Sakitnya Merindu

1K 27 5
                                    

Hai Tuan, sudah berapa lama kita saling menyapa lewat suara? Terkadang komunikasi seadanya bukanlah jalan terbaik untuk melepas rindu yang ada.

Apakah kau tahu, Tuan? Di saat hatiku menyebut namamu dan helaan napas, aku hanya bisa terdiam dengan air mata berderai. Silahkan anggap saja aku cengeng, tapi aku menangis bukan tanpa alasan.

Saat tadi pagi aku terbangun, mataku sudah dibuat perih oleh dua orang yang saling mencintai dan tersenyum dalam gambar yang diambil oleh lensa kamera. Senyum bahagiaku tergerus, aku ikut berbahagia untuk mereka. Tapi sisi diriku yang lain tetaplah seseorang yang memiliki perasaan.

Karena pada nyatanya aku menatap gambar tersebut dengan mata memburam. Mungkin terdengar klise jika aku menyebutkan alasannya, tapi pasangan dalam photo itu terlihat bahagia, mereka selalu mengukir momen kebersamaan dalam jepretan lensa yang bisa diabadikan.

Tapi aku hanya bisa menelan rasa pahit saat ingin menatap wajah kita bersama, wajah yang tersenyum cerah untuk dijadikan sebuah gambar yang bisa aku pandangi. Sakitnya merindu... Aku hanya bisa memejamkan mata sambil membayangkan wajahmu, karena jujur saja jika harus melihat gambarmu aku tidak sanggup.

Aku sudah mencoba berlapang dada, tapi apakah kamu tahu, Tuan? Melihat wajahmu tersenyum di sisi wanita lain... Itu membuat hatiku sakit? Aku tidak pernah ingin mengatur apa yang kau lakukan. Tapi kenapa tidak ada satupun photo kita berdua yang bisa dilihat?

Apakah sebegitu tidak maunya kah dirimu untuk memperlihatkan diriku pada dunia luar? Tuan, jika kau berpikir aku terlalu bertele-tele hingga menginginkan hal seperti itu, anggap saja aku tidak pernah menanyakan kenapa-kita-tidak-memiliki-photo-berdua?

Aku sudah terbiasa dengan perasaan ini, mungkin sampai nanti aku tetap harus berlapang dada. Anggap saja aku sedang merajuk, atau sedang iri pada pasangan lain. Anggap saja aku kekanakan karena mempermasalahkan hal yang tidak penting--bagimu--namun nyatanya terasa penting untukku.

Untuk tidak pernah berharap banyak, Tuan.
Aku hanya berharap bahwa kita bisa menjalani hubungan normal, atau setidaknya ada benda yang bisa aku kenang saat merindukanmu. Tapi jika hal itu terasa membebani perasaanmu, anggap saja semua yang aku katakan hanya angin lalu.

Karena sampai detik ini aku masih tetap di sini, tetap menunggumu Tuan. Tetap bergelung bersama kerinduan yang mendalam, jarak yang terbentang di antara kita terlalu jauh. Hingga terkadang membuat diriku bertanya-tanya dengan perasaan resah.

Apakah kau di sana baik-baik saja? Apakah ruang dan waktu yang memisahkan kita tidak akan pernah bisa terkikis? Berapa lama lagi, Tuan? Berapa lama kita akan bertahan dengan kondisi seperti ini? Aku tahu ini demi masa depan, tapi bolehkah aku egois untuk sekali saja?

Bolehkah aku memiliki banyak hal tentangmu yang bisa aku gunakan untuk melepas rindu? Karena bagiku setahun sekali itu sangatlah lama, satu kali dalam 12 bulan waktu kita untuk berjumpa. Aku hanya bisa berharap kalau hal seperti ini akan segera usai.

Aku merindukanmu, Tuan. Dan berharap kalau kau berpikir bahwa aku adalah satu-satunya tempat untukmu pulang, berharap kalau akulah satu-satunya hal yang dituju jika masa tugasmu di sana sudah usai.

Dan terima kasih untuk akhir-akhir ini, karena kau tidak sering menunjukan photo dirimu bersama teman wanita yang ada di sana. Aku memang tidak pernah bereaksi berlebihan setiap kali melihatnya, tapi aku juga tidak pernah ingin berbohong.

Karena pada kenyataannya hatiku terluka, berdarah dan merasa marah. Orang lain yang hanya seorang teman bisa memiliki banyak kenangan bersamamu, tapi aku... tidak ada satupun gambar kita bersama yang tengah menatap kamera.

Dari aku; seseorang yang masih setia menunggu dan selalu merindukanmu

Kumpulan Kisah NyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang