TAK TAK TAK
Langkah kaki yang menggema terdengar dalam kubikel besi penuh kaca. Hening, dingin dan penuh rahasia. Sosok itu melangkah dengan pasti, seakan ia tahu dimana tempat yang dituju diantara labirin dingin itu.
Tubuhnya terbalut pakaian gelap berwarna hitam. Dengan tudung yang menutupi sebagian besar kepalanya dan juga masker hitam yang menutupi separuh wajahnya. Ia berdiri tegap di depan sebuah kaca, kaca yang berbeda.
Dengan keyakinan penuh ia menekan kaca itu di satu sisi, hingga mengeluarkan cahaya biru yang penuh dengan kode. Perlahan namun pasti, jari-jemari itu terarah untuk membuka kaca tersebut.
TIT
Kaca tersebut terbuka. Terulur tangan itu mengambil sebuah gulungan kertas.
01001000 01001111 01001000 01001001 01001111 01001100 01000010 01010111
YOU
***
"Alvaro!"
Seketika ia menoleh ke arah sumber suara yang memanggilnya dengan keras. Wajahnya mengerut dan menatap tajam sosok yang memanggilnya tadi.
"Siapa yang menyuruhmu untuk masuk?" ucapnya ketus.
"Harusnya kau menyapaku dengan baik, Alvaro. Aku membawakan sesuatu yang bagus untukmu," balas sosok tersebut dengan smirk andalannya.
"Alexia, oh, maksudku Grey, aku sedang tidak bercanda. Tugasku telah selesai,"
"Are you sure? Padahal aku membawakan sesuatu yang menarik untukmu. Yasudah aku pergi," balas Alexia sambil lalu.
Alvaro yang merasa dipermainkan pun segera berdiri dan menghalangi langkah Alexia. Ia menajamkan matanya untuk mencari kebenaran dari raut Alexia.
Naas, hanya wajah datar Alexia yang ia dapatkan. Namun ia tahu bahwa mata itu tak membohonginya.
"Apa itu?"
***
SIALAN
Kata itu terus terucap dari bibir Alvaro. Entah ia harus bersyukur atau tidak. Hal yang ia kira penting ternyata hanya sebuah batu topaz biru yang ukurannya bahkan hanya sebesar ujung jari kelingkingnya.
"Dasar tidak tahu diri! Untuk apa ia memberiku batu ini dan harus mengirimkannya ke toko itu? Benar-benar pengganggu!"
KLING
Suara lonceng pintu terdengar. Alvaro segera masuk ke dalam toko tersebut dan disambut oleh seorang pelayan toko.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya pelayan toko tersebut.
Matanya menelusuri sosok di depannya. Perempuan tinggi dengan pakaian khas pelayan toko perhiasan berdiri dengan sopan. Menaruh senyum lebar dan wajah penuh perhatian. Namun itu tak digubris sama sekali oleh Alvaro. Ia segera memalingkan wajahnya menatap sekeliling mencari sosok yang harus ia temui.
"Anda mencari siapa Tuan?" tanya pelayan toko itu lagi.
"Thomas. Panggilkan aku Thomas!"
"Thomas? Maksud Anda. Tuan Thomas Adiwangsa?" tanya pelayan itu ragu.
"Ya siapapun dia. Katakan ada seseorang yang mencarinya, Alexia."
Alvaro mengucapkan dengan tatapan tajam ke arah Sang Pelayan. Akhirnya pun pelayan tersebut tergesa memanggil sosok yang dicari Alvaro. Tak membutuhkan waktu lama, sosok itu muncul.
"Mana Alexia?!" seru sosok tersebut.
Keduanya saling berhadapan dengan tatapan menilai. Di hadapan Alvaro saat ini terdapat seorang laki-laki paruh baya dengan wajah khas eropa. Terlihat kerutan-kerutan alami di wajah pria itu, tanda usia senja tengah menyapanya.
"Siapa kau?"
"Saya Alvaro Saverio Maximilan. Saya membawa titipan dari Alexia, ia bilang jika saya tunjukkan benda ini maka saya akan tahu jawabannya," ucap Alvaro.
Thomas seakan tahu apa maksud Alvaro segera menggiringnya menuju lantai 2, ruang khusus dirinya menjamu tamu.
Sesaat sesampainya di ruangan tersebut, Thomas segera menuju sebuah lemari buku yang terpajang beberapa hiasan batu permata yang telah diukir sedemikian rupa dan dijadikan pajangan. Hingga terdengar bunyi berderak dari lemari tersebut. Menampakkan sebuah lorong gelap yang menjadi tangga sebuah ruangan.
"Ikuti aku!" seru Thomas.
Alvaro yang memperhatikan sedaritadi lantas mengikuti kata-kata Thomas. Ia ikut bergerak menuju ruangan yang ditunjuk Thomas untuk menyambutnya.
Ruangan tersebut indah. Hal yang tak disangka oleh Alvaro. Ruangan penuh dengan ukiran permata dan hasil lukisan dinding yang begitu berwarna namun tampak nyaman dan tenang. Banyak batuan permata yang diukir dan diletakkan di berbagai posisi di dinding mengikuti alur lukisan maupun warna, dan ada juga yang terpajang di beberapa sudut pigura dan juga meja yang diletakkan disana.
"Keluarkan yang kau bawa!" titah Thomas yang kini tengah berdiri di tengah ruangan.
Alvaro segera mengeluarkan batu topaz biru yang tadi dititipkan oleh Alexia kepadanya.
Kau akan menemukan yang kita cari, Alvaro.
Kalimat itu menggema di kepalanya. Ia harap kali ini Alexia tak sedang mengerjainya.
"Kau benar-benar mendapatkan ini dari Alexia?!" seru Thomas tiba-tiba.
"Ya. Ia berkata bahwa aku akan mendapatkan jawabannya," ucap Alvaro.
"Kau bahkan sudah mendapatkannya sedaritadi, Alvaro." balas Thomas lirih.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
The Game of Life
RomansaGelap tak berarti hitam Terang tak berarti putih Sepi tak berarti sunyi Tunggal tak berarti sendiri Ego bagai tahanan yang sulit untuk dikerangkeng. Terus meronta dan melonjak dalam perputaran waktu. Mengancam hidup dalam sebuah permainan takdir.