Melepasmu

5.5K 110 6
                                    

Kembali kisah nyata yang aku angkat ke dalam sebuah tulisan. Maaf kalau aneh atau gak jelas.

***

"Aku melihat dengan mataku, merasakan dengan hatiku, dan aku menulis dengan kesedihan yang kurasakan." (Misty Sky)

***

Aku berdiri dalam kebisuan, tanpa berucap dan salam perpisahan. Semua anganku terbang jauh bersama siluet wajahmu yang ku tatap lekat dalam diam, tidak sekalipun aku berharap kau dapat menangkap resah yang kuderita. Aku hanya berpura-pura tegar, meski sejujurnya batinku berteriak kesakitan. Melepasmu adalah hal yang begitu menyiksa dan mengerikan.

Aku tidak pernah dan tidak ingin mengalami hal ini. Tapi segalanya harus terjadi, kau harus pergi menunaikan tugas yang jauh di sana. Kita tidak bisa menghindar dan melompati garis yang telah ditetapkan. Setidaknya hal itu yang selalu menjadi acuan bagiku agar tidak meraung dan berderai air mata seperti wanita cengeng yang tak tahu malu.

Saat kau berpaling untuk menatapku, aku bersumpah dapat merasakan liquid bening itu mendesak berdatangan. Mendorong mataku hingga terasa perih dan berkabut.

Pupil ini terasa panas dan terbakar, 'Oh Tuhan jangan biarkan aku menangis di depannya' batinku meratap dan sekuat tenaga menahan isakan yang hampir meledak. Aku tidak ingin membuatnya khawatir atas sikap kekanakkan ini, aku tidak bisa jika kau merangkulku untuk yang terakhir kalinya dengan perasaan sedih dan penuh kebimbangan.

Aku hanya ingin kau pergi dengan suka cita dan dapat tersenyum tanpa suatu beban. Meski aku tahu sudut hati kecilmu menahan kesakitan yang sama, tapi kadar kemampuan kita terlihat jelas. Kau seorang pria yang sanggup terlihat tegar, meski aku mendapati sorot matamu berubah sendu sejak beberapa hari terakhir.

Kau tidak ubahnya diriku, saat aku menangkap basah kau menatapku dengan pandangan terluka. Maka secepat kilat sorot matamu kembali berubah binar meski masih tersisa percikan kesedihan di dalamnya. Di sinilah kita saat ini, di bandara Internasional Soekarno Hatta; tengah menunggu keberangkatanmu. Masa ini terasa begitu sulit dan menyesakkan. Kau tidak sedetikpun melepaskan tanganmu dari pundakku.

Aku merasa tersayat saat mendapati sesekali kau meremasnya, mengetahui kau sama terluka dan kesakitan. Hatiku lebih menjerit dan berharap hanya aku yang merasakan sedih karena akan berada jauh darimu. Aku tahu kau melakukan itu untuk melepaskan sedikit beban yang menggelayuti hati. Aku tidak dapat memasang topeng ini lebih lama lagi, Pertahananku hampir runtuh dan berserakan di dasar hati.

Sebelum air mata ini berhamburan keluar, aku beranjak dan pamit undur diri untuk ke kamar mandi. Aku tahu keningmu berkerut tanpa aku harus berbalik untuk memastikannya, kau paham betul seperti apa sikapku dengan sangat jelas. Meski begitu aku tetap memilih tempat sepi untuk meluapkan rasa sakit yang kian membuncah.

Dengan semua tenaga yang kumilikki, aku berlari menuju kamar mandi wanita. Masuk ke dalam toilet dan menangis tersedu di dalam sana, tidak perduli jika orang sekitar mencemooh dan berkata hal yang tidak seharusnya mereka ucapkan. Setidaknya ini jauh lebih baik daripada aku harus terisak dan membasahi baju formal yang membalut tubuh tegapmu.

Untuk beberapa saat aku terhanyut dalam bingkai kesedihan yang terus menjerat. Hingga akhirnya otakku seperti tersadar dan tahu bahwa waktu yang kumilikki bersamamu tidak lagi banyak. Pesawat yang akan membawa tubuhmu ribuan mill jauh dariku hampir lepas landas. Aku keluar dan berlari menuju ruang tunggu seperti orang kesetanan. Berharap kau tidak marah karena aku pergi terlalu lama di saat yang tidak tepat.

Aku berjalan kikuk kala mendapati tatapan mata awas yang kau tunjukkan. Rasa bersalah seketika mendera dan kembali membuatku dilanda rasa cemas yang berkepanjangan. "Kenapa lama sekali? Aku rasa toiletnya tidak ramai," kau berkata dengan suara tenang dan menatapku curiga. Saat aku hanya diam dan tidak menjawab, kau berjalan maju dan merengkuhku dalam pelukanmu.

Pelukan yang akan sangat aku rindukan selama dua tahun terakhir, pelukan yang akan membuatku gila karena tidak dapat merasakannya dalam waktu lama. Sikapmu akhirnya yang kembali membuatku runtuh dan tidak memiliki daya upaya. Air mata itu seolah diproduksi dengan begitu banyak, aku membasahi stelan formal yang kau kenakan.

Demi Tuhan aku begitu menyesal atas tindakan ceroboh yang tidak bertanggung jawab seperti ini. "Tidak apa-apa menangislah sayang."

Perkataannya membuatku tenang, tangisanku seolah mengerti dan berusaha untuk mengikhlaskan kepergianmu. Setidaknya ini hanya sementara dan bukan untuk selamanya, aku merona tatkala mendongak dan mendapati dirimu tengah mengulum senyum. Matanya mengerling nakal namun penuh kasih sayang, "Aku harap itu adalah tangisan terakhir. Setelah aku menginjakkan kaki ke dalam pesawat berjanjilah untuk tetap kuat."

Ia memapahku menuju kursi tunggu, sesekali mengangguk ramah pada penumpang lain yang sedari tadi memperhatikan kami. Aku tahu ia tidak akan merasa malu atas tindakkan bodoh yang kulakukan di depan umum. "Pasti sulit bagi seorang wanita jika harus tinggal berjauhan dengan suaminya," seorang ibu yang aku perkirakan berusia hampir kepala lima memberi komentar.

Ya Tuhan bahkan ini bukan pertama kalinya aku harus melepas kepergian orang terkasihku. Jika dihitung ini adalah kali ketiga aku mengalami hal ini. Tapi semuanya tetap sulit dan terasa semakin sulit, ia semakin dewasa dan aku merasakan kasih sayang yang ia curahkan kian bertambah. Sebelum aku berhasil mengeluaran suara untuk menyela perkataan wanita paruh baya tadi.

Lelaki yang kini menyimpan tangannya dalam pinggangku telah berkata terlebih dulu. "Aku selalu merasa berat setiap kali harus meninggalkannya sendirian dan jauh dari tempatku berada."

"Astaga, aku terharu mendengar penuturanmu nak. Jadilah kepala keluarga yang baik untuk istrimu dan jagalah kepercayaan yang telah dia berikan."

Petuah wanita itu diamini oleh kami berdua, aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Batinku kembali teriris tatkala mengetahui bahwa waktunya hampir tiba, saat aku berpaling untuk memberi tahu, kau tersenyum lembut seraya mengecup keningku dengan penuh perasaan. "Jaga dirimu untukku, karena aku akan sangat merindukanmu istriku. Maaf karena kita belum bisa bersama untuk menjalani hari yang lebih indah, jika semuanya sudah mencukupi maka aku akan kembali dan tidak akan meninggalkanmu lagi."

Butiran air mata kembali menetes, aku memaksakan seulas senyum untuk terukir. Berusaha melepasnya dengan penuh ke ikhlasan, hatiku bermunajat kepada Tuhan. Agar Sang Pencipta menjaga keselamatannya hingga di tempat tujuan, berdo'a agar Yang Maha Kuasa selalu memberikan perlindungan dan menjauhkan ia dari segala hal yang akan menjerumuskan.

"Hati-hati," aku berkata dengan suara bergetar, hanya itu yang mampu ucapkan. Tidak ada kata lain yang mampu keluar dari mulutku, semua tersendat dan bergulung di tenggorokan tidak ada yang mau keluar. "Kamu juga! Jangan tidur terlalu larut, tolong jaga kesehatan selama aku tidak ada di sini."

Perlahan ia mengambil semua koper dan barang-barang miliknya. Melempar senyum untuk terakhir kalinya, saat langkahnya semakin menjauh, pertautan tangan kami terlepas. Sebelum terlambat aku harus memberitahunya, ia berhak tahu jika dalam diriku tengah ada nyawa lain yang bersemayam. "Aku hamil," ucapku lirih, namun dapat kupastikan ia dapat mendengarnya dengan baik.

Tubuhnya menegang untuk beberapa waktu. Hingga akhirnya aku melihat secara nyata binar kebahagiaan menghias wajahnya. Ia berlari dan menghambur ke arahku, membawa diriku dalam pelukan yang selalu terasa hangat dan menenangkan. Dan aku terhenyak saat mengetahu bahwa ia menangis dalam dekapanku.

FIN

Posted from WordPress for Android

Kumpulan Kisah NyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang