1% STORM

74 7 3
                                    

Malam yang mencekam. Suatu malam yang gelap dan diamuk badai. Aku memperhatikan pepohonan dibalik kaca mobil, pepohonan yang bergoyang-goyang ditengah terpaan angin yang dahsyat. Dibalik pepohonan itu, rembulan yang murung mengintip.

Dasha kembali menatap lurus kedepan memperhatikan jalanan yang lenggang. Jalanan abu abu itu basah oleh hujan deras yang sedari tadi mengguyur kota Jeju. Hutan lebat di kanan-kiri jalanan itu menambah kesan mencekam. Semilir angin malam berhembus lembut melewati celah jendela mobil yang sengaja ia buka sedikit.

Tadi, pesta yang sangat melelahkan. Sangat melelahkan karena ia harus terus tersenyum seolah-olah ia sangat menikmati suasana pesta itu. Dan belum lagi disaat ayahnya mulai mengenalkan Dasha kepada pewaris harta konglomerat lainnya. Itu berarti, ia harus tersenyum ramah dan mulai berbasa-basi membicarakan hal yang tidak penting. Bagi Dasha, semua itu sangat memuakkan.

Menjadi seorang putri konglomerat bukan hal yang aku inginkan. Aku akan lebih senang jika menjadi seorang putri dari seorang petani buah. Aku akan lebih senang jika aku pergi ke kebun dan memanen buah-buahan ketimbang harus pergi ke pesta dengan gaun, riasan, dan juga senyuman palsu. Aku akan lebih senang pergi ke atas bukit dengan domba-domba yang menggemaskan ketimbang harus pergi ke mall dibuntuti oleh para bodyguard appa yang membosankan.

Tidak, aku tidak menyalahkan takdir. Akupun bahagia dengan semua ini. Bagaimana tidak? Semua yang aku inginkan selalu aku dapatkan. Tempat tinggal mewah, pergi liburan kemanapun yang aku mau, dan lagi sekarang appa sedang membangun sebuah klinik kesehatan untukku yang berkecimpung dalam dunia kedokteran.

Dibalik semua itu sebenarnya aku hanya menginginkan satu hal yang sampai saat ini belum aku dapatkan.

Dua tahun kepergian eomma mengubah segalanya. Sejak saat itu aku bagaikan seorang putri yang dikurung dalam sebuah kastil. Eomma tewas ditembak oleh seorang temanku, bahkan sahabatku dan aku tak tau apa motif dibalik semua itu. Sebuah pesan singkat dengan menggunakan nomor asing yang dia kirim padaku sangat jelas bahwa dia yang membunuh eommaku, tapi aku bahkan tak punya keberanian untuk memberi tau appa dan para polisi bahwa dia adalah pembunuhnya. Aku hanya akan tutup mulut sampai para polisi itu yang akan mengetahuinya.

*Dua tahun lalu saat pemakaman

Sore itu aku mengantarkan eomma ketempat peristirahatan yang terakhir kalinya. Berat rasanya hati ini untuk menerima semua yang terjadi.

Waktu berlalu begitu cepat, diperjalanan pulang aku hanya bisa duduk merenung didalam mobil. Wanita itu, wanita yang kusayang walaupun aku tidak pernah merasakan kasih sayangnya. Wanita yang sangat tidak peduli denganku, terkadang hatiku menangis bertanya-tanya 'Bagaimana sosok seorang eomma yang mencintai anaknya? Bagaimana rasanya dipeluk dengan tulus oleh seorang eomma? Bagaimana rasanya bercerita kepada eomma tentang hariku dikampus? Bagaimana rasanya bercerita kepada eomma tentang aku yang menyukai seniorku? Bagaimana rasanya diperhatikan saat aku sedang sakit?' Aku ingin merasakan semua itu.

Tapi semua hanya angan, eomma sosok yang dingin, tak banyak bicara, bahkan saat kami duduk berhadapan dimeja makan dia hanya fokus menikmati makanannya.

Aku merasa jauh dengan eomma, tapi aku sangat menyayanginya karena dia adalah eommaku.

Ponselku bergetar. Sebuah pesan singkat dengan nomor asing masuk.

To be continue...
Ini kali pertama aku berani mempublikasikan karya tulisku >< Takut & degdegan rasanya 😰
Semoga memberikan kesan yang baik 🙏 Mohon maaf kalau masih banyak salah, masih belajar nulis soalnya heee^^

The Wall Of DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang