STORM*3

49 5 0
                                    

"Jeongmal choesonghamnida (saya benar- benar minta maaf), tapi saya pikir saya telah menabrak seseorang."

Aigoo! (Yaampun!) Bagaimana bisa dia tetap tenang ketika dia telah menabrak seseorang?

Aku berharap supirku hanya menabrak tikus atau ular dari hutan.

Aku keluar dari mobil untuk mengecek keadaan, tanpa mempedulikan hujan yang mulai membasahi seluruh tubuhku.

Dan ternyata harapanku tidak terkabul.

Seorang lelaki tergeletak dihadapanku dengan kepala bersimbah darah. Darah segar mengalir menggenangi jalanan aspal dan tercampur dengan air hujan.

Appa dan para bodyguardnya keluar menghampiriku dengan payung melindungi tubuh mereka.

"Bagaimana bisa kalian berdiam diri seperti itu? Cepat bawa lelaki ini kedalam mobil!!!" Aku berteriak berusaha mengalahkan deru hujan yang meredam suaraku.

"Naomy!  Kau tidak bisa membawa seseorang yang belum kau kenal sembarangan!" Appa ikut berteriak. 

"Apakah hal itu penting sekarang, appa?  Dia terluka dan membutuhkan bantuan,  semua karena supir kepercayaan mu itu!" Aku mendengus kesal.

Perdebatan karena hal sepele sering terjadi diantara aku dan appa. Kupikir sekarang dia terlalu overprotektif.

"Sampai kapan kalian berdiam diri seperti itu?!"

"Cepat berikan aku kunci mobil!  Aku akan membawanya sendiri jika kalian tetap berdiri mematung seperti orang bodoh." Kuredamkan sejenak emosiku. Aku tau Appa akan menuruti kemauanku jika aku sudah mulai mengancam. Aku, seorang anak yang manja karena appa selalu memanjakanku. Terkecuali eomma ku yang tidak pernah ada waktu untukku.

•       •       •

Gaun pink pastel ini berubah warna menjadi merah darah. Yang kulakukan pertama adalah menghentikan pendarahan yang terus keluar dari kening lelaki yang kini kubaringkan dengan kepala diatas pahaku. Hal seperti ini sangat mudah bagiku karena aku memang calon seorang dokter.

Aku akan menjadi seorang dokter diumurku yang masih sangat muda. Tapi,  aku muak dengan semua omongan orang lain yang tidak menyukaiku,  mereka berkata bahwa uang dan kekuasaan appa ku lah yang membuatku bisa menjadi seperti sekarang ini. Padahal, mereka bisa mengujiku jika mau. Aku tak pernah sekalipun mendapatkan nilai B sepanjang aku bersekolah,  bahkan nilai A- pun tak pernah kulihat dalam raport ku.

Akan kubuktikan bahwa aku menjadi dokter muda karena jerih payah dan usahaku,  bukan karena appa.

"Eunnggh"

Tiba-tiba sosok didepanku mengerang ketika aku membasuh alkohol untuk membersihkan lukanya. 

"Oh. Gwaenchanayo? (Kau baik-baik saja?)" Tanyaku.

"N-nuguseyo? (Kau siapa?)" dia balik bertanya dengan wajah yang keheranan.

"Itu tak penting. Apa kau baik-baik saja?" Ulangku tanpa memperdulikan dia yang keheranan.

"A-aku? Aku s-s-siapa? Apa yang terjadi denganku?"

Aku tercengang mendengar kalimat yang dikeluarkan oleh lelaki tampan ini. 

"Apa kau tidak mengingat apapun? Termasuk dirimu sendiri?" Tanyaku. 

Dia hanya menggeleng. 

Apa benturan dikepalanya sangat keras sampai dia bisa lupa ingatan?

Lelaki didepanku berusaha bangkit,  tapi gagal.  Ia langsung memegangi kepalanya dan mengerang kesakitan.

"Berbaringlah. Aku akan membersihkan lukamu. Tahan sebentar,  ini mungkin akan terasa sedikit perih." Kataku sambil mengambil obat merah, kain kasa dan beberapa plester untuk menutup lukanya.

"Kau tiba-tiba datang dari dalam hutan dan supirku tidak sengaja menabrakmu.  Benturannya mungkin sangat keras,  dan kau mengalami amnesia . Tapi,  kurasa itu hanya amnesia sementara." sambungku sambil membersihkan lukanya. 

•                •            •

"Aku sudah memeriksamu.  Benturannya tidak terlalu keras, dan kau akan mendapatkan ingatanmu dalam waktu dekat. Jangan banyak bergerak. Beristirahatlah,  makananmu akan datang sebentar lagi." jelasku sambil berlalu meninggalkan lelaki yang entah siapa namanya.

Tapi, tiba-tiba dia memegang lenganku. Aku berbalik dan menatapnya.

"Nuguseyo?  Tadi kau belum sempat menjawabku.

"Lalu kau siapa? Siapa namamu?" Aku balik bertanya menggodanya.

Dia mendengus kesal sambil memalingkan wajahnya.  Itu membuatku tersenyum geli melihatnya. 

"Permisi nona,  makan malam untuk pasien sudah siap." Asisten rumahku datang bersama nampan yang sudah berisi berbagai macam makanan.

"Pastikan kau makan dengan baik." aku melanjutkan jalanku yang tadi sempat tertunda.

"Ya!!! (Hei!!! (Informal))  Dia berteriak memanggilku.

Ah!  Kenapa dia selalu mengganggu jalanku?!

"Apa lagi?!" kataku kesal. 

"Kau pikir aku punya tenaga untuk mengangkat sendok makanan sampai mulutku?"

Aku hanya diam membiarkan lelaki ini mengoceh sepuasnya.

"Aku tak bisa menggerakkan lenganku. Bahuku sakit." lanjutnya.

"Lalu?" aku berpura-pura cuek.

"Dokter macam apa kau yang tidak mau mengurusi pasien nya! " dia memasang wajah jutek.

"Arraseo! (Baiklah!)" aku mendekat dan mengambil mangkuk berisi sup untuknya.

Dia tersenyum lebar. Melihatnya tersenyum kurasa sekarang pipiku memerah seperti tomat busuk. 

Aku ikut tersenyum.  Cepat kembalilah ingatanmu agar aku bisa mengetahui namamu, batinku. 

"Siapapun kamu,  siapapun namamu,  aku berterima kasih."

Dia menatap mataku. Aku terdiam seperti orang bodoh, tak menyangka dia akan mengatakan hal itu. 

To be continued...

Mianhaeyo update nya lama banget 😭 Hp rusak data semua ilang dan draft di wattpad juga ilang padahal udah nulis sampe bab 5 terpaksa harus nulis ulang 😭😭😭
Thanks yang udah mau baca cerita yang berantakan ini hehehe 😂😂
Kamsahamnida 😘
사랑해요 ❤

The Wall Of DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang