Dalam sebuah kubikel besi yang kedap suara, dinginnya dinding baja yang mengelilingi dan dengan pencahayaan remang, tampak suasana tegang menyelimuti. Hening, hanya tampak raut-raut wajah yang keras dan kaku, serta desisan suara dan gigi yang saling bergemeletuk. Hanya sebuah layar lebar yang menampilkan berbagai kalimat dan gambar-gambar.
Gadis itu tetap tenang tak menghiraukan sekelilingnya. Dengan wajah khasnya yang begitu datar, dingin dan tak tersentuh itu meliukkan matanya menangkap berbagai info yang sebenarnya sudah ia hafal—sangat hafal bahkan. Dilain sisi begitu banyak mata memandang dirinya dengan penuh selidik, tapi tidak dengan satu orang yang duduk di sudut ruangan itu, Len alias Aldrich Dimitrio Kenzie. Tatapan itu terus terpaku pada satu-satunya gadis di ruangan ini, Alexia.
Tak berapa lama layar itu tampak menampilkan warna hitam, pertanda telah selesai kinerjanya dalam menampilkan sejumlah slide show dengan berbagai jenis isi. Helaan nafas kentara sekali menusuk indera pendengaran, dengan berbagai gumaman menuju satu spekulasi dari berbagai otak manusia yang berasa di ruangan itu.
"It's done. So, what's next?" suara itu memecah keriuhan spekulasi para manusia lain.
"Are you sure it's done Miss Alexia? Excuse me Miss, but you have missing the 'secret' behind all of this shit topic, and that's the main topic of us. Do you want to explain that, Miss Alexia?" ujar Alvaro dengan senyum miring penuh kelicikannya.
Alexia yang mendengar itu pun hanya bisa menggeram penuh kekesalan. Sialan sekali dia, berani-beraninya mengacaukan rencanaku, batin Alexia.
"Oh really? I'm so sorry Mr. Alvaro, but I can't explain it with you and others, that's confidential and only for people who are dedicated. And I think this isn't of interest to people like you at all," balas Alexia dengan senyum penuh ejekan.
"Ok stop it guys! So, kita semua sudah tahu akan hal ini. Kita hanya memiliki waktu kurang dari 6 bulan terhitung mulai besok. Jangan sampai misi ini gagal! Terutama untukmu Rise, aku harap dengan adanya kau di batas penantian kami semua disini, kau dapat mengambil peran utama mu dengan sebaik mungkin. Semua ada di tanganmu, dan aku berjanji ini adalah misi terakhirmu dan aku akan melepasmu. You can take my promise as your captain and your friend, I'm sure and believe in you! Don't dissapoint me, please!" pinta Rama, kapten mereka di tim ini.
"Okay, I've done now. I'll go, and do my best for tomorrow till the end. See you!" ujar Alexia tak acuh.
***
KRRIIINNGG KRRIIINNGG
Bel tanda masuk telah berbunyi, lorong-lorong mulai tampak sepi dan hanya tampak segelintir manusia yang berlarian menuju kelas masing-masing.
Tak menghiraukan sekeliling, gadis itu tetap jalan dengan santai dan wajah datar khasnya. Aura kelam menguar menghiasi lorong itu, bunyi pijakan kaki menggema, dengan tatapan tajamnya ia mengintai setiap sudut gedung yang dipijakinya saat ini. Tak peduli bahwa saat ini ia harus masuk ke kelasnya, ia tetap jalan dengan ringan menuju kelasnya.
Dalam keheningan ia berjalan, dalam geming ia menyepi, meniti tiap sudut kubikel yang akan menjadi saksi bisu perjuangan terakhirnya. Ya, ia menyamar menjadi seorang gadis kampus di salah satu universitas ternama di kota ini. Ia terdaftar sebagai mahasiswi transfer di jurusan hukum, dengan identitas barunya.
"Hei, apa yang kau lakukan di luar kelas Nona?" ucap seorang pria dengan heran.
Alexia membalikkan tubuhnya dan menatap sosok yang berseru tadi. Seorang laki-laki dengan tubuh menjulang tinggi, perawakannya cukup kekar, rahang tegas, mata hazel yang begitu jernih dan tatapannya yang lembut. Senyum khas laki-laki itu tercipta dengan sempurna.
DEG
Tiba-tiba sesak menyergap dada Alexia, aliran udara begitu terasa menipis di sekitar. Wajah Alexia pucat seketika. Ia tak bisa mengendalikan dirinya seperti biasa.
"Nona, kau tak apa? Hei, apa ada yang sakit?" ujar pria itu dengan khawatir.
Alexia hanya dapat termenung, mencoba menetralkan nafasnya dan sakit yang menekan dadanya begitu kuat. Berulang kali ia mengambil nafas dan menghembuskannya hingga kembali seperti semula. Ia tetap diam bergeming dalam kesunyian. Mencoba untuk menetralkan apapun yang saat ini ia rasakan.
"Apa kau ingin kuantarkan ke ruang kesehatan? Sepertinya kau sedang tidak sehat, Nona," tanya pria itu sekali lagi.
"Aku tak apa. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku, aku akan segera masuk ke ruang kelasku, permisi," jawab Alexia dengan datar.
Pria itu hanya diam menatap kepergian gadis di hadapannya, berbagai spekulasi berkecamuk di kepalanya itu. Dalam diam ia melangkahkan kakiknya kembali menuju tempat seharusnya ia berada sejak tadi. Dengan sedikit keheranan saat menatap gadis di depannya yang ternyata memiliki tujuan yang sama dengan dirinya.
Seakan teringat sesuatu, pria itu menatap berkas yang ada di tangannya dan mulai membaca isinya untuk memastikan sesuatu.
"Greynanda Sheena Vier," gumam pria itu.
Merasa namanya dipanggil gadis itu membalikkan tubuhnya. Dengan kening berkerut ia menatap sosok pria yang tadi ia temui saat ini tengah menatapnya dalam diam. Kenapa ia tahu identitas baruku? Batin Alexia.
"Ahh, jadi kau mahasiswi transfer itu, mari masuk Miss Vier," ucap pria itu.
Pria itu berjalan mendahului Alexia dan lekas membuka pintu ruangan. Seketika suasana menghening saat pria itu masuk. Semua bergegas kembali ke tempatnya masing-masing.
"Morning!" sapa pria itu.
"Morning, Mr. Maxwell!" balas yang lainnya serentak.
"Maaf sebelumnya atas keterlambatan saya. Sebelum kita memulai agenda hari ini, kita kedatangan tamu spesial. Adakah yang tau?" kata pria itu.
"No, Sir!" sahut mahasiswa di kelas itu serempak.
"Hahaha... Mungkin kalian pernah mendengar mengenai mahasiswa transfer, nah sekarang ia sudah ada disini. Miss Vier just come in, please!" teriak pria itu dari dalam, tanda mengijinkan Alexia atau sebut saja Miss Vier itu masuk.
Gadis itu berjalan perlahan memasuki ruangan. Rambut hitam legam sepunggung tampak tergerai indah, mata biru yang jernih namun dingin, dress biru laut selutut, tas punggung berukuran medium yang tergantung indah di bahu, sneaker putih membalut kaki jenjangnya serta jam tangan sport putih yang melingkar indah di pergelangan tangannya. Begitulah kira-kira penampilannya.
Semua mata memandang takjub ke arahnya. Para mahasiswa menatapnya dengan penuh minat, sedangkan mahasiswi sebagian besar menatapnya benci dan sebagiannya kagum akan kecantikannya.
"Baik perkenalkan dirimu Miss Vier," ucap pria di sebelahnya.
"Kenalkan, saya Greynanda Sheena Vier. Cukup panggil Grey, thanks" ucap Alexia alias Grey.
"Baiklah kau dapat duduk di tempat yang kosong Grey," putus pria disampingnya.
Grey segera berjalan menuju salah satu bangku kosong yang dilihatnya. Lalu ia duduk dengan tenang tanpa menghiraukan sekelilingnya.
"Sebaiknya saya meperkenalkan diri kembali. Perkenalkan saya Caesario Adilanta Maxwell, kalian bisa memanggil saya Sir Rio, sejujurnya itu lebih baik daripada Maxwell karena itu nama keluarga saya. Saya salah satu dosen yang akan mengajar kalian di kelas ini. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik," kata pria itu.
Max, gumam seseorang sendu.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
The Game of Life
Любовные романыGelap tak berarti hitam Terang tak berarti putih Sepi tak berarti sunyi Tunggal tak berarti sendiri Ego bagai tahanan yang sulit untuk dikerangkeng. Terus meronta dan melonjak dalam perputaran waktu. Mengancam hidup dalam sebuah permainan takdir.