Sore yang tenang, di tepi pantai tak jauh di luar kota Jakarta, terdengar suara ombak berdebur menghantam batu karang. Angin berhembus kencang meniupkan aroma lautan yang menenangkan. Beberapa orang tampak berkeliaran di tepian pantai, duduk di atas pasir yang putih, menikmati semilir angin laut. Segerombolan anak kecil tampak bergembira bermain air di tepi pantai.
Eza dan Ara berjalan beriringan menyusuri bibir pantai, berbincang dan sesekali tertawa melihat anak-anak di sekitar mereka.
Eza terus saja mencuri waktu untuk bersama Ara. Ketika Nino dan Ibu Mareta pulang ke Bandung, di sinilah ia, menghabiskan waktu bersama Ara.
Dibalik wajahnya yang terus tersenyum, tertawa dan bahagia, Eza berulang kali menelan ludahnya, menahan perasaan yang menggebu kepada wanita di sisinya, yang tampak cantik dengan balutan kaos lengan panjang sederhana warna merah, dan celana jins panjang berwarna biru yang digulung hingga betis, dan rambut kuncir kuda serta poni yang berantakan tertiup angin. Berulang kali Eza mencuri pandang menyaksikan keindahan yang berdiri di sampingnya, senyumnya, tawanya, suaranya, segalanya. Betapa ia sangat merindukannya. Rindu yang tak kunjung hilang, tak peduli berapa lama pun ia menatapnya, Ara, dunianya yang hilang selama 5 tahun terakhir.
Perlahan dan penuh keraguan, Eza meraih tangan Ara dalam gandengannya. Gadis itu tersentak dan menatap Eza. Namun ia diam saja, melihat Eza yang tertunduk dan terus berjalan di sisinya. Ketika ia balas menggenggam tangan yang kokoh itu, Eza menatap wanita itu dengan tak percaya. Ara tersenyum, kemudian mengangkat bahunya sepintas dan mereka kembali tertawa bersama.
Kulit Ara sangat halus, tangannya begitu mungil dan rapuh. Eza menggenggamnya erat, enggan melepaskannya. Susah payah ia menahan dirinya agar tidak menarik tangan itu ke wajahnya, mengecupnya dengan bibirnya, dan menghirup aroma manis yang disukainya.
Malam menjelang dan Eza mengantar Ara pulang ke apartemennya. Ia mengendarai mobil kantor yang dipercayakan padanya, sedangkan mobilnya ditinggal di Bandung.
Koni mereka tengah duduk di ruang tamu Ara. Ketika Eza permisi ke toilet, ponselnya yang tergeletak diatas meja berdering nyaring, Ara melihat nama yang tertera di ponsel tersebut.
Mia..
"Apartemen kamu bagus juga," Eza baru tiba dari belakang dan mengomentari apartemen Ara.
"Ya, sederhana tapi aku menyukainya. Oh iya, tadi sepertinya ada yang menelepon, mungkin penting," Ara menunjuk ponsel Eza.
Eza meraih ponselnya dan melihat siapa yang menelepon.
"Ah, tidak. Hanya mia, tunanganku,"
Hati ara mencelos. Tunangan? Eza punya tunangan..
"Tu.. Tunangan?" tanya Ara ragu.
"Ya," jawab Eza dan seketika ia membeku. Apa yang sudah dikatakannya? Tunangan? Mengapa mendadak ia menjadi idiot. Sejak kemarin ia bahkan tidak mempedulikan Mia dan sekarang di hadapan Ara ia mengatakan dengan gamblang bahwa ia punya tunangan. Eza merutuki dirinya sendiri.
Bodoh, kau idiot. Kau merusak segalanya.. batinnya kepada dirinya sendiri.
"Selamat! Berarti kau akan segera menikah kan?" tanya Ara, wajahnya tampak berbinar. Eza gagal menangkap getaran pada suara Ara.
Eza kecewa melihat Ara senang mendengar berita pernikahannya.
Kau memang tidak pernah mempertimbangkan aku ya? di matamu hanya ada Reno.. batinnya.
Ia terluka, luka yang sama yang dialaminya setiap hari selama 2 tahun, melihat Ara bersama lelaki bernama Reno. Dan terus berlanjut selama 5 tahun berikutnya, merindukan Ara yang lebih memilih Reno.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love of a Lifetime
RomanceLima tahun sudah Eza kembali ke kota asalnya, bekerja dan melanjutkan hidup. Ia baru saja membuang sifat playernya dan melamar pacarnya, ketika ia kembali ke kota rantauan yang pernah ia singgahi dan bertemu kembali dengan seorang wanita yang dulu m...