Red Moonlight: Awal

280 11 0
                                    



Sebuah kapel besar, berdiri di pinggir kota kecil yang tidak terlalu ramai, milik sebuah sekolah misionaris satu-satunya di kota itu yang terkesan eksklusif dan tertutup. Sekolah itu dipagari tembok tinggi dengan besi lancip di atasnya, seolah mengurung penghuni di dalamnya yang tinggal di asrama. Karena berada di pinggir kota, area luar pagar itu berbatasan dengan hutan. Dan, tepat malam itu terjadi gerhana bulan yang menyebabkan bulan purnama bersinar merah, membuat penduduk yang melewati daerah itu memandang angker pada bangunan sekolah. Konon, memang ada desas-desus mengerikan yang berhembus dari dalamnya.

Lagipula, seharusnya di dalam kapel terdengar nyanyian penuh pujian dari paduan suara yang mengiringi sebuah kebaktian suci. Namun, malam itu sedang tidak ada jadwal sama sekali karena sekolah memasuki masa liburan musim panas meski tidak seluruh murid pulang untuk menghabiskan waktu bersama keluarga mereka, ada sebagian yang tidak memiliki rumah. Hanya ada temaram cahaya yang dihasilkan dari susunan lilin yang berjejer rapi di altar. Jadi, suasananya benar-benar lenggang. Yang justru terdengar adalah suara bisikan, erangan, dan desahan dari dua orang remaja yang tengah menyepi di sana.

"Ssssshhh...."

"Ahhhh...."

Itu jelas bukan suara yang sepatutnya ditunjukkan di hadapan Tuhan. Atau, mereka mungkin berpikir bahwa Tuhan tentu merestui umat-Nya untuk memadu kasih karena hal itu memang sesuai ajaran-Nya.

Mereka terduduk di salah satu kursi panjang. Sang pemuda mulai memasukkan tangannya ke bawah rok mini sang gadis untuk menyelami apa yang ada di balik celana dalamnya, dengan satu tangan yang lain meremas rambut jingganya erat. Sambil terus mentautkan bibir dan memelintirkan lidah satu sama lain, kedua lengan sang gadis melingkari bahu dan leher sang pemuda dan seolah menariknya semakin erat dalam dekapan. Tubuh sang pemuda pun terdorong maju dan mendesak sang gadis untuk merebahkan diri di atas kursi. Posisi itu membuat hasrat bercintanya semakin liar, kepala pirangnya pun mulai bergerak turun-naik, mencumbu setiap inchi tubuh sang gadis –meski masih berbalut seragam yang hanya digulung ke atas– mulai dari pinggang, perut, dada, dan akhirnya menjamah...

.

.

Leher...

Yang tak tertutupi apapun dan tersaji mulus.

Ia lalu membuka mulutnya tampak ingin memberi bekas kecupan yang paling besar di antara bagian tubuh lainnya. Sebuah benda tajam pun terlihat.

.

.

CRASSSSHHH..............

Darah pun menetes.

.

.

"Aku tak ingin mengotori seragam putihmu yang indah, Nami-san." Murid laki-laki itu pun berbisik. "Bisa tolong singkirkan pisau ini dari tanganku?"

"Cih, gagal ya?" ucap gadis yang dipanggil Nami itu mendecakkan lidah. "Seperti info yang beredar, kau memang murid cerdas, Sanji-kun."

Apa yang sebenarnya terjadi?

Posisi mereka masih tetap sama seperti tadi tapi kini ada pisau yang menancap di genggaman tangan Sanji. Sanji sedikit berjingkit dan bertumpu dengan sebelah tangannya dari yang tadi menggerayangi leher Nami menjadi mendongak persis di depan wajah gadis itu. Tangan satunya ia linkgkarkan ke belakang tepat di atas punggungnya sendiri bahwa ia tadi menangkis serangan Nami dengan cepat tanpa melihat tujuan semula apa yang hendak gadis itu hujamkan pada punggung kirinya, bermaksud agar ujungnya tembus sampai ke jantungnya.

"Nami-san ku lah yang cerdas," lanjut Sanji. "Tapi, seharusnya kau tahu aku sangat menjaga tanganku ini lebih dari bagian tubuhku yang lain."

"Kalau begitu, jangan kau tangkis agar tidak melukai tanganmu," jawab Nami tersenyum menggoda seolah tak terjadi apa-apa barusan, bahwa ia masih percaya diri dari kegagalan pertama.

"Aku bahagia jika bisa mati di tanganmu, Nami-san," kata Sanji sama-sama tetap memasang senyuman gentle seolah luka di tangannya tidak terasa sakit sama sekali. "Tapi aku belum boleh mati sekarang."

"Kukira kau mau bekerja sama, Sanji-kun. Kau bilang akan melakukan apapun untukku kan?" nadanya masih terdengar centil.

"Ya, aku akan melakukan apapun untukmu, Nami-san ku sayang," nadanya masih terdengar lembut. "Tapi bukan untuk membantu organisasi tempatmu bekerja berhasil mendapatkan salah satu buruannya."

Mendengar hal itu. Nami pun menendang Sanji tapi dengan sigap Sanji melompat ke samping kursi. Tidak ada gunanya mempertahankan posisi itu lagi karena nyatanya mereka sudah saling mengetahui identitas masing-masing. Nami sendiri berdiri di atas kursi, mengacungkan pisau yang ia bawa tadi, dan mengutak-atiknya dengan satu hentakan sehingga gagangnya terlepas dari mata pisaunya yang tersambung rantai cukup panjang.

"Wow, senjata yang praktis. Aku kagum perempuan bisa menyembunyikan benda seperti itu di balik tubuhnya," puji Sanji.

Kini terlihat jelas bahwa di balik bibirnya ada sepasang taring yang memanjang, menandakan kalau ia...

.

...bukan manusia.

.

"Jangan banyak tingkah, Sanji-kun," gertak Nami tak ingin menggodanya lagi. "Mata pisau ini adalah perak dan kau akan tak bisa lolos dariku."

"Ah, kau benar. Darahku tak berhenti mengalir, kemanapun aku pergi, pasti tetesannya akan memandumu," kata Sanji melihat telapak tangannya. Kemudian, ekspresinya berubah. "Mellorine, hatiku semakin berdebar-debar menikmati perburuan ini,"

"Sinting!" seru Nami berkeringat jatuh dengan muka monster menanggapi Sanji yang bermata hati. "Sampai di sini saja kebersamaan kita, Sanji-kun. Aku tak pernah bermaksud mencintaimu dan aku tahu cintamu padaku juga palsu. Vampir tak mungkin mencintai manusia, kalian memangsanya. Kau yang menipu dan membunuh mereka bukan? Siswi-siswi sekolah ini?"

Sanji pun mengkerutkan alis dan menajamkan mata menatap Nami, ekspresinya sangat serius.

Benarkan ia adalah vampir bengis yang dengan paras tampannya, telah memikat dan diam-diam memangsa beberapa siswi sekolah mereka?

----------------------------------------------------------------------------------------

Catatan: Baca ini sambil ndengering "Decode" by Paramore deh. Yang jelas fanfic ini lebih baik dari Twilight.

Two MoonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang