere duduk yang tentunya menyisakan satu bangku kosong untuk aku tempati.

"Kia? Ini Kia Rizkia Ramadina yang gue kenal, kan? Sahabat gue tercinta?" tanya Rere dengan ekspresi yang menurutku sangat menyebalkan.

"Apaan sih, Re! Kalian rese banget sumpah," ucapku sambil menyimpan tas dan mengeluarkan beberapa buku catatan dari dalamnya. "Kalian semua juga ngapain ngeliatin gue, sih?! Gue cantik, emang cantik. Ga usah dipuji. Ga usah liatin gue kayak gitu juga. Gue colok mata kalian baru tau rasa!" kataku kepada seisi kelas yang masih enggan mengalihkan pandangannya dariku.

Namun, gertakanku barusan membuat arah pandangan mereka beralih ke meja masing-masing.

"Cie... Dapet ilham dari Bang Farhan, nih?" Rere membuka suara dengan suara cemprengnya.

"Udah siap dihalalin?" Mitha turut menambahkan.

"Udah siap jadi makmum?"

"Waktu jam pertama dihabisin buat nutupin rambut doang?" Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang paling bikin aku kesal.

"Kayaknya ngasih kode, nih, buat Kang Farhan,"

Aku pun mengerjapkan mata. Baru teringat kembali bahwa hari ini ada sesuatu yang berbeda dari biasanya.

Aku pun membisu karena saat itu, Farhan juga ada di dalam kelas. Satu kata yang aku rasa. Malu ....

Jantungku berdegup kencang, tangan bergetar, dan punggung berkeringat parah. Pokoknya panik tingkat dewa.

Belum lagi, suara berasa ilang kayak gitu aja pas mau bela diri.

"Cie ... Blushing nih, ye," celetuk Rere.

"Wiiih, ada jomblo insaf, nih?"

Tau, kan, siapa yang ngomong? Yup, si cowok nyebelin berkulit sawo matang. Rupanya dia udah kembali menjadi cowok nyebelin.

"Apaan sih!" sungutku.

"JOM-BLO IN-SAF." Hamdan mengeja ucapannya per suku kata.

Dia pikir aku budeg apa? Jelas-jelas ucapan dia kenceng banget serasa pakai toa masjid. Cuma aku ga terima aja dibilang kayak gitu.

"Eh, Kampret..., emang masalah kalau gue masih jomblo. Gue ini barang berharga. Barang murah itu, cepet laku. Dan gue ini barang mahal, makanya masih single," kataku bela diri dengan nada agak ngegas dikit.

"Alah, kemahalan ga ada yang mau beli," balas Hamdan santai.

"Yang belinya orang kaya, lah! Mana mungkin kebeli sama yang orang biasa. Istilah kata, gue itu barang limited edition." Seperti biasa, aku ga mau kalah.

"Lo matre juga, ya?" celetuk temen sekelasku yang aku sendiri lupa siapa namanya.

Spontan kepalaku nengok ke arah sumber suara. "Perempuan itu bukan matre, tapi realistis. Ga mungkin makan cinta. Emang nyekolahin anak pake cinta? Kagak! Nyekolahin mah di mana-mana pake duit. Lagian, orang kaya yang gue maksud di sini, yang kaya hapalan Al-qur'annya."

Orang itu langsung bungkam mendengar jawabanku. Dan tanpa sadar, kedua ujung bibirku sudah tertarik ke atas.

"Alah, barang mahal ujung-ujungnya jadi pajangan." Lagi-lagi Hamdan mengeluarkan isi pikirannya.

Aku memutarkan bola mata sambil berdecak kesal. Debat sama si Hamdan tuh ga ada beresnya. Pengen banget sumpel mulutnya.

"Barang mahal itu, bakal rajin dibersihin sama yang punya, dijaga baik-baik, dan bakal rajin di elus. Sama halnya gue. Suatu hari nanti, gue bakal rajin dielus dan disayang sama suami gue. Dijaga baik-baik biar gue makin cinta sama dia."

***TBC***

Halal untuk Calon Imam [END] [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang