"Bagaimana? Kau mendapatkannya?" tanya seseorang di seberang sana.
"Belum. Tapi akan kupastikan ia kembali dengan tanganku!" balas Alvaro.
"Jangan terlalu lama! Kau tau ini sangat penting bukan? Dia yang memegang semuanya Alvaro! Jika ia tak segera kembali maka habislah kita semua!" bentak sosok itu.
"Aku tau! Jangan membentakku! Tunggu kabarku seminggu lagi," balasnya.
"Tidak bisa! Itu terlalu lama! Sandi ini harus dipecahkan segera, kita tak punya banyak waktu. 3 hari, ya aku tunggu 3 hari lagi kabarmu! Tak ada bantahan!" tutup sosok itu.
TUUT TUUT TUUT
Alvaro terus memikirkan cara agar Alexia segera kembali. Bayangan suara di saluran telepon kemarin terus mengganggunya. Ia sulit berpikir jernih. Salahkan dirinya yang mengajukan diri untuk membawa Alexia kembali waktu itu.
"Tau begini lebih baik aku ikut misi itu daripada membawa dia kembali!" gerutunya.
"Sekarang apa?! Kenapa dia susah sekali sih?! Aarrgghh!!"
Sedaritadi ia hanya mondar-mandir dengan gusar. Sesekali mengacak rambutnya dengan kasar. Ia benar-benar buntu saat ini. Sudah 2 minggu ia mengintai Alexia dan membujuknya dengan berbagai cara. Tapi memang dasarnya wanita kepala batu, susah sekali diajak kerja sama.
TING TONG TING TONG
Bunyi bel apartemen menghentikannya seketika. Siapa gerangan yang datang di malam yang larut ini, pikirnya. Tanpa ia sadari ia telah sampai di depan interkom dan melihat siapa tamunya malam ini. Ia cukup terkejut dengan sosok itu. Dengan segera ia tekan tombol untuk membuka pintu apartemen itu.
BRAAKK
"APA YANG KAU LAKUKAN DENGAN PRIVASI KU ALVARO!" bentak sosok itu tiba-tiba sambil membanting berkas yang dibawanya dihadapan Alvaro.
Tanpa pikir panjang Alvaro segera mengambil berkas yang dibanting Alexia sebelumnya. Ia sedikit bingung dengan gadis ini yang tiba-tiba datang ke apartemennya sambil marah-marah. Biasanya ia akan segera berlalu dengan wajah datarnya saat tak sengaja berpapasan.
Perlahan senyum merekah di bibirnya, namun tak berselang lama ia mengeluarkan smirk andalannya. Siapapun yang menatapnya pasti tau arti dari smirk penuh kelicikan yang ditampilkan Alvaro. Aku menang, seru Alvaro dalam hati.
"Jadi, hanya karena ini kau datang selarut ini ke apartemenku sambil marah-marah Nona?" ucap Alvaro tenang.
"Sudah kukatakan jauhkan tangan dan kakimu dari wilayahku Alvaro! Back off from my territory, Bastard!" geram Alexia.
"Sudah kukatakan pula bahwa kau akan kembali dengan tanganku Rise!" balas Alvaro dengan senyum penuh kemenangan.
***
"Sial! Dia benar-benar tak bisa dibiarkan! Ini sungguh kelewatan," geram Alexia.
Saat ini Alexia hanya dapat menahan kekesalannya menghadapi manusia keparat dihadapannya, Alvaro. Sungguh tak habis pikir, pria ini benar-benar menghiraukan ancaman Alexia. Tragisnya, Alexia benar-benar harus mundur teratur dan terjun kembali ke dunia yang sudah cukup lama ia tinggalkan.
Kini ia hanya dapat menatap awan yang berkumpul di jalan yang ia lalui. Dengan jet ini ia harus pergi meninggalkan kota ini, London, menuju kembali ke tanah kelahirannya, Indonesia. Sungguh, sejujurnya ia teramat merindukan tanah kelahirannya itu. Namun, dengan ketidakrelaannya ia harus meninggalkannya demi kehidupan barunya. Dan kini, ia akan menjejaki kembali tanah yang telah lama ia tinggalkan itu, beberapa jam lagi.
"Rise!" seru seseorang tiba-tiba.
Rise atau yang lebih kita ketahui Alexia, terkejut melihat siapa yang memanggilnya. Raut wajahnya yang terkejut kini kembali lagi menjadi datar. Ia menatap enggan sosok di depannya. Seorang pria yang hanya berbeda 3 tahun di atasnya, dengan badannya yang tegap dan tatapannya yang melembut, berdiri di hadapannya dengan senyum yang merekah. Masih sama seperti dulu, pikir Alexia.
"Apa kabar Rise? Ahh maksudku Al," ucap pria itu lembut.
"Kau tau jawabannya, Len?" balas Alexia acuh.
"Hufftt... Maafkan aku Al, aku sungguh tak bermaksud memaksamu kembali lagi. Tapi ini sungguh mendesak, kau tau tentang ini, bukan? Ahh dan tolong jangan panggil aku Len jika kita tak sedang bertugas Al, kumohon," jawab pria itu.
"Tak masalah, lagipula aku cukup merindukan hal ini, Dim," balas Alexia datar.
"Baiklah, sepertinya aku harus membiarkanmu sendiri lebih dulu. Kau istirahatlah, perjalanan ini masih cukup panjang. Aku akan kembali Al," ucapnya dan berlalu meninggalkan Alexia.
Keheningan melanda seketika. Alexia hanya dapat diam termangu memikirkan bagaimana nasibnya selanjutnya. Ia akan kembali lagi, ia senang. Namun, ia juga ragu mengingat peristiwa itu melandanya ketika ia menggeluti dunia yang sebentar lagi akan ia pijaki kembali. Ia tak berharap banyak, karena ia tau semua ini sudah jalannya.
Dilain sisi, Alvaro tetap dengan posisi kamuflasenya, ya tertidur dengan earphone yang menyumbat kedua telinganya. Ia hanya tetap diam tak bergeming mendengar percakapan 2 makhluk yang sama sekali tak ia mengerti. Buat apa dipikirkan, toh bukan urusannya juga, pikirnya.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
The Game of Life
RomanceGelap tak berarti hitam Terang tak berarti putih Sepi tak berarti sunyi Tunggal tak berarti sendiri Ego bagai tahanan yang sulit untuk dikerangkeng. Terus meronta dan melonjak dalam perputaran waktu. Mengancam hidup dalam sebuah permainan takdir.