Buah Dari Rasa Sabar Dan Keikhlasan

34.4K 100 9
                                    

Ini adalah lanjutan kisah nyata dari Ikhlas dan sabarlah, terima kasih buat yang sudah membaca dan memberikan vote serta komentarnya. #bow

***

Aku pernah merasakan sakit manakala orang-orang terkasih mencemooh. Memandang rendah kala keluarga kecilku tidak memiliki penghasilan yang memadai. Menjadi seolah terasing dalam keluarga besar, rasanya itu sangat menyakitkan ketika mengetahui kenyataan bahwa uang tetap menjadi prioritas di mata mereka.

Aku tidak pernah bersedih dengan pilihan yang telah kuambil. Memiliki suami yang selalu mengusahakan yang terbaik demi rumah tangga kami, itu sudah jauh lebih dari cukup untukku. Dia bukannya tidak ingin membelikan sebuah rumah atau makanan dan pakaian mewah, hanya aku sudah cukup tahu diri bahwa dia belum mampu.

Di awal masa pernikahan, kami hanya bisa makan nasi satu bungkus berdua. Pernah suatu ketika aku berharap dapat makan pecel ayam satu porsi sendiri, bukannya aku kufur nikmat. Sebagai manusia sisi diriku saat itu begitu menginginkan makan dengan layak agar dapat mengisi perut hingga kenyang.

Aku selalu menyembunyikan tatapan sedih setiap kali jam makan tiba. Satu porsi nasi bungkus harus kami bagi berdua, aku tidak terlalu perduli dengan diriku. Tapi suamiku jauh lebih membutuhkam banyak asupan makanan---mengingat nafsu makan laki-laki lebih besar dari wanita.

Peristiwa kala menumpang makan di rumah Mama yang menorehkan luka, semenjak saat itu pantang bagiku untuk kembali meminta ke sana. Aku tidak ingin mendengar beliau mengeluarkan perkataan yang bisa saja menjadikanku anak durhaka karena melawan perkataannya.

Aku lebih memilih makan seadanya dengan perut yang masih lapar daripada harus mengulang masa silam yang menyakitkan. Hampir satu tahun kami menikah dan saat ini dalam tubuhku tengah bersemayam buah cinta kami, usia kandunganku sudah menginjak bulan ke lima.

Jauh di dasar hati aku merisaukan biaya untuk persalinan. Namun di sisi lain hatiku memilih pasrah dan berserah kepada Allah. Menyerahkan semua yang akan tejadi pada kehendakNya, aku sebagai manusia hanya bisa berusaha semampu dan sebisa yang kami lakukan. Aku tidak ingin tetap berleha-leha dan terus berdo'a, jika do'a tanpa usaha apalah artinya.

Tidak mungkin Tuhan akan menurunkan hujan uang dari langit, atau mengirimkan harta karun yang bisa saja teronggok satu peti emas di depan rumah. Meskipun jika Allah sudah berkehendak; semua itu bisa saja terjadi, tapi aku yakin Sang Pencipta lebih menginginkan umatnya terus berusaha sendiri tanpa putus asa.

Seperti pada masa sebelum mengandung, semua aktifitas aku lakukan tanpa mengeluh. Jujur aku tidak pernah merasa keberatan atau lelah untuk tetap berkerja. Terlebih saat ini bertepatan pada bulan ramadhan.

Aku berkerja seperti biasa, dan suamiku semakin giat mencari nafkah. Aku tahu dia juga memikirkan tentang biaya persalinan. Kami bahu membahu untuk menabung dan menyisihkan uang setiap hari, mungkin bukan nominal besar. Tapi aku selalu menanamkan dakam hidup bahwasannya sesuatu yang sedikit saja jika ditimbun maka akan menjadi banyak.

Masih banyak pelajaran yang harus kami tuai dalam keseharian. Meskipun aku terluka oleh ucapan Ibuku, tapi hal tersebut tidak lantas membuatku lupa untuk tetap mengingat beliau dan saudara-saudaraku yang lain jika aku mendapat rizki lebih untuk membeli makanan.

Seperti pada hari ini, aku membeli es buah untuk dibawa pulang. Sebelumnya aku sudah berbuka di tempat kerja, yang terlintas dalam benakku ketika melihat es buah ini adalah ibuku. Beliau sangat menyukai buah duren dan aku ingin membelikannya meski tidak banyak.

Setidaknya ada sedikit dan bau duren di dalamnya, aku menyisihkan uang jajanku untuk membelinya. Suamiku hanya tersenyum saat mengetahui aku membawa pulang makanan untuk keluargaku. Dia tidak pernah berkomentar ataupun melarang, hal yang dilakukannya hanya tersenyum dan selalu mendukung apa yang kulakukan jika itu dirasa baik.

Kumpulan Kisah NyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang