Pria itu tiba-tiba senyum begitu aku bukakan pintu. Ya ..., dia Juna. Cowok yang dekat denganku. Orang-orang nyangka kita pacaran. Padahal kenyataannya cewek yang deket sama dia banyak banget. Mungkin setiap tikungan ada satu. Bahkan di setiap fakultas, ada aja yang nyantol tiap minggunya buat jalan bareng dia.
Tampang dia sih oke. Rambut kayak Varrel. Hidung kayak Christ Evan. Tinggi kayak Nino Fernandez. Mata cokelat terang. Pokoknya, kayak model majalah dewasa. Beneran, deh.
Apalagi baju yang dia pakai kaos hitam lengan panjang yang dia lipat sampai pertengahan lengannya, dipadu dengan celana jeans dan sepatu kets warna putih. Perfect banget sama body dia yang gagah kayak Deni Sumargo.
"Kesepian, lo? Baru putus sama siapa?" sindirku setelah enam minggu dia enggak ngajak aku jalan di malam minggu.
"Aku cuma mau nemenin lo yang jomblo, biar enggak mati merana." Dia terkekeh dan itu membuat mood aku memburuk.
"Lo sama aja kayak si Kampret." Aku mencebik. Memajukan bibir seraya memalingkan wajah darinya.
Juna kembali tertawa. "Hamdan?"
Aku memang sering cerita kepada Juna tentang teman-temanku. Termasuk resenya Hamdan. Oh, ya, Juna satu-satunya cowok yang tahu kalau aku mengharapkan Farhan menjadi imamku. Dan waktu cerita, reaksinya bikin aku manyun tujuh hari tujuh malam. Kira-kira kayak gini, "Farhan? Ketua Rohis itu? Kalau gue ga salah, dia sering pake baju koko di hari Jum'at, kan? Kayaknya enggak mungkin kalau dia bakal mau sama lo. Tipe cowok kayak gitu demennya sama cewek alim pula. Ga kayak lo yang jauh dari kata alim." Nyebelin banget kan?
Untung ganteng, kalau enggak, udah aku tendang Juna ke laut. Sekalian ke Segitiga Bermuda aja biar ga muncul lagi.
"Iya, siapa lagi kalau bukan Hamdan. Mau lo, atau Hamdan ga ada bedanya. Bahasnya tentang jomblo mulu. Coba aja kalau ngomongin Farhan. Lebih enak, lebih adem."
"Makanya ..., biar ga jomblo, jadian yuk!" ajaknya sambil mengedipkan sebelah matanya.
Aku meringis jijik dan segera berbalik untuk mengunci pintu. Memakai sepatu kets hitam yang ditaruh di rak sepatu dan berjalan ke arahnya. "Ogah, Jun. Mending gue jomblo ampe empat tahun ke depan daripada pacaran sama lo."
Giliran dia mencebik dan berjalan menuju kuda besi berwarna hitam miliknya. Dia membuka kunci pintu dan masuk tanpa bicara. Ini sudah biasa. Juna sering tiba-tiba manja kalau aku menolaknya. Namun, itu tidak berlangsung lama.
"Padahal gue udah kayak model gini. Masa lo masih ga mau sama gue?" Dia berkaca di kaca spion saat aku membuka pintu mobilnya dan duduk di sampingnya.
Juna menyugar rambutnya, menengokkan wajahnya ke kiri dan kanan secara bergantian, lalu memeriksa dagunya juga yang mulai tumbuh rambut halus.
"Kalau kelakuan lo kayak Teuku Wisnu, gue mau, dah," celetukku.
Juna mengalihkan pandangan dari kaca spion ke arahku sambil mengernyitkan keningnya. "Teuku Wisnu? Yang sekarang janggotan itu?"
"Iya. Itu yang namanya calon imam. Hijrah ke arah yang baik. Bukannya lo yang hijrah makin brengsek."
Wajah Juna makin kesal. Dia segera menyalakan mesin mobilnya dan menuju café tempat kami nongkrong.
Seperti malam minggu sebelumnya, kami menikmati acara live music di sebuah café yang selalu dipenuhi anak-anak muda. Makanya, kalau sendirian ke sini, tuh berasa ngenes banget. Ga punya pasangan, di tengah-tengah orang yang lagi suap-suapan makanan. Berasa banget jomblonya.
Oke ralat. Bukan jomblo, tapi single. Tidak ada pembicaraan yang penting antara aku dan Juna. Hanya obrolan tentang pria dan wanita idamannya masing-masing. Dan tentunya, Juna bilang kalau aku wanita idamannya. Preeeet ... bullshit!
KAMU SEDANG MEMBACA
Halal untuk Calon Imam [END] [REVISI]
Spiritual[REVISI] Barang murah itu cepat laku, itu artinya, seorang jomblo merupakan barang mahal. Hijrah memang tidak mudah, akan selalu ada orang yang menentang bahkan tidak sedikit yang mencibir. Semua itu proses. Di mana kita akan memilih menjadi pecund...