Dua Belas

7.4K 576 7
                                    

Detik menegangkan pun datang. Aku masih di dalam kamar setelah selesai mandi dan berias diri.

Aku memandang cermin, menatap diriku yang kini mengenakan kerudung pashmina berwarna biru muda dengan baju overall rok berbahan jeans yang sudah lama terkubur dalam lemari.

Mataku terlihat begitu sembab efek menangis dan kurang tidur. Hanya dua jam aku tidur dan itu pun tidak pulas. Beberapa kali terbangun karena merasa hati tak tenang.

Aku kembali menarik napas. "Bismillahirrohmanirrohim. Robbisrohli sodri, wa yassirli amri, wah lul uqdatan min lisani, yafqohu qouli."

Aku melafalkan doa agar dimudahkan urusanku nanti. Yang artinya, 'Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku, mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.'

Dengan harapan agar tidak ada kendala saat aku berbicara nanti. Dan sekarang, aku sudah siap.

Aku membawa Al-qur'an dari lemari nakasku dan mendekapnya dalam pelukan.

Kulangkahkan kaki menuju pintu dan kubuka knop secara perlahan. Dengan sedikit rasa takut, kaki ini berjalan mantap menuju ruang makan.

Sudah ada ibu dan ayah di sana. Duduk menantikan kedatanganku untuk mulai sarapan. Suasana seakan semakin mencekam dengan tatapan ayah yang bagiku menyeramkan. Mungkin beliau masih marah kepadaku.

"Makan dulu, Nak," ucap Ibu.

Aku pun menganggukan kepala tanpa berbicara. Kami mulai melahap makanan yang ibu sediakan tanpa sedikit pun suara. Benar-benar situasi yang canggung.

Makanan di atas piring sudah habis. Kebetulan aku pun tidak mengambil nasi terlalu banyak karena tidak ada nafsu makan. Yang ada dipikiranku hanyalah secepatnya meluluhkan hati ayah.

Aku meneguk air putih di dalam gelas yang ada di hadapanku sampai habis. Bertepatan dengan ayah dan ibu yang telah selesai menghabiskan sarapannya.

Aku pun memberanikan diri memulai pembicaraan.

"Maafkan sikap Kia semalam, Yah," kataku dengan kepala menunduk.

Ayah meraih gelas miliknya dan meneguk habis air yang ada di dalamnya.

"Maaf kalau Kia meninggalkan Ayah begitu saja," lanjutku.

Ayah bersandar ke kursi dan melipat tangannya di dada. Pria berkumis di depanku itu tampak melihatku dengan tajam. Kerutan di wajahnya begitu jelas terlihat membuat aku menyadari kalau beliau mulai menua.

"Jadi kamu akan mengikuti apa perkataan Ayah?" Suara berat itu terdengar keras dan tegas.

Aku meneguk air liur dengan susah payah. Seakan ada benda yang menutupi kerongkonganku.

"Maaf, Yah. Kia tetap pada pendirian Kia untuk menutup aurat."

"Jadi kamu masih menentang Ayah? Kamu tahu, ridho orangtua itu ridho Allah juga?!" Suaranya meninggi, membuatku tersentak dan merasakan jantungku memompa lebih cepat.

"K-Kia tau. T-Tapi perintah Allah itu mutlak. Bahkan perintah itu tertulis di dalam Al-qur'an yang menjadi pegangan untuk umat Islam," kataku.

Suaraku mulai bergetar menahan ketakutan. Bahkan tanganku pun tak dapat menutupi rasa takut.

"Sok tahu kamu! Udah berani ngajarin Ayah? Merasa pintar?" bentaknya.

Aku mulai dilanda kecemasan. Ya Allah, kuatkan aku untuk menghadapi Ayah.

Aku menarik napas dalam. "Maaf, Yah...," lagi-lagi aku berusaha merendah. "Tidak ada sedikit pun rasa ingin mengajari Ayah atau merasa lebih pintar dari Ayah. Kia hanya ingin mengungkapkan apa yang Kia inginkan. Dan itu jelas yang Kia inginkan itu tidak menyimpang ajaran agama."

Halal untuk Calon Imam [END] [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang