3_TIGA

116 4 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aku keluar sebentar." Kata Adi seraya membuka resleting tenda. Angin berdebu langsung menerobos masuk. Badai angin dan kabut tebal adalah kombinasi yang cukup familiar baginya. Tapi yang ini, badai terparah yang pernah ditemuinya.

Sering kali Adi, sebagai pendiri sekaligus guide di Outdoor Java_sebuah penyedia jasa manajemen petualangan alam terbuka yang didirikanya sendiri_harus meminta ma'af berkali-kali jika pertimbangan waktu atau perkiraan cuaca meleset. Mengesampingkan alasan pengalaman bertualang di alam bebas dan kesadaran seseorang akan lingkungan asri minim manusia, matahari terbit adalah alasan terkuat klien-klienya mau membayar mahal. Cuaca tak terduga seperti sekarang adalah masalah tanpa solusi di lingkaran bisnis ini.

Dengan hanya berkaos, Adi keluar menantang dinginya angin. Rupanya beberapa pasak melonggar dari pakuanya. Dia mengambil batu dan segera memakunya lagi.

Terdengar ssesuatu yang meraung-raung. Samar, namun jelas ada suaranya.

Adi memutar tubuhnya, mencari-cari sumber suara aneh itu. Deruan angin. Pikirnya. Itu paling masuk akal. Tidak ada siapa-siapa di camp. Hanya dia dan Zach. Ini hari senin.

Adi mambalikan badanya lagi. Kali ini bukan suara-suara aneh yang didengar, melainkan teriakan lantang seorang wanita. Dia menyapukan senternya ke segala arah, mencari-cari dengan sigap dan was-was. Tidak ada siapa-siapa. Mendadak, rasa tidak nyaman menguasainya.

Semua orang tahu cikal-bakal tempat ini, yang menjadi camp terakhir pendakian gunung Merapi dinamai Pasar Bubrah. Latar belakangnya sangat mistis. Pernah dia mendengar seorang klienya beberapa tahun yang lalu, yang mengikuti 2 orang pendaki lain setelah tertinggal jauh dibelakang rombongan yang dipimpin Adi. Orang itu tidur bertiga di dalam tenda malam hari, pagi harinya dia ditemukan lemas setelah 50 jam dilaporkan hilang.

Adi hendak kembali masuk ke dalam tenda ketika sesuatu, mendadak menghentikanya.

Jauh di sebelah timur, Adi melihat cahaya warna-warni di tengah pekatnya kabut. Tapi yang satu ini nampak sangat berbeda, bukan berupa lengkungan raksasa rangkaian warna-warna yang membentang luas di langit. Yang ini, lebih serupa aurora yang kaya warna yang berdiri tegak membentuk persegi empat memanjang dalam posisi potret. Sebuah frame seukuran pintu rumah. Kombinasi warnanya mengingatkanya pada es krim Paddle Pop rasa campur.

"Is everything okey out there?" Teriak Zach dari dalam.

"Zach, bisa kamu keluar sebentar." Dengan nada tak percaya, Adi ingin menunjukan fenomena menakjubkan itu sebagai pengganti momen matahari terbit yang tak sempat mereka dapat. "There is a rainbow."

Pelangi? Zach tidak cukup asing dengan kegiatan luar ruangan seperti ini. Tapi dia tak cukup bodoh untuk membayangkan pelangi di tengah badai angin. Pagi-pagi buta begini? Bukanya pelangi hanya terjadi setelah hujan. Dia menyalakan senternya dan bergegas keluar.

"Look!"

Mata Zach mengikuti jari telunjuk Adi yang mengacung ke depan. "Oh God. What is that?"

Adi menggeleng. Sama seprti Zach, Adi pastinya juga ingin melontarkan pertanyaan yang sama.

"Is that frame close enought?" Tanya Zach bersemangat. Gagal melihat matahari terbit bukan apa-apa jika penggantinya adalah, pandaran cahaya warna-wani itu. "Can we get closer?"

Aaahhhh.....Aaahhhh.....Aaahhhh....Raungan itu terdengar lagi.

"Did you hear that?" Tanya Adi. Mereka berdua mengalihkan perhatianya dari fenomena alam langka yang baru pertama kali muncul itu ke sebuah menara besi yang bergoyang-goyang mengkawatirkan di belakang. Lalu terdengar bunyi berdenyit besi-besi.

Berjarak hanya beberapa puluh meter dari tenda mereka berdiri, menjulang sebuah bangunan permanen milik Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. Ada sebuah menara besi yang mencuat menantang grafitasi, yang ditahan dengan seling-seling baja. Digunakan untuk memantau aktivitas gunung Merapi dari segala aspek berbahayanya.

Sekarang ini, gara-gara badai ini, beberapa seling tampaknya terputus, mengakibatkan menara itu condong ke arah mereka berdua dengan kemiringan yang mengkawatirkan.

"We have to move..." Adi sudah mulai membungkuk untuk masuk ke dalam tenda ketika dencitan terdengar lagi dari arah menara itu. 2 detik kemudian, beberapa seling mencelat. Menara itu, semakin mengancam.

"...There's no time for packing." Teriak Zach yang langsung menarik tangan Adi, menggeser posisi berdiri mereka ke luar dari radius bahaya. Seperti yang telah Adi katakan saat pertama kali mereka bertemu untuk membahas keberangkatanya ke gunung Merapi, alam tak sebersahabat yang dilihatnya di instagram. Menikmati alam sama artinya dengan pasrah dengan alam itu sendiri. Keindahanya yang tersembunyi, harus ditempuh dengan segala konsekuensi bahayanya.

Adi dan Zach berlari menjauh.

Namun di luar dugaan, pasak-pasak di tenda orange itu terlepas diguncang angin. Tanpa beban yang cukup untuk menahanya, tenda itu melambung tinggi. Terbang jauh terbawa angin, memuntahkan segala macam isinya dari dalam, kemudian mendarat beberapa meter setelahnya. Kemudian menggelinding mendekati frame itu.

Adi sempat mencoba mengejar ketika kejutan kedua datang. Menara itu benar-benar roboh, dan langsung menggelinding ke arah mereka berdua. Tanpa komando apa-apa, mereka berdua menunduk dengan kedua tangan menyilang di atas kepala. Menara besi itu menggelinding dengan kecepatan di luar dugaan, menjadikanya sebuah ancaman mematikan. Sempat berhenti karena tertahan oleh batu 1,5 meter tempat Adi dan Zach mendirikan tenda, menara itu menggelinding lagi ke depan, menuju ke titik bercahaya itu.

Dengan posisi berjongkok Zach merasakan posisi dirinya bergeser. Terus bergeser. Bukan karena gempa vulkanik, melainkan terbawa angin. Bukan, bukan. Dia menepis fakta itu. Kekuatan angin badai ini, tidak bertambah lemah atau bertambah kuat sejak kemarin malam. Seingatnya badai angin ini bergerak dengan kecepatan dan kekuatan yang konstan. Tapi tubuhnya terus bergeser. Lebih cepat. Lebih cepat lagi. Lebih dekat.

Aurora itu. Zach mulai menyadari. Dia memaku pandangan pada pelangi persegi panjang itu dari kejauhan. Sekujur tubuhnya dikuasai kepanikan.

"Zach...Zach..." Itu suara teriakan Adi yang memanggil-manggil. "Zach...Zach..."

Zach mencari-cari dimana Adi. Tidak ketemu.

"The frame..." Teriak Adi lagi dari suatu tempat yang tidak Zach ketahui. "Stay away from the frame!"

Mendadak tubuh Zach menggigil. Bukan karena udara dingin. Tapi, jaraknya bergeser semakin dekat dengan pelangi persegi panjang itu. Dia mencoba berdiri. Berlari menjauhi sumber tarikan grafitasi yang menelan ruang di depanya. Naasnya dia terpeleset. Jatuh berguling-guling. Dan akhirnya, tersedot masuk kedalam frame.

.....

Kedua orang itu terkurung dalam ruang bermandikan cahaya putih yang tak bertepi, yang mampu meredam segala jenis frekwensi suara. Sebuah dimensi yang mampu mengisolasikan massa dan grafitasi.

Dengan sisa-sisa kesadaranya, Zach merasakan tubuhnya berputar-putar. Melayang dikelilingi benda-benda yang juga berputar-putar. Dia melihat serangkaian batu-batu berbagai ukuran mengitari tubuhnya seperti asteorid yang memagari planet. Benda-benda lainya juga berputar. Tenda orange. Korek api. Kompor. Botol air mineral. Cafflano kesayanganya. Semuanya seperti sedang mengorbit pada tubuhnya. Roti. Keju. Susu. Biji-biji kopi. Adi.

Perutnya mual. Dia ingin berteriak, tapi mulutnya tak bergeming. Dari semua hal yang mampu dicernanya, ada satu kesimpulan. Aku didalam perut angin topan.

Tiba-tiba. Bruk....

Dengan kekuatan yang tak terduga tubuhnya menghantam hamparan pasir yang terasa lembut. Berguling-guling lagi. Dengan keadaan lemas tak berdaya, matanya mencoba terbuka. Bintang-bintang. Terdengar deruan angin. Tercium aroma garam.

Kemudian kegelapan total.

SISI BUMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang