2_DUA

203 4 2
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dome itu berwarna orange menyala, berdiri kokoh di balik sebongkah batu vulkanik setinggi 1,5 meter. Melindunginya dari kuatnya badai angin yang berkecambuk.

Untuk yang kesekian kalinya, Zach merasakan posisi tidurnya begeser. Dia terbangun. Yang pertama kali dilihatnya adalah senter yang bergoyang-goyang tepat di atas kepalanya. Badainya belum mereda. Matanya terpaku pada titik temu kedua bilah frame yang saling meyilang tepat di mana senter itu menggantung.

Dia mengecek G-Shock di pergelangan tangan kirinya. Jadwalnya lewat.

Zach ingin membangunkan Adi. Seharusnya menurut jadwal, mereka akan memasak mie instan dan membuat sandwitch sepuluh menit yang lalu, karena sebelum pukul 05.30 mereka sudah harus dalam perjalanan ke puncak. Tapi mendengar raungan badai di luar, mungkin dia harus rela mencoret 'matahari terbit' dari daftar kunjunganya.

Aroma biji kopi menyeruak. Membangunkan Adi dari tidur tak nyenyaknya. 4 jam mencoba terlelap, sudah lebih dari 10 kali dia terbangun. "What's time?" Dia bertanya seraya membebaskan diri dari kantong tidurnya.

"Jadwalnya sudah lewat." Kedua tangan Zach sibuk membongkar bagian demi bagian cafflano abu-abunya. Di pangkuanya, kantong kertas terbuka. Dia menjaganya hati-hati sekali isi dalam kantong itu, tak mau kalau sampai tangan menggigilnya menumpahkan biji kopi mahalnya. "Badainya nggak berhenti. Kita nggak usah buru-buru summit. Nggak ada matahari terbit juga nggak apa-apa kog."

Ketika hendak bangkit untuk duduk, Adi merasakan posisi tubuhnya bergeser. Awalnya dia hanya merasa kalau badanya sedikit limbung karena efek tidur-bangunya, tetapi setelah pergeseran itu datang sekali lagi, dia mulai merasa ada yang tidak beres.

.....

Travolta mengamati setiap bilik dengan seksama. Tangan kirinya yang memegang lentera minyak mulai terasa pegal, sementara telunjuk tangan kananya masih mengulur dari buku ke buku.

"Damn!" Gerutunya. Walaupun diucap sepelan mungkin, suaranya menggema ke seluruh ruangan.

Sejenak dia meletakan lenteranya di sebuah meja, lalu berjalan ke arah jendela dan melihat landscape kota yang dipenuhi bintik-bintik lampu minyak dari balik kaca yang buram. Dia membuka pintu jendela itu, yang berupa kaca patri berat yang pastinya, sudah tak tersentuh selama bertahun-tahun. Udara dingin menerpanya seketika. Wajahnya yang muram, bersemu dengan cahaya purnama yang sesekali mengintip di balik gumpalan mendung di langit.

Dimana itu disembunyikan? Bisiknya pada diri sendiri. Seumur hidup, baru kali ini seorang pangeran harus mengendap-endap pergi sendirian di dalam istana. Ruangan yang luas ini, dipenuhi berbaris-baris rak bertingkat-tingkat yang berdiri di sisi timur istana. Walaupun berada di dalam jantung Kerajaan Selatan, perpustakaan tua ini adalah dunia asing untuk seorang Travolta.

Dia berbalik badan. Dengan cahaya lentera yang minim itu, untuk kesekian kalinya dia melihat deretan punggung buku-buku yang berjajar rapi memenuhi berpuluh-puluh rak di hadapanya. Oh God. Seketika itu juga ototnya melemas.

Sejenak dia merasa pening. Minggu-minggu akhir ini, kehidupanya mendadak kacau. Apa yang malakat itu katakan?

Gelombang ingatan menyerbunya. Membuatnya kliyengan. Dia menarik kursi kayu tua, dan duduk di permukaanya yang berdebu, menyangga kepalanya dengan kedua tangan bertumpu pada siku yang menempel di meja.

Sepotong adegan terbayang. 14 hari yang lalu.

"King hides all the truth." Kata seorang malaikat. Yang secara mengejutkan bisa masuk ke dalam kamarnya yang terkunci rapat. "You have to find it somewhere in the library."

"I don't understand. What are you talking about?" Jawab travolta kebingungan. Matanya mempelajari setiap inci malaikat ini. Setinggi lebih dari 2 meter dengan empat sayap kecokelatan. "Kamu...Siapa?"

"Sudah seminggu sejak hari kelarihanmu yang ke-25." Lanjut malaikat itu yang fokus pada misinya. "It's time for you to know all the truth."

"Who are you? And what are you talking about?"

Kedua orang ini berbicara dalam nada yang berbisik-bisik dengan penekanan-penekanan yang jelas.

Malaikat itu terdiam, memberi sedikit waktu untuk Travolta fokus pada kata-katanya selanjutnya. Dia cukup paham bahwa informasi yang akan diterima Travolta darinya akan memberi efek kejut yang lebih kuat daripada kehadiranya yang tak diduga-duga. "Kamu berhak atas Kerajaan Selatan wahai putra raja Amoro. Tanah dan Air adalah tahtamu."

Mendadak jantung Travolta terhujam keras oleh kata-kata itu. Dia ini siapa? Apa yang dia katakan? Dia segera bangkit dari kasur dan langsung menyamber pedang yang selalu diletakanya di samping tempat tidur. "Jangan main-main dengan ayahku!" Bilah pedangnya yang tajam menempel di leher si malaikat. "Jangan campuri Kerajaan Selatan! Katakan! Kamu siapa? Mau apa?"

"Kamu sudah cukup terlambat Pangeran." Malaikat itu tak bergeming dengan ancaman itu. Mata mereka beradu. Walaupun merasakan dinginya pedang itu di leher, si malaikat tahu, Travolta menunggunya. "Kerajaan iblis di utara sudah memulainya bertahun-tahun yang lalu. Side Earth dalam bahaya yang nyata. Kabut kehancuran sudah bergerak ke seluruh penjuru mata angin. Kekuatan gelap telah menyusup ke dalam istana-istana 3 kerajaan di Sisi Bumi. Ambil kembali tahtamu! Kamu yang bisa menghentikanya."

Ambil kembali tahtaku? Memori tak terduga menyerangnya. 15 tahun yang lalu, raja ditemukan meninggal di dalam perpustakaan. Keadaan mayatnya miris cenderung mengerikan. Raja memotong sendiri pergelangan tanganya dengan belati. 14 hari kemudian, dia menyaksikan pamanya dimahkotai untuk menggantikan mendiang raja Amoro. Tahtaku diambil paman? Malaikat itu benar, menurut hukum monarki kerajaan manusia yang dipelajarinya, dialah pewaris sah Kerajaan Selatan.

"I was 10." Sangkalnya. Jelas tidak akan ada pelantikan raja bagi bocah.

"Mereka menyembunyikan banyak hal, Pangeran. Kamu harus tahu itu!"

Tubuh si malaikat berlahan-lahan memudar. Dengan teriakan emosi, pangeran muda itu menarik pedangnya, menggorok leher si malaikat. "Pergi...!" Teriaknya, menyadari pedangnya hanya lewat di wujud transparan itu. Menembus leher si malaikat tanpa sedikitpun menyayat dagingnya.

"Mereka membutakanmu. Ketahuilah apa yang seharusnya diketahui!" Malaikat itu lenyap. Semula menjadi bayangan, lalu semakin memudar, kemudian tidak ada. "Find it in the library!"

Sejak malam itu Travolta memulai pencarianya. Selepas tengah malam, dia keluar kamar, mengendap-endap menyelusuri koridor demi koridor menuju ke tempat paling terisolasi di dalam istana Kerajaan Selatan. Perpustakaan berhantu yang menurut malaikat itu, ada sebuah cincin disembunyikan.

Apa yang harus ditemukan? Pikirnya. Dari malaikat itu lah, dia tahu banyak hal yang disembunyikan darinya. Apakah ada kaitanya dengan kematian ayah? Pria bermata hijau itu menerawang. Sosok yang paling dicintainya itu merenggang nyawa di tempat ini, 15 tahun yang lalu.

Sudah cukup lelah Travolta meneliti setiap lemari-lemari penyimpanan. Yang ada hanyalah pedang-pedang tua, jubah-jubah tua, mendali-mendali perunggu berdebu. Tapi dia harus segera mengetahui rahasia-rahasia yang disembunyikan darinya, ini adalah kunci untuk membuka tabir-tabir rahasia selanjutnya.

"Ketahuilah apa yang seharusnya diketahui!" Kata-kata si malaikat masih berputar-putar di kepalanya hingga sekarang. Dia menyambar lentera dan melanjutkan pencarian.

SISI BUMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang