Kilas Balik
"Namaku Nami, salam kenal."
Mata seluruh penghuni kelas XI melebar menatap murid baru yang berdiri di hadapan mereka. Siswi itu manis namun dengan sekejap semua merasa salah berpikir setelah sesaat menerima deathglare darinya.
Ya, tak ada waktu untuk bersenang-senang, batin Nami. Apalagi jika harus menyusup ke dalam sekolah terpencil seperti ini, tidak akan ada jalan-jalan santai sepulang sekolah untuk menyegarkan diri usai kepenatan belajar. Dan, memang ia tak tertarik untuk berteman dengan mereka lebih jauh. Hanya sebentar saja, cukup menemukan vampir yang sudah menghebohkan karena adanya laporan hilangnya siswi-siswi sekolah itu secara misterius dan Nami akan pergi lagi. Jam terbangnya cukup tinggi kalau hanya sekedar beramah-ramah dan menipu mereka semua. Toh, Nami sendiri yakin dirinya hanya terlihat seperti gadis lemah biasa tanpa menyadari bahwa sosoknya yang enerjik itu paling memancar kuat daripada siswi manapun. Setidaknya, untuk memikat vampir yang suka memangsa lawan jenisnya. Sebenarnya ia tak terlalu percaya diri dengan keahlian membasminya jika dibandingkan dengan pembasmi lain. Tapi, biasanya hal itu hanya kecemasan yang kerap menderanya di awal misi saja. Toh, ada kriteria kecerdasan tertentu bagi seorang pembasmi untuk bisa mengakali kecerdasan vampir dan Nami memperoleh nilai tinggi untuk itu. Setelah dekat dengan buruan, rasanya semua pekerjaan menjadi sangat mudah untuk diselesaikan. Tidak perlu basa-basi lagi.
Dan, perhatiannya langsung tertuju pada seorang siswa berkulit pucat dingin, bola matanya sungguh bening, pandangannya sendu, dan berambut pirang yang ada di dalam kelas. Nami sudah hapal dengan pesona para vampir. Mereka terlihat berbeda, cenderung tampan dan cantik serta lebih cerdas dari manusia kebanyakan sehingga membuat mereka selalu nampak dikelilingi oleh lawan jenis tanpa sadar bahwa itulah mangsa-mangsa empuk mereka. Katanya, saat menghisap darah lawan jenis, kenikmatannya sama seperti saat bersetubuh. Begitu juga sebaliknya korban merasakan hal yang sama tanpa sadar bahwa darahnya akan dihisap sampai kering.
"Salam kenal, mademoiselle, namaku Sanji," sapa cowok itu. "Boleh kupanggil Nami-san?"
Nami tak mau melancarkan serangan agresif seperti siswi lainnya, ia ingin membuat dirinya berbeda agar buruannya lebih tertarik padanya dan mengincarnya daripada siswi yang lain. Meskipun begitu, ia kerap juga melontarkan pertanyaan ke murid-murid di sana mengenai cowok itu untuk menunjukkan bahwa ia diam-diam tertarik padanya.
"Oh, Sanji? Dia orang baik yang suka memberikan jatah makan siangnya padaku," jawab Luffy. "Dia jago masak lho tapi dia sendiri jarang makan, mana kenyang cuma makan apel saja?"
"Sanji? Huh, dia cuma cowok narsis yang jarang bergaul dengan cowok lainnya," jawab Usopp. "Suka mengata-ngatai kami bodoh lah, jelek lah, rakus lah. Dia sendiri sok tampan, sok pangeran, dan sok pintar. Ehhh, emang pintar sih."
Hmm, pikir Nami semakin yakin. Sepertinya ciri-ciri itu cukup dekat dengan vampir.
Alhasil, sepanjang sekolah Nami pun mengamatinya dengan hati-hati dan menemukan ciri-ciri yang sesuai pada siswa yang bernama Sanji itu. Seperti saat pelajaran olahraga misalnya, Nami melihat ada dua orang yang memiliki nilai tertinggi di pelajaran itu, yaitu Luffy dan Sanji. Luffy sangat menonjol di ketahanan fisik atau staminanya, jika yang lain sudah ngos-ngosan, maka Luffy tetap bugar dan semangat meski sekujur tubuhnya sama-sama berkeringat. Vampir tidak seperti itu. Sebaliknya, Sanji menonjol di kecepatan dan daya refleksnya, tubuhnya sungguh lentur, jika ia berlari ia seperti melayang. Ia tidak pernah kelihatan lelah tapi herannya ia selalu menolak untuk dimainkan di babak tambahan tidak seperti Luffy. Ia juga hampir tidak pernah berkeringat seolah tubuhnya benar-benar sedingin es seperti warna kulitnya. Ya, vampir zaman sekarang tidak mudah terbakar sinar matahari meski aslinya tetap tidak tahan jika dijemur di tengah lapangan pada pukul 12 siang tepat karena akan membuat kulit mereka melepuh dan berasap, seperti es kering yang menguap. Mereka juga bisa menyembunyikan auranya di hadapan pembasmi jika tidak dalam keadaan lapar dan bersiaga yang sampai perlu mengeluarkan kedoknya bahwa taring mereka lebih panjang dari manusia. Dan, tentu saja bukan perkara yang mudah bagi Nami untuk membongkar kedok Sanji.
Dan mereka pun akhirnya saling bertatap-tatapan. Intensitasnya semakin sering. Awalnya Nami selalu memalingkan muka karena tidak ingin terlihat mengamatinya terus-terusan. Sanji tertawa karena sikap Nami malah membuatnya terlihat demikian. Dan, akhirnya Sanji mendekatinya, menanyakan obrolan-obrolan ringan. Nami mengira cowok itu dingin sesuai dengan predikat vampirnya, lupa bahwa selama ini ia melihatnya begitu hangat bercengkerama dengan siswi-siswi. Nami pun membalasnya, membiarkan Sanji masuk ke dalam wilayahnya.
Lebih dekat lagi.
Lebih intim lagi.
Dan tak terasa, mereka sudah menjalin hubungan selama empat bulan. Tak ada peristiwa siswi hilang lagi entah kenapa. Nami tak bermaksud menyelidiki di mana gerangan sang vampir menyembunyikan tubuh korbannya karena bisa-bisa tempat itu adalah tempat yang paling dikuasainya dan penuh jebakan. Toh, prioritas Nami memang bukan untuk menyelamatkan korban –sudah terlambat– tapi langsung menghabisi sang vampir begitu ada kesempatan.
"Liburan besok kau akan pulang?" tanya Sanji suatu hari.
"Emm, tidak. Aku sudah tak memiliki keluarga," kata Nami berbohong. "Kau?"
"Sama," jawab Sanji. "Mellorine, kita bisa menghabiskan liburan berdua."
Nami yakin Sanji juga berbohong. Dan saat itulah, Nami merasa liburan itu menjadi kesempatan yang tepat untuk mengakhiri sandiwara ini. Lalu, ia bisa menghilang tanpa jejak dari sekolah itu saat murid-murid lain kembali semester depan....
Selesai Kilas Balik
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Moons
FanfictionKisah dibagi dalam 2 bagian. Alternative Universe-Dark World. Horror/Tragedy. Bagian I: Red Moonlight (Vampire). Tokoh utama: Sanji "Dua buah kilatan tajam beradu dalam keremangan. Belatimu yang siap menghujam jantungnya atau taringnya y...