8- rendy dan asa

1 0 0
                                    

8- tentang rendy dan asa

Sore itu, disaat langit perlahan menjingga dan matahari bersiap kembali pada peraduaannya. Rendy masih berkutat dengan semua tumpukan buku di meja belajarnya, fokusnya hanya kepada tumpukan buku buku itu, dan tujuannya mempelajari aksara demi aksara yang terkandung di dalamnya. Berkali kali hati kecilnya menggoyahkan tekadnya, membisikan beberapa kata yang sepenuhnya fakta, dan berusaha menggurkan pertempurannya.

Namun sekali lagi, rendy memiliki tujuan. Masa depan yang harus ia bangun, di tengah hambatan yang seakan akan menghimpitnya setiap waktu. Terkadang rendy lelah berjuang, ingin saja ia membuang semua harapan dan impiannya yang semakin lama semakin jauh untuk digapai. Dan menjalani hidup bebas layaknya semua orang yang kerap kali ia lihat. Bebas, tidak bertujuan, dan tidak memiliki beban.

Terkadang ia lelah, dan hilang tujuan. Berfikir sendiri di ruang sepi tentang, "untuk apa?" terus begitu hingga dirinya lelah mempertanyakannya sendiri. Dulu, semua terasa sangat mudah digapai. Ia paham untuk apa ia menjalani hidup, kepada siapa, dan bagaimana. Namun sekarang rasanya, perlu berkali kali menanamkan pada dirinya sendiri. Bahwa tanpa siapapun dan tanpa pertanyaan apapun yang harus ia jawab, rendy bisa bangkit sendiri.

Sejenak, tangannya berhenti menulis. Matanya berhenti membaca sederet aksara yang sedikit memusingkan. Matanya terpejam seraya menghembuskan nafas lelah berkali kali. Sekelebat bayangan, menyakitkan hadir. Membuatnya cepat cepat membuka matanya dan menatap dingin dinding kamarnya. Setiap kali bayangan itu muncul, sedikit demi sedikit mulai mematahkan tongkat semangatnya yang akan menyambungnya pada cita cita masa depan.

Matanya melirik sebuah bingkai foto yang menampilkan sosok wanita dengan sedikit kerutan di sudut matanya, bibirnya membentuk senyuman manis yang memabukan, dan matanya menampilkan sorot mata selembut sutra para bangsawan. Rendy menatapnya tanpa ekspresi, membiarkan hatinya kembali bergejolak. Dan dengan sendirinya ribut mempertanyakan hal yang sama berulang kali. "untuk apa?", "kenapa tidak diakhiri saja?" terus begitu hingga rasanya rendy ingin meledak.

Belum cukup hatinya membuat bising dan membuatnya terusik. Suara pecahan piring, teriakan, dan jeritan dari luar kamarnya membuat nafasnya memburu. Kini, hatinya berantakan, kepalanya pening. Laki laki itu memaksa menulikan telinganya, berusaha sekuat tenaga meyakinkan bahwa tidak ada yang ia dengar selain kesunyian kamarnya. Rendy menggenggam pensilnya dengan gemetar, lalu melirik bingkai foto itu dengan nafas yang tersekat. Ia menghela nafas, meyakinkan dirinya sendiri. Dia bisa, apapun yang terjadi.

Namun, baru sebentar ia meyakinkan dirinya sendiri. Ketukan pintu yang keras di tambah suara teriakan dari luar sana, membuat kepalanya kembali pening. Berantakan sudah semuanya. Rendy benci semua ini. Ia tatap tumpukan buku di depannya dengan frustasi, sedetik setelahnya ia cengkram buku itu kuat kuat untuk kemudian ia lempar dengan kasar kearah pintu.

"DIAM!" teriaknya keras. Namun tak sekalipun, teriakannya di dengarkan.

*************

THE UNDERCOVER (karna tidak ada manusia yang semurni kelihatannya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang