Chapter 13

242 16 0
                                    

"Desy.... eh, Shania."

Aku sedang berjalan ke tempat parkir. Rasanya benar-benar tidak sanggup kembali kedalam hall bela diri lagi.

"Hei Sisil, panggil Desy aja. Jangan Shania," kataku berbisik padanya. Ia mengangguk sebelum diam memperhatikanku sejenak. Kenapa? Barangkali, aku tampak menyedihkan di matanya.

"Hei.... engga apa-apa kok, Desy.... yeop jireugi... wah, gue juga suka lupa kok. Kita kan orang Indonesia, bukan Korea," kata Sisil sambil menepuk pundakku perlahan-lahan.

"Engga usah khawatir, kalau dipelajarin, lama-lama loe juga bisa kok. Loe ga bodoh, percaya deh" kata Sisil panjang x lebar.

"Emang engga ko. Aku tau siapa Kinal. Ada dua jenis orang, yang satu kerja keras dan yang lainnya kerja cerdas. Melihat dia latihan setiap hari, mengejek orang lain, aku semakin yakin... dia yang sebenernya bermasalah. Bukan aku. Dia engga bisa kerja cerdas, makannya dia kerja keras setiap hari. Latihan setiap hari."

Sisil tampak tidak mengerti akan ucapanku.

"Ketika dia menghinaku, sebenarnya dia sedang menghina dirinya sendiri. Dia yang bodoh, bukan aku. Aku yakin, dia bisa masuk sini juga pasti karena prestasi taekwondo. Kalau jalur tulis, dia pasti tidak akan mampu. Mana ada sih anak taekwondo yang pinter ?!? Eh.... sorry, bukan gitu maksudnya, anak taekwondo itu khusus Kinal, bukan yang lain. Aku yakin kamu pasti juga mampu masuk walaupun bukan jalur prestasi olahraga."

Sisil tertawa keras.

"Gue memang masuk jalur prestasi olahraga ko, tapi gue ngerasa ga kesulitan untuk mengikuti proses pembelajaran."

"Oh"

"Dari dulu gue memang suka taekwondo. Lo lihat sendiri, secara fisik gue bukan orang yang tinggi. Engga ada yang merekomendasikan gue belajar taekwondo. Tapi, lihat orang-orang latihan dalam seragam, gue tertarik. Walaupun gue ga tinggi. Maksud gue, dalam pertandingan, tinggi badan kadang ikut memengaruhi hasil. Lo tau kan, lawan kita itu ditentukan dari usia dan berat badan?"

Aku mengangguk.

"Gue tergolong semampai (semeter tak sampai wkwkwk). Maksud gue, gue sering berhadapan dengan orang yang badannya lebih tinggi. Dalam taekwondo masing-masing bagian tubuh memiliki nilai yang berbeda jika terkena serangan. Kepala, ini nilainya tinggi. Kalau lo berhadapan dengan lawan yang lebih tinggi, lo tau kan siapa yang dirugikan? Tapi gue engga perduli. Kondisi eksternal itu mungkin memengaruhi, tapi yang paling menentukan tetap disini, bagaimana kita bisa percaya pada diri sendiri," katanya sambil menepuk dada.

Aku hanya tersenyum kecut. Tak perduli dengan apa yang Sisil katakan. Saat ini aku baru saja marah, malu, dan sedih karena orang yang kusukai justru menghinaku didepan umum. Aku tidak perduli soal prestasimu dan segala nasihatmu soal apapun tentang dirimu. Sumpah! Yang ku perdulikan hanyalah bagaimana membuat Kinal, yang membuatku kehilangan Skye, dapat bertekuk lutut dihadapanku.

"Oh iya, Des.... Semangat ya soal Kinal. Segala hal bisa berubah kan?" katanya sambil melambaikan tangan.

Tersersah!

-

-

-

-

-

Pagi ini Mama mendiamkanku, tidak bicara sama sekali. Kupikir karena aku menggeletakkan kucing itu didapur begitu saja, tanpa memberinya makanan. Mama bahkan tidak memintaku untuk sarapan sebelum pergi ke kampus, seperti yang biasanya ia lakukan sambil terus menginterogasi soal bagaimana perkembangan studi dan kegiatan di kampus ku, meminta cerita yang detail, soal pratikum, bagaimana aku harus mengambil data, menghafal beberapa nama Latin yang menurut Mama terdengar sangat renyah ditelinga, bahkan bagaimana dosen-dosen kami bersikap. Wajahnya akan tampak bersinar-sinar, seolah-olah aku sedang melucu.

Saat aku diam, Mama akan bercerita tentang kakakku yang menjadi dosen disaat kuliah S2 nya belum selesai. Papa lebih banyak diam setiap kali kami banyak bicara. Tapi akan mulai membuka mulut setiap kali aku diam sementara Mama terus bicara. Papa seolah-olah memahami putrinya ini tidak ingin bicara lagi.

Papa akan mulai bertanya hal-hal yang biasanya ditanyakan pada mahasiswa semester awal. Misal saja, apakah aku benar-benar menyukai perkuliahanku, atau hanya karena ingin meneruskan cita-cita Mama. Aku selalu bilang, tentu aku suka. Memangnya, apa lagi yang bisa kusukai?

"Pertama, cintailah hal-hal yang kamu lakukan. Tapi jika tidak bisa, lakukan hal-hal yang kamu cintai. Kita tidak hidup untuk menjadi orang lain," kata Papa berulang kali, seolah-olah tak percaya dengan apa yang kukatakan.

Aku menyukai aku yang sekarang. Apalagi yang kurang? Seorang mahasiswa dengan IPK cumlaude, cantik, fashionable, giat belajar. Persis seperti yang selalu kakak ku lakukan. Apa yang Papa inginkan dariku? Menjadi Shania yang mageran dan hanya mengenakan kaos sepanjang hari? Shania yang merobek pakaian kakaknya sendiri dan membunuh ikan kecil? Shania yang itu? Jangan bercanda.

-

-

-

-

Sekian dan terima kasih. Maaf pendek banget.

Jangan lupa vote, comment yaaaa .

Cewek Ceroboh & Cowok EsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang