24. Di bawah hujan

112 17 6
                                    

Kamu tahu rasanya terkena pisau? Sakit bukan? Ini bahkan lebih sakit dari terkena pisau
—IreniaAzni—

"Lo seriusan sama Iren Iren itu?"

"Gak tau, gue pacaran sama dia cuma karna dia mirip sama Della. Lo tau sendiri mukanya mirip banget, Iren juga suka sunset kaya Della, mereka cuma beda sifat doang. Kalau Della manja sama gue, dia lebih diem dan cuek."

Iren membekap mulutnya sendiri saat mendengar percakapan Gilang dan temannya itu, bahunya naik turun dengan irama cepat. Kata-kata yang keluar dari bibir Gilang benar-benar tidak terduga, dengan tidak langsung kata-kata Gilang sudah menjelaskan jika Gilang hanya mempermainkan Iren. Gilang hanya menjadikan Iren sebagai pelampiasan.

Langit yang semula mendung kini benar-benar menumpahkan airnya, begitupun mata Iren yang mengeluarkan buliran bening melewati pipinya.

Bisa Iren lihat Gilang dan teman laki-lakinya pergi dengan tergesa-gesa dari taman itu. Taman yang semula ramai menadadak sepi, pasangan kekasih dan orangtua pergi menyelamatkan diri mereka dari hujan yang semakin deras, tapi tidak dengan Iren.

Iren memilih kembali ke tempatnya semula, duduk di bangku taman seorang diri di bawah derasnya hujan. Seperti di sinetron-sinetron memang, wanita menangis di tengah hujan dengan alasan klasik, agar tidak ada yang mengetahui bahwa dia menangis.
Tapi kali ini sepertinya hujan lah yang ingin menemani Iren menangis, langit seolah tau rasa sedih yang Iren rasakan.

"Apa salah gue?" Gumam Iren masih menangis, badannya sudah mulai bergetar akibat dinginnya air hujan, bibirnya memucat, bahkan buku-buku jarinya menjadi putih.

Iren merogoh isi tasnya, mencari benda pipih yang selalu ia bawa ke manapun dia pergi. Beruntungnya tas Iren anti air, sehingga ponselnya aman dari air hujan.

Iren mengetikkan deretan angka yang sudah ia hafal di luar kepala. Tanpa menunggu lama panggilannya sudah diterima.

"Hallo, kamu di–"

"Jemput aku di taman, sekarang," potong Iren dengan suara bergetar.

"Heh, kamu nangis ya?"

"Cepet," Iren langsung mengakhiri panggilannya secara sepihak tanpa menjawab pertanyaan Kevan. Segara ia masukkan kembali ponselnya ke tas, sayang jika harus rusak terkena air.

Hujan semakin lama semakin deras, tidak ada tanda-tanda akan reda. Lampu-lampu taman yang tadinya menyala kini sudah mati, hanya menyisakan lampu jalan yang menjadi penerangan Iren.

Seseorang dengan payung berwarna biru turun dari mobil yang baru saja berhenti di pinggir jalan. Laki-laki itu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru taman hingga matanya menangkap objek yang dicarinya. Dengan tergesa-gesa Kevan menghampiri Iren.

"Kurang kerjaan banget si ujan-ujanan," ucap Kevan dengan menggelengkan kepalanya.

Iren mendongakkan kepalanya saat melihat sepasang snikers yang kini sudah basah berdiri tepat di hadapannya. Dengan gerakkan cepat Iren memeluk tubuh tegap Kevan.

Kevan menjatuhkan payung di tangannya, ia membalas pelukan Iren tak kalah erat. Isakan kecil yang keluar dari bibir Iren sudah dapat menjelaskan keadaan Iren saat ini.

"Nangis aja kalau itu bisa buat kamu tenang," bisik Kevan sambil mengusap punggung adik kembarnya.

"Pulang," rengek Iren.

Memilih Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang