Jembatan hadir diantara gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi. Menyambungkan 2 tempat yang terbelah sungai tak berujung. Menjadi lintasan yang terus terlewati tanpa goyah. Namun, dalam satu sisi tanpa disadari jembatan itu semakin rapuh. Jeruji-jeruji penghubung antar pondasi mulai keropos termakan waktu. Hanya menanti waktu untuk melihat kehancuran itu. Hancur atau bertahan? Tergantung perawatan dan kepedulian manusia 'tuk menyelamatkannya.
Seorang gadis belia perlahan melangkahkan kakinya menyusuri jembatan itu. Kepalanya menunduk menatap goresan di sepanjang jembatan. Tangan kecil itu perlahan terulur untuk menyentuh goresan-goresan yang terbentuk. Raut wajah datar dan menyeramkan perlahan tampak. Tak menunjukkan raut wajah seusianya. Namun, apa boleh buat? Sisi itu telah mengambilnya kembali. Walau tak terlalu kuat, namun cukup untuk membuktikan bahwa ia kini telah hadir mengisi hari-hari sosok belia itu.
"Al! Al! Tunggu!" teriak seorang bocah laki-laki.
Namun, sosok itu tak menghiraukannya. Ia terus berjalan menyusuri jembatan. Menambah kecepatan hentakan kakinya dalam berjalan. Berusaha menjauh sebisa mungkin. Membiarkan dirinya tak terusik seorangpun.
"Hosh.. Hosh.. Hosh.. Al!" ucap bocah itu sambil menepukkan sebelah tangannya ke pundak sang gadis.
Perlahan kepala sang gadis berputar. Menatap bocah laki-laki yang tadi memanggilnya. Mata gadis itu perlahan menatap mata sang lawan. Dengan raut wajah yang sama dinginnya, ia kini menampilkan seringaiannya. Bagai tersiram air es dan waktu tak kunjung berputar, bocah laki-laki itu diam mematung melihat gadis itu. Terlihat menyeramkan sekaligus mematikan.
"Al... Kau.. Kau kenapa?" ucap bocah itu sedikit gemetar.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
The Game of Life
RomanceGelap tak berarti hitam Terang tak berarti putih Sepi tak berarti sunyi Tunggal tak berarti sendiri Ego bagai tahanan yang sulit untuk dikerangkeng. Terus meronta dan melonjak dalam perputaran waktu. Mengancam hidup dalam sebuah permainan takdir.