Tuan, tatkala gelombang laut belum menghantarkanmu pulang,
saat itu kami tengah berdiri di tepian pantai
bersama badai yang masih belum usai memecah karang.
Sunyi lantas bermain, Tuan.
Mengakrab bersama senja dan burung-burung.
Sedangkan ombak-ombak, berdecak kagum di antara murung.Tuan, tak lagi rahasia bila mata pencaharianmu bertopang pada mata angin.
Namun jika kau hilang arah, Tuan.
Apa yang hendak kami makan?
Sedangkan mata kami mulai bergaung, menganga,
oleh air mata yang dibawa angin dan air laut ke sudut-sudut mata.Tuan, si nyonya besar kini telah cemas menunggu,
terbelenggu,
Entah peluhmu yang ia mau,
entah pelukmu yang ia rindu.Tuan,
Masihkah engkau berada di tengah lautan?
Atau sampanmu telah membatu di pantai lain?
Kembalilah, Tuan,
kami tak akan mengutukimu.Aullia Akbar
Surakarta, 2 Oktober 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Diksi Nalar
PoetryAtas nama ingatan, izinkan Diksi nan bersemayam dalam Nalar, menempati tempat maya ini, menemani teman nyata ini; diriku.