1_SATU

634 9 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kabut tipis membalut seluruh area yang mampu ditangkap mata Zach. Susah payah pria itu harus terus berjalan, menanjak menuju ke area perkemahan untuk mendirikan tenda. Udara dingin memaksanya untuk terus bergerak. Sementara ini, telapak tangan dan kupingnya sudah terasa beku. Camp terakhir itu diberi nama Pasar Bubrah. Konon, karena area luas berpasir dengan batuan-batuan cadas itu menjadi titik temu aneka macam mahluk tak kasat mata.

Diselingi aroma belerang, untuk yang kesekian kalinya Zach terpeleset lagi. Tapi tak apa, selagi ototnya tak terkilir Zach masih bisa menikmatinya. Lepas dari kabut tebal dan badai angin ini, Merapi adalah pilihan yang tepat. Dia bergegas bangkit kembali lalu berjalan.

Adi menyapukan senternya ke belakang tepat di dada Zach yang sudah mulai berjalan. "Less than 30 minutes." Teriaknya. Angin menderu semakin kencang. Jarak pandang mereka sangat terbatas. "Don't be lose! We are the only one crew here."

Headlamp Zach tepat menyorot wajah Adi. Memberi efek sensor yang menyilaukan. Helaan nafas dari hidung dan mulutnya meninggalkan jejak panas tubuh yang menguap keluar. Dia terus berjalan merapatkan jarak. "I know monday always be a date to hate." Katanya, "and good to hike."

Bulan Agustus di Indonesia sudah jarang-jarang turun hujan. Ini musim peralihan, pancaroba. Hujan memang selalu menjadi hal yang tidak disukai jika ingin mendaki gunung. Tapi musim ini, adalah musin terganas di pulau Jawa. Pancaroba sama artinya dengan musim badai angin.

"Do you need a rest?" Teriak Adi yang berada di depan.

Zach mengangguk pelan. Nafasnya tanggal-tanggal.

"Kuakui ini memang dingin." Celetuk Adi sambil menawarkan botol airnya.

"It's called storm, right?"

"Yes." Jawab Adi sekenanya. "But for a firstimer like you, kamu nggak terlalu rewel dan itu cukup meringankan pekerjaanku. Ini bukan badai pertamaku di Merapi."

"But it's not my first mount." Zach mengelak. "If you need to know, Minggu lalu aku baru saja turun dari Prau. Aku tidak bisa dibilang firstimer."

"Sudah kuberitahu Zach. Membandingkan Prau dan Merapi, walaupun hanya dipisahkan jarak yang relatif dekat, adalah loncatan kuantum." Senyum yang dipasang Adi di wajahnya terkesan mengejek. "Tapi memilih Prau sebagai debut mendaki gunung, perlu kuacungi jempol."

Mendengar itu, Zach cukup setuju. Dilihat dari apa yang didapatnya di Prau, yang sedang ditemuinya di Merapi adalah lipat tiga dari semua kategori. Panjang track, variasi track, suhu, topografi.

"Lagi pula." Tambah Adi. "Indonesia itu anomalinya dunia. Merapi dan Merbabu yang bersebelahan saja, sudah sangat berbeda karakteristiknya." Dia menunjuk gundukan tanah raksasa di depan. Sebuah siluet gunung yang sesekali nampak samar di balik kabut. "Itu Merbabu, terlihat sangat tenang, bukan?"

Mereka berdua lalu duduk di batuan cadas yang track setelahnya, masih terus menanjak curam. Sebagai seorang klien, sepanjang perjalanan ini Zach bisa mengikuti semua intruksi dan opsi yang Adi berikan dengan baik. Semenjak di basecamp New Selo, Adi tak henti-hentinya mengatakan kalau nanti, mereka kemungkinan besar akan menemui badai.

"Kalau sedang tidak berkabut begini, ini tempat favoritku untuk beristirahat." Adi menunjuk jauh ke bawah, tapi pandanganya hanya mentok beberapa meter ke depan. Kabut ini terlalu tebal. "You can see all over the city right here."

Zach meneguk airnya. "Sepertinya kita sedang tidak beruntung ya."

"Memang sedang tidak beruntung." Di tempat ini, di titik yang dia dan Zach duduki 10 tahun yang lalu, telah merubah banyak aspek kehidupan seorang Adi Prakoso. Saat itu dia berusia 20 tahun, bekerja sebagai administrator di sebuah toko komputer, untuk pertama kalinya melihat gumpalan awan terarak di bawah kakinya. Mendengar angin yang menderu, bentangan luas horizon, sentuhan malam yang dingin. Menghipnotisnya. Memberinya candu akan petualangan.

Ketika memutuskan untuk menggantung dasinya 5 tahun yang lalu, Adi tahu kemana hidup akan menuntunya. Berbekal bahasa Inggris pas-pasan, dia menempuh satu jam perjalanan kereta dari Solo ke Jogja setiap Jum'at. Dengan setumpuk brosur lipat tiga buatan sendiri, dia gigih mondar-mandir di pinggiran Malioboro yang tak pernah sepi untuk membagikanya pada turis-turis. Lokal, maupun asing. Rombongan study tour, sampai solo backpacker.

Dia menempelkan brosurnya di angkringan-angkringan.

Meninggalkan setumpuk di kasir rumah makan Padang. Di atas kotak amal Mushola.

Membayar dua puluh ribu rupiah ke seorang tukang becak untuk jadi sales promotion dadakan.

Pada Jum'at ketiga, usahanya membuahkan harapan. Dia sudah dalam perjalanan pulang di dalam kereta saat tiba-tiba ponselnya bergetar.

I got your papper.

I want to be there.

When, we can meet to start to see that sun rise?

Pesan itu singkat, tapi cukup untuknya mengembangkan senyuman puas di wajah. Klien pertaman.

Kini, dia bahkan tak harus lagi menyewa mobil untuk mengangkut turis-turis haus penjelajahan yang datang dari berbagai belahan dunia. Sekarang ini, untuk yang kesembilan kalinya, dia memberhentikan klienya di titik ini, di titik dimana dia, 10 tahun yang lalu, untuk pertama kalinya mengaku bahwa dia jatuh cinta pada alam terbuka.

Adi melirik Zach sedang merogoh sakunya, mengeluarkan lipatan kertas kusut. "It's from my bos." Katanya seraya mengulurkanya pada Adi. "Dia tahu aku mau ke Indonesia. Perjalanan ini, murni rekomendasinya. Kalau nggak gara-gara brosur ini, aku sudah di Tana Toraja beli kopi."

Meskipun lecek, Adi masih ingat ketika pertama kali klien pertamanya mengembalikan brosur itu. Dia yang mengambil fotonya, memilih font-nya, dan mengatur tata-letaknya. Semua yang ada di dalam brosur itu, Adi yang menentukanya. "That's a long time a go." Katanya berbinar. Bahkan dia masih bisa ingat wajah klien pertamanya, ketika pertama kali bertemu di sebuah cafe di Jogjakarta. "Ini brosur pertamaku. Ngomong-omong, bagaimana keadaan Anton dan Stevani sekarang?"

"From your first cliens." Zach melihat ada sedikit keharuan di mata guide-nya. "Dan desainya masih belum ganti sejak pertama kali kamu promosi." Yang dia tahu, setiap perusahaan, atau kegiatan yang membutuhkan publikasi untuk mengenalkan suatu produk, pasti ada pembaruan setiap kali harus mempublikasikanya. Rupanya, Adi tipe orang yang berbeda.

Dari Anton dan Stevani lah klien-klien mulai berdatangan. Awalnya dari mulut ke mulut, tetapi jaringan kerja Anton dan Stevani sebagai kontributor majalah travel lokal Amerika, telah membukakan peluang untuk Adi. Mereka menyarankanya untuk membuat laman di internet. Semakin lama, Adi semakin melek sosial media. Blog, Friendster, Facebook, Wix, Tumblr. Semuanya dia coba, tetapi sejak mengenal smartphone, pilihanya berlabuh pada Instagram.

SISI BUMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang