Ketika Aku Tidak mengenalmu

512 16 0
                                    

Apa kau pernah tahu apa itu luka? Apakah kau pernah mengerti bagaimana rasanya kecewa?

Aku menanyakan pertanyaan tersebut dalam teriakan yang teredam. Aku ingin mengutarakannya kepadamu, namun yang dapat aku lakukan hanyalah mengaduk tehku yang sudah mulai mendingin sambil sesekali melirik ke arahmu. Kau ada di hadapanku, tapi entah kenapa rasanya kau begitu jauh. Tidak bisa kujamah, bahkan tatapan matamu seolah—dengan sengaja—mengungkapnya.

Aku tidak mengenalmu.

Kau bukan lagi pria yang selama ini kukenal. Kau memasang dinding pemisah yang tidak bisa kutembus. Bahkan dengan gigih kau terus mengelak dari semua pertanyaan sederhana yang aku ajukan.

"Apa kita akan tetap seperti ini?" Akhirnya aku memilih—kembali—menjadi orang pertama yang mengalah. Mengabaikan segala perih atas apa yang telah kita berdua lewati selema ini.

"Seperti ini gimana?" Kau bertanya acuh tak acuh sambil menyesap minuman teh hijaumu yang tinggal setengah. Dan aku menahan desahan lelah atas ketidakpedulianmu.

"Aku rasa ini mungkin tidak akan berhasil," lanjutku sambil memalingkan wajah keluar jendela. Rasanya menyesakan jika harus tetap menatap wajahmu yang terus menampilkan sikap tidak peduli seperti itu.

"Bukankah kita sudah sepakat?" Kau meluruskan kaki dan menatap tepat ke arahku. Sorot matamu terlihat menantang, dan seolah ingin menyalahkan kecanggungan ini terjadi karena diriku.

"Aku rasa kamu memang tidak mengerti," aku memaksakan diri tersenyum. Senyum muram dengan lapisan ironi yang terkandung di dalamnya.

"Apa lagi sih yang harus aku coba mengerti?" Kau bicara dengan suara pelan, tapi aku mengenali setiap tekanan dalam katanya.

"Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi?" Lagi. Lagi-lagi aku terlihat bodoh karena terdengar seperti tengah merengek kepadamu.

"Aku udah bilang nggak ada apa-apa," kerutan tidak senang itu kembali, dan kau menatapku dengan tatapan tidak sabar. "Kalau kamu pengen terus ngungkit hal-hal yang nggak ada apa-apanya. Sebaiknya kita nggak usah ketemu dulu buat sementara waktu."

Kau seolah siap untuk meninggalkan meja kapan saja. Bahkan sikap tubuhmu yang terlihat kesal mulai mencuri perhatian orang-orang. Mungkin kau lupa jika kita sedang berada di cafe, dan bukannya tengah berbincang di bilik pribadi.

"Mungkin," aku mendongak menatap langit-langit, berusaha terlihat seolah baik-baik saja. Meskipun pada kenyataannya aku semakin terluka. "Mungkin kamu tidak mau memberitahuku." Dan mungkin kau tidak tahu jika air mataku nyaris berjatuhan.

"Apa yang harus aku beritahukan sih?" Kau menatapku dengan tatapan kesal yang mulai kentara. "Aku kan udah bilang kalau itu hanya chat biasa. Dan nggak ada apa-apanya!"

Untuk beberapa saat aku hanya mampu memalingkan wajah. Menatap ke arah lain tanpa berani bertatapan denganmu. Karena aku tahu, jika sekali saja mata kita bersiborok, cairan bening ini akan membasahi pipiku saat itu juga.

"Sudah dua tahun aku menunggu," aku mulai bicara dengan perlahan. Mulai menata hati dan pikiran agar tetap bisa berpikir jernih saat bicara. "Aku menunggu dan terus menunggu," kataku sambil menelan gumpalan pahit di tenggorokan. "Aku terus berharap kalau suatu saat kamu akan mulai terbuka dengan semuanya," dan tawa ironis itu meluncur begitu saja. Terlepas dari bibirku tanpa dapat dikendalilan.

Tepat sebelum kau mengeluarkan kata-kata sebagai balasan, aku berhasil mencegah air mata itu keluar dari kelopak mata. Dan pada akhirnya aku kembali menoleh ke arahmu seraya berkata. "Tapi ternyata aku salah," kataku sambil menggeleng pedih. "Entah mengapa aku merasa kau seperti meminta segalanya dariku, sementara aku hanya diberi sebagian."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 10, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kumpulan Kisah NyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang