Eza baru bangun saat matahari sudah tinggi. Ia memang butuh istirahat. Ia meregangkan tubuhnya, kemudian menyambar dompet dari celana panjangnya yang berserakan di lantai. Ia menatap foto yang di ambil dari dompet nya itu. Foto dirinya, Ara, dan Reno 7 tahun yang lalu. Eza menatap sendu pada foto itu. Sungguh ia merindukan Ara. Walau baru seminggu ia putus kontak dengan Ara sejak ia kembali ke Bandung. Dan Reno, seperti apa ia sekarang? apakah ia tumbuh semakin menawan dan menarik para wanita di sisinya? Sedangkan hatinya hanya untuk Ara. Eza mendesah.
Begitu pula aku.. Hati dan cintaku hanya pernah hadir untuk Ara. Cintaku padanya tumbuh seiring waktu. Tak peduli walau aku tak pernah melihatnya lagi. Apakah kau akan mengijinkan aku mengambilnya darimu, Ren?
Eza meletakkan kembali foto itu di dompetnya. ia mengemasi kamar dan tempat tidurnya lalu beranjak ke kamar mandi. Eza sudah bersiap untuk pergi. Ia mengenakan kemeja santai berlengan pendek kotak-kotak kecil berwarna abu-abu dan hijau, serta skinny jeans biru tua.Ia melewati ruang makan dan sang mama menyuruhnya untuk makan sebelum pergi.
Eza tersenyum dan mengangguk, lalu makan dengan lahap. Kemudian ia memeluk mamanya di depan pintu.
"Doakan Eza, Ma.." bisiknya.
Mamanya tersenyum, membelai wajah Eza dengan lembut lalu mengangguk.
"Eza nggak bisa janji akan bawa dia pulang. Mungkin Eza hanya akan patah hati, Ma..." lirihnya.
"Yang penting kamu berusaha," jawab mamanya. "Kalau bukan dia, mungkin akan ada wanita yang lain yang akan menarik hatimu, kelak..." mamanya menatapnya dengan senyum menenangkan.
Eza tersenyum, namun keraguan tampak jelas di wajahnya. Ia meraba sakunya, dan menyadari bahwa ponselnya tertinggal di kamarnya.
"Eza mau kekamar sebentar, ada yang ketinggalan."
Mamanya mengangguk, lalu duduk di ruang tamu.
Eza menyambar ponsel di meja samping tempat tidurnya. Ia teringat Nino. Entah bagaimana keadaan sahabatnya itu. Apa dia masuk rumah sakit? Eza duduk di atas kasurnya dan menelepon Nino.
"Hai," suara Nino terdengar serak.
"Kau baik-baik saja?" tanya Eza. Sesungguhnya ia penasaran tentang hubungan Nino dengan Ara. Namun ia enggan untuk menanyakannya pada Nino. Bagaimana jika jawaban Nino membuat hatinya sakit dan kembali kalap seperti kemarin? Bagaimana jika ternyata Nino telah merebut Ara dari Reno? Sementara ia sekali lagi harus mengalah pada sahabatnya yang lain dan melepaskan cintanya? Cintanya yang tak pernah kesampaian. Dan tentang apa yang telah dilakukan Nino pada Ara.. Apa sebenarnya? Eza kembali merasa ketakutan akan segala kemungkinan itu.
Terdengar suara Nino tertawa. "Tidak sampai rawat inap walaupun kau menghajarku sepenuh hati," jawabnya.
"Syukurlah.."
"Kau sudah membaca surat itu? Apa yang akan kau lakukan sekarang?"
"Surat?" tanya Eza.
"Amplop yang kuberi padamu kemarin.."
Eza menatap amplop yang tergeletak di meja tempat ia mengambil ponselnya tadi. Ia menyobek amplop itu dan menemukan amplop lain di dalamnya, amplop yang berwarna kekuningan karena sudah lama. Eza mengernyit pada nama tujuan amplop itu. Ia sudah tidak mendengar Nino yang berbicara di seberang telepon. Ia sudah menyobek amplopnya dan mulai membaca surat di dalamnya. Beberapa lembar kertas yang tampak sudah mulai termakan waktu, dengan tulisan tangan yang tak asing baginya. Eza membaca surat itu dengan seksama. Perlahan, sangat perlahan, matanya berkabut, air mata berjatuhan dari kelopak matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love of a Lifetime
Storie d'amoreLima tahun sudah Eza kembali ke kota asalnya, bekerja dan melanjutkan hidup. Ia baru saja membuang sifat playernya dan melamar pacarnya, ketika ia kembali ke kota rantauan yang pernah ia singgahi dan bertemu kembali dengan seorang wanita yang dulu m...