2. The Arms of The Past

7.4K 373 14
                                    

Welcome to Jakarta, kota penuh kenangan..

Eza tengah duduk di sebuah café di pinggiran kota Jakarta. beberapa menit setelah ia memesan secangkir kopi susu panas untuk melegakan kepenatannya, waitress mengantarkan kopinya sambil tersenyum sangat manis.

Bukan Fahreza Armando namanya kalau tidak menyadari gerak-gerik wanita yang cari perhatian.

"Terima kasih, mbak cantik, " ucapnya sambil mengedipkan mata.

Mbak-mbak waitress itu pun menyelipkan selembar kertas dibawah cangkir kopi Eza. Tanpa membukanya pun Eza sudah tahu, itu adalah nomor handphone atau pin bb, sudah pasti.

Eza nyengir saja dan memasukkan kertas tersebut ke dalam sakunya, sementara waitress tadi sudah kembali bekerja.

Eza kembali sibuk menelusuri berkas di hadapannya sambil sesekali menyesap kopinya. Beberapa menit kemudian, ponsel Eza berdering menampilkan nama Mia di layarnya yang berkedip-kedip.

Eza menghela napas. kemudian perlahan menjawab panggilan tersebut.

"Sayang, aku tadi ke kantor kamu, tapi kamunya nggak ada. Terus karyawan kamu bilang kamu tugas ke Jakarta. Kok kamu gak bilang akuu??" wanita diseberang sana nyerocos tak hentinya.

Eza menjauhkan sedikit ponselnya dari telinganya. Ia kemudian menyentuh pelipisnya dan memijat nya perlahan. kepalanya berdenyut dan pusing. Tadi malam ia tidak tidur sejak Nino meneleponnya. Jam 9 pagi, ia, Nino dan ibu Mareta bertolak dari Bandung. setibanya di Jakarta, mereka sudah ditunggu untuk meeting di kantor cabang. Meeting baru saja tuntas tadi, namun Eza kebagian tugas mengurus sebagian berkas yang sedari tadi dipelajarinya selagi duduk di café, sekarang tunangannya menelepon dan mengomel. Tunangan? Ya benar, itu kan sebutannya kalau sudah ada kata will you marry me?

"Mia, aku sedang kerja," ucapnya malas, "Berangkat mendadak jadi gak sempat kasih kabar."

"Oh, maaf Za, aku ganggu ya? Habis dari tadi ponsel kamu nggak aktif. Makanya pas akhirnya nyambung dan kamu angkat, aku jadi bawel gini deh.."

"Iya,ya sudah kamu tenang aja. Nanti aku telepon lagi ya," jawabnya masih dengan nada malas dan mencoba bersabar. Gini nih kalo menjalin hubungan serius sama wanita, pikirnya. Baru pacaran aja udah bawel dan ngatur, udah dilamar makin menjadi, nanti kalo sudah nikah nggak tau lah kayak apa lagi??

"Oke sayang, jangan lupa telpon aku nanti yaa kalo enggak sibuk lagi," Mia mengingatkan.

"Oke.." Eza memutuskan sambungan, menghela napas sekali lagi dan meneguk habis kopinya.

Udah saatnya ke hotel, pikirnya.

Eza tengah menata rapi berkas-berkas yang berserakan di meja café kemudian memasukkannya ke dalam tasnya. Kemudian ia merenung sejenak. Ada alasan khusus kenapa dia duduk di café ini sejak selesai rapat kantor, padahal letak café ini cukup jauh dari kantor. Ia menatap sebuah meja yang kosong di pojok café, tempat dimana ia dan sahabat-sahabat masa kuliahnya dulu sering nongkrong, di Jakarta. Ya, dulu Eza menyelesaikan SMA nya di Jakarta dan melanjutkan kuliah di Jakarta juga.

Senyuman sendu hadir di bibirnya mengingat masa yang lalu itu. Ada alasan kenapa ia enggan kembali ke Jakarta. Move on, itulah istilahnya. Ia enggan tertinggal di masa lalu. Bertahun-tahun ia menghindar untuk kembali ke sini. Tapi di sinilah ia sekarang, bukan hanya di kota yang dihindarinya. Tapi juga di café yang dirindukannya. Tentunya ia sendiri, tidak bersama dengan orang-orang di masa lalu nya itu.

Ia jadi teringat kata-kata Nino tentang dia tidak mau ke Jakarta karena takut bertemu mantannya yang bejubel. Memang benar ada banyak sekali mantan pacarnya di sini, mengingat hobinya yang selalu gonta-ganti pacar. Tapi bukan itu alasannya. Bukan mereka yang tidak ingin ia temui. Tapi seseorang. Seseorang yang bertahun-tahun ia rindukan. Seseorang yang sudah ada yang memiliki. Setidaknya, itulah yang ia ketahui ketika ia pergi meninggalkan Jakarta.

Love of a LifetimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang