Di Mana Anakku?

1.9K 38 14
                                    


"Dari seorang teman yang bersedia menceritakan kembali kepedihan hatinya."

***

Aku menatap langit sore dengan tatapan kosong, menikmati indahnya panorama pedesaan di tempatku dibesarkan. Saat lembayung mulai berpijar, aku merasakan tusukkan nyeri yang terasa semakin menyayat. Dan saat metahari berpulang ke peraduan, air mata telah bergerombol keluar, membasahi serta membuat wajahku sembab.

"Ayo, Sayang. Sudah mau magrib, kita harus pulang," pria yang ada di sampingku berujar, dengan perlahan aku memutar kepala, menatap ke dalam matanya yang tengah melihatku dengan pandangan cemas. "Besok kita bisa kembali ke sini lagi," tambahnya, seolah dia mengerti kerisauan yang tengah kurasakan, karena aku duduk di atas rumput dan tidak juga beranjak.

"Apa kita akan mendapatkan Anak lagi?" Aku terisak tepat setelah mengucapkan pertanyaan tersebut, pria itu--suamiku--membawa tubuhku dalam pelukannya, dia hanya diam dan tidak melakukan penghiburan. Sekalipun seperti itu, aku tahu bahwa dirinya juga merasakan kedukaan yang sama. Dia memang tidak pernah mengandung, tapi dia adalah Ayah dari anakku yang hilang.

Hilang? Yah, anak yang aku kandung selama enam bulan lamanya. Anak yang bahkan belum sempat aku lahirkan, dan anak yang tidak akan pernah menjadi milikku. Bahkan untuk bisa hamil saja, kami harus menunggu selama dua tahun. Aku menikah dengan pria yang terpaut usia sepuluh tahun dariku, awalnya kami sangat berharap dapat segera memiliki momongan. Tapi apalah daya, Tuhan meminta kami untuk menunggu dan terus berusaha.

Selama penantian tersebut, kami sudah sering berkonsultasi dengan dokter, orang pintar, bahkan dukun beranakpun kami sambangi. Dokter menyatakan bahwa kami berdua sehat dan tidak memiliki masalah apapun, kami juga pergi ke orang pintar untuk mencari syariat. Berharap Allah akan melapangkan jalan dari salah satu upaya kami.

Setelah dua tahun berusaha, akhirnya aku diberikan kepercayaan untuk menjadi seorang Ibu. Dalam rahimku telah bersemayam buah cinta kami, rasa bahagia yang aku rasakan saat itu; bahkan sulit untuk dijabarkan seperti apa. Seluruh keluarga menjadi lebih perhatian, bahkan suamiku menjadi lebih baik dari sebelumnya. Dia selalu menjadi suami yang sigap, Ayah, Ibu dan keluarganya juga selalu memperhatikanku.

Setiap kali jadwal kunjungan ke dokter, suamiku selalu setia mendampingi. Tidak pernah sekalipun dia absen dari mengantar, saat ini kandunganku sudah memasuki usia dua puluh tujuh minggu. Aku bisa melihatnya menendang, bergerak serta melihat wajahnya melalui mesin ultrasonografi (USG). Namun hingga saat ini, kami belum berhasil mengetahui jenis kelaminnya, dia selalu menutupi bagian tersebut--seolah ingin kami mengetahuinya setelah dia lahir nanti.

Seperti hari-hari sebelumnya, kami pulang dan aku beristirahat sesampainya di rumah. Sering kali, pekerjaan rumahpun dikerjakan oleh si Mbah, kami tinggal bersama beliau, dan si Mbah sudah berencana untuk mengajakku ke pasar kota besok pagi.

"Ndo, besok kita pergi ke kota buat beli baju-baju bayi," ajaknya sambil menjahit pakaian Mbah kakung yang sobek.

"Mau berangkat jam berapa, Mbah?" Tanyaku sambil menatap jarinya yang bergerak lincah di atas kain, "Sepertinya kita harus berangkat pagi biar pulangnya gak kesorean," usulku.

"Yo, wes. Besok kita berangkat jam pitu," aku mengangguk setuju, perjalanan dari tempatku ke pasar yang ada di kota membutuhkan waktu satu jam. Kami harus naik kendaraan umum dan itu lumayan jauh. Semoga besok cuaca tidak terlalu terik, karena biasanya di pasar kota sangat ramai, dan otomatis akan membuat suasana terasa penuh sesak.

***

Aku sedang dalam perjalanan ke pasar yang ada di kota, si Mbah menemaniku, beliau tentunya lebih paham apa saja yang harus dibeli. Sebentar lagi kandunganku hampir menginjak usia tujuh bulan, wajar rasanya jika kami sekeluarga sudah membeli persiapan untuk kehadiran si bayi. Terlebih, ini adalah cucu pertama dalam keluarga besarku. Serta untuk mendapatkannya saja, kami harus berikhtiar sekuat tenaga.

Kumpulan Kisah NyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang