Mataku
danau kecil yang tak dalam.
Yang mana
pernah begitu banyak anak-anak kecil
silih berganti berdatangan ke sana
bermain dan selalu pulang kebasahan.Mataku
danau yang tenang
dengan banyak binatang-binatang di dalamnya.
Beraneka jenis.
Besar-kecil.
Beranak-pinak.
Berpuluh, beratus hingga beribu.
Yang mana
sebagian ditangkap entah oleh siapa,
pun sebagian yang lain dibawa entah kemana.Mataku
nyatanya danau nan luas.
Yang mana
belum seorang pun pernah menemukan ujung-dalamnya.
Banyak di antara mereka tersesat tak kembali,
hilang dan tenggelam.Mataku lalu menjelma danau gersang.
Yang mana
keruh airnya mulai berlumut
pohon-pohon di tepiannya bertumbangan
dan rerumputan tumbuh dengan layu.Mataku
danau yang akhirnya mengering
ketika musim panas datang mengerang.
Pepohonan dan rumput-rumput tak lagi menjadi pengindah.
Airnya pun menghitam.
Tak ada lagi anak-anak kecil.
Bahkan
satu binatang pun tiada,
sebagian mati, sebagian pergi.Namun kelak
mataku adalah danau musim semi.
Tatkala sesosok mata yang lain hadir, merupa,
bagai bunga sakura indah yang tumbuh
menatapi mata danauku yang kumuh.Dan setelahnya
mataku akan menjadi tempat paling misteri.
Karena setiapkali mata lain itu beradu pandang dengan mataku,
ia akan melemah
berguguran layaknya sakura.
Lalu
bunganya jatuh
menerpa air yang tersisa
berdentang bak lonceng
membawa kembali anak-anak kecil yang dulu
bermain namun enggan untuk kebasahan lagi
di waktu kepulangannya.Aullia Akbar
Surakarta, 30 Oktober 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Diksi Nalar
PoetryAtas nama ingatan, izinkan Diksi nan bersemayam dalam Nalar, menempati tempat maya ini, menemani teman nyata ini; diriku.