02 :: Catatan Hati

988 99 12
                                    

Teruntuk kamu...

Angan-angan yang tak bisa kugapai,
sebuah mimpi yang selamanya akan tetap menjadi mimpi,
semua ini tentang rindu yang tak ada obatnya, juga
tentang rasa yang tak terbalas...

Rania menutup buku diary miliknya yang berwarna tosca dia tersenyum. Senyuman miris yang mewakili perasaan hatinya. Kata orang cinta itu butuh perjuangan dan Rania sudah berjuang--masih berjuang untuk seseorang yang dia sayang. Langit masih tampak kelabu Rania menatap keluar jendela, hujan masih turun bahkan kali ini bertambah deras disertai angin kencang. Gadis itu hanya berdiam diri di kamar ditemani seekor kucing dengan bulu lebat berwarna abu. Rania tersenyum melihat tingkah lucu Miwa yang tertidur manja dipangkuannya, dielusnya bulu Miwa yang lebat. Berada didekatnya membuat beban Rania sedikit berkurang.

"Miw, apa gue nyerah aja ya? Selama ini gue udah berjuang dan bahkan gue masih bertahan," katanya sambil membelai bulu lebat Miwa.

"Rania...." panggilan itu membuat Rania menoleh, papanya berdiri di ambang pintu. Lelaki itu mendekat dan duduk di samping putrinya.

"Muka Papa kok sedih gitu, ada masalah?"

Herman tersenyum kecut sambil mengelus rambut putri semata wayangnya itu.

Herman menghembuskan napas terdiam sebentar tanpa suara, seperti ada sekat yang menghalangi kerongkongannya untuk bersuara. Matanya menatap langit-langit kamar, Herman menggeleng, lalu kembali menatap Rania.

Kening Rania mengkerut, memeluk papanya dari samping. "Kenapa, Pa?" Rania menyandarkan kepalanya di bahu Herman.

"Papa dipecat, Nak."

Rania menjauhkan kepala menatap papanya dengan tatapan kaget.

"Papa dituduh menggelapkan uang perusahaan sebesar 200 juta. Papa bingung harus gimana, sementara kamu butuh biaya banyak buat kuliah."

Rania menggeleng. "Nggak pa-pa kok kalau Rania berhenti kuliah, Rania nggak mau bebanin Papa."

"Apapun keadaannya kamu harus kuliah sampai selesai itu janji Papa sama kamu. Kamu anak satu-satunya Papa, Papa nggak tega liat kamu berhenti kuliah."

Rania menghembuskan napas, mengusap tubuh Miwa. "Tapi, Pa ... Rania bisa kuliah lagi tahun depan. Rania bisa kerja buat bantu Papa."

"Beasiswa kamu masih jalan kan?"

Rania mengangguk.

Herman tersenyum lebar, dia sendiri sudah berjanji kepada almarhumah istrinya untuk menyekolahkan putrinya sampai sarjana. Rania semangat hidupnya.

                       🌹🌹🌹

Rania membuka pagar rumahnya dan masuk. Dalam hati dia bertanya-tanya motor siapa yang terparkir di depan rumahnya itu?

Rania melirik ke  dalam rumah, tepatnya ke ruang tamu. Ada seseorang disana duduk di sofa. Mendengar derap langkah lelaki itu menoleh ke arahnya. Detik itu juga jantung Rania seperti melompat dari tempatnya.

"...Jonatan?"

"Hai," ucapnya spontan. Jonatan lalu berdiri dari sofa dan mendekat ke Rania.

"Kok lo bisa ada disini?"

Kening Jonatan mengkerut. "Emang gak boleh ya?"

Ini kali kedua mereka bertemu semenjak Rania pindah ke Malang dua tahun lalu. Perasaan canggung menyelimuti mereka.

"Jo...."

Gue kangen

Rania diam. Tidak mungkin ia menyuarakan isi hatinya.

"Udah lama kita nggak jalan bareng. Semenjak lo pergi, gue nggak ada temen ngobrol seasyik lo, Ran."

"Temen lo banyak kenapa lo nyarinya gue?"

Sepasang mata milik Jonatan memandangi Rania. Ada selaput tipis yang menggenang di kelopak matanya. "Ada Vanessa di samping lo." ucap Rania lirih. "Udah Jo, gue mau istirahat. Lo mending balik."

"Lo ngusir gue?"

"GUE CAPEK JO, LO NGERTI GAK SIH!" bentak Rania.

"Lo kenapa? kalo ada masalah cerita ke gue. Gue kenal lo bukan hanya setahun dua tahun, Rania yang gue kenal cewek lemah lembut yang nggak pernah kaya gini.

"Lo nggak tahu apa-apa tentang gue jadi lebih baik lo pergi dari sini."

"Lo berubah Ran, lo beda. Lo bukan Rania yang gue kenal dulu. Nggak ngerti apa yang sebenarnya ada di pikiran lo saat ini." Jonatan menatap kedua iris mata Rania telak. "Satu hal yang gue tahu lo marah sama gue."

"Semua orang berubah seiring berjalannya waktu karena di dunia ini nggak ada orang yang bener-bener stagnan."

"Ran, gue minta maaf. Waktu nyokap lo meninggal gue gak ada di sisi lo saat lo butuh gue."

Rania menggeleng.

Nggak. Lo nggak salah.

Rania mengatupkan bibirnya rapat-rapat, menahan gejolak yang membabi buta. Air matanya entah sejak kapan sudah meleleh hangat di pipinya.

Jonatan mendekat, diraihnya kepala cewek itu ke pundaknya membiarkan wajah Rania tenggelam dalam pelukan Jonatan. Membiarkan air matanya terus keluar dan membasahi kemeja cowok itu.

Tak lama kemudian Rania menjauhkan wajahnya dari badan Jonatan. Jonatan menangkup kedua pipi Rania dan mengusap air mata menggunakan ibu jarinya.

"Jangan nangis." bisik Jonatan tepat di telinga cewek itu.

*****
Akhirnya update! Ada yang nungguin Jonatan nggak nih? Sampai ketemu di next chapter, vote+comment yang banyar biar aku semangat nulisnya.. seneng deh Ig aku di follback Kak Hanna Ramadhini, coba aja yang ngefollback Jonatan pasti udah terbang ke langit tujuh mungkin 😂😂

 seneng deh Ig aku di follback Kak Hanna Ramadhini, coba aja yang ngefollback Jonatan pasti udah terbang ke langit tujuh mungkin 😂😂

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Mulmed: Rania Serenada Harmony ❤

ConfusedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang