Setelah seminggu menunggu keputusan interview, hari ini Syifa sudah mulai bekerja sebagai salah satu staf keuangan di sebuah rumah sakit swasta di ibukota.
.
Banyak hal yang harus Syifa pelajari di hari pertamanya. Saat jam istirahat, selesai sholat dia langsung kembali fokus pada pekerjaannya.
"Masih ada 15 menit untuk makan siang." Gumamnya sambil melihat jam di tangan. Lalu dia bergegas ke kantin.
.
Kantin masih ramai meskipun waktu istirahat sudah hampir habis.
Beruntung masih ada meja kosong untuknya.
"Boleh saya duduk disini?" tanya seseorang tibatiba.
"Silahkan." Jawab Syifa tanpa memandang orang di depannya itu. Dia masih asik menikmati makan siangnya.
"Sepertinya kau sangat lapar."
"Pardon me!" Kata Syifa seraya mengangkat wajahnya. Dia terpaku melihat wajah itu. Dia memegangi dadanya yang tibatiba terasa sesak.
"Apa aku begitu tampan?"
"Hah???"
"Kau menatapku seolah kau ingin menyantapku. Jadi kau memang sedang kelaparan ya?" pria itu tersenyum melihat ekspresi Syifa yang blur. Luchu.
"Sorry." Kata Syifa setelah menyadari kelakuannya. 'Bagaimana kau begitu bodoh Syifa. Menatapnya seperti itu.' marah Syifa pada diri sendiri.
"Tak kumaafkan." kata pria itu masih dengan senyum manisnya.
"Whatever." Syifa bangun hendak pergi.
"Aku Arsy. Kau?"
"Tak perlu tau namaku, karena bukan kau yang akan melafadzkan akad untukku."
Syifa pergi meninggalkan Arsy.
Dia memegangi dadanya. 'Tenanglah wahai hati.'
.
Sementara Arsy hanya bisa memandang kepergian Syifa dengan sepi. 'Apa hanya orang yang akan menikahinya yang boleh tahu namanya? wanita aneh. Tapi dia wanita yang lucu.' kata hati Arsy.
.
...
Memutuskan kembali ke tanah air setelah bertahuntahun membawa diri ke Singapura, Syifa sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi semua resiko.
.
'Bunda minta kalian kembali saja ke Singapura. Bunda akan bayar denda kontrak kerja kamu. Atau jika kamu tetap mau tinggal, kerja saja dengan tantemu, nanti bunda uruskan semua. Kamu sudah cukup menderita sayang. Jangan sakiti diri kamu lagi.'
.
Ucapan bunda di telpon masih terngiangngiang di telinga Syifa.
Dia tak mungkin menyerah secepat ini. Dia akan bertahan sebentar lagi.
.
...
Sudah sebulan Syifa bekerja, dan sudah sebulan jugalah Arsy selalu berusaha 'mengganggunya'.
.
"Syi, kenapa kau menghindariku terus?" tanya Arsy.
"Dokter Arsy, saya sibuk. Jangan ganggu saya."
"Kenapa kau benci aku?" tanya Arsy lagi.
"Anda tak paham bahasa? Sudah saya bilang saya sibuk." Syifa berlalu meninggalkan Arsy.
"Mau kemana? tunggu!" Arsy berusaha mengejar Syifa.
"Ke toko buku, beli kamus bahasa alien. Sepertinya kau hanya akan paham bahasa alien saja." Cebik Syifa.
Arsy termangu 'what the??? huh kenapa kau selalu berusaha lari dariku Syi.' Keluh Arsy yang sudah berhenti mengejar Syifa.
.
"Fa, sepertinya dokter Arsy menyukaimu. Kenapa kau menghindarinya?" tanya Nurca, teman kerja Syifa.
"Mana ada. Aku tak menghindarinya." Elak Syifa.
"Semua orang bisa melihatnya, Fa."
.
'Aku gak mau kecewa lagi. Aku gak mau terluka lagi. Melihat Arsy mengingatkanku pada semua penderitaanku. Wajah itu, wajah yang selalu kumimpikan dan tak ingin kulihat'
.
***
Syifa membereskan meja kerjanya. Bersiapsiap untuk pulang.
Setelah selesai, dia pun keluar dari ruangannya. Di luar sudah ada Arsy yang menunggunya.
"Syi, tunggu!!!" kata Arsy menghalangi jalan Syifa.
"Ada apa?" tanya Syifa. Lelah juga menghindari Arsy.
"Bisa kita duduk dulu sebentar di taman? Aku ingin membicarakan sesuatu." Pinta Arsy.
"Maaf, tapi supirku sudah menunggu."
"Plisss. Sebentar saja." Arsy memohon.
"Baiklah. Lima menit."
.
Syifa duduk di sebelah Arsy.
"Syifa. Aku tak mengerti satu hal, kenapa kau selalu menghindariku?" tanya Arsy.
"Itu hanya perasaanmu saja."
"Meskipun kita baru kenal, tapi aku merasakan perasaan aneh terhadapmu. Entah kenapa aku merasa sakit dengan sikapmu itu. Syifa, aku menyukaimu. Aku tau ini gila, tapi aku benarbenar menyukaimu." Luah Arsy.
"Jangan mengatakan hal itu jika kau tak memaksudkannya. Arsy, aku tak bisa menjalin hubungan dengan seorang pria sekarang. Sebaiknya lupakan perasaanmu. Mungkin itu bukan perasaan suka, kau hanya penasaran saja terhadapku."
"Syifa, aku serius dengan perasaanku. Aku yakin aku memang menyukaimu." Tegas Arsy.
"Mama!!!"
Suara anak kecil tibatiba mengagetkan mereka. Anak kecil itu berlari ke arah Syifa lalu memeluknya.
"Mama, kenapa lama? Aira bosan nunggu di mobil. Jadi Aira nyusul mama kesini." Kata Aira sambil memuncungkan mulutnya.
"Sorry sayang. Mama gak bermaksud membuat Aira nunggu lama." Kata Syifa sambil mengelua pipi lembut Aira.
Arsy yang dari tadi jadi pemerhati hanya memandang dengan penuh tanya, apa hubungan Syifa dan anak itu.
"Syifa!" panggil Arsy.
Syifa menoleh pada Arsy, dan baru menyadari dia masih ada di sampingnya.
"Maaf Arsy. Aku harus pergi. Anakku sudah menunggu terlalu lama."
DEG
pernyataan Syifa membuat Arsy merasa tersentak.
"K..aa..uuu., punya anak?" tanya Arsy gagap.
"Iya." Jawab Syifa. "Aira, ayo kita pulang. Assalamu'alaikum Arsy."
.
Untuk kesekiankalinya Arsy hanya bisa menatap kepergian Syifa. "Anak? Apa karena dia sudah berkeluarga makanya dia menghindariku? Tapi, memangnya berapa umurnya? Dia masih terlihat seperti gadis berumur 20 tahun. Rasanya tak mungkin punya anak sebesar itu. Huh tapi tak ada yang tak mungkin, Arsy." Monolog Arsy.
...
Setelah hari itu, Arsy tak mengganggu Syifa lagi. Jika memang Syifa istri orang, dia harus mundur.
.
Sore itu Arsy melihat Aira sendirian di tempat makan, dia menghampiri Aira.
"Hey, Aira! Mama mana?" tanya Arsy. Ya, Aira sudah mengenal Arsy karena mereka sering terserempak di rumah sakit.
"Mama pesen makanan Aira. Tuh!" jawab Aira sambil jarinya menunjuk ke arah Syifa yang sedang mengantri.
Arsy melihat ke arah yang ditunjuk Aira, lalu dia menoleh kembali pada Aira.
"Kalian datang berdua? Papa Aira gak ikut?" bukan kali ini saja Arsy melihat Syifa dan Aira. Sudah sering dia tanpa sengaja melihat Syifa dan Aira, entah di mall, tempat makan, taman hiburan dan lainlain. Tapi Arsy tak pernah berani menegur. Dan selama itu Arsy memang tak pernah melihat suami Syifa.
"Aira kenapa?" Arsy bertanya lagi setelah melihat perubahan di wajah Aira.
"Papa Aira gak ada." Jawab Aira sayu.
"Kerja?"
"Aira gak punya Papa." Arsy tersentak. Ditatapnya wajah Aira. Wajah lugu itu semakin mendung.
.
"Arsy!" Syifa memandang Arsy yang entah sejak kapan ada di mejanya.
"Eh ... Syi. Tadi aku melihat Aira sendirian jadi aku nyamperin dia. Kamu gak keberatan kan aku ikut kalian makan disini?"
"Hmm ... okeh." Syifa duduk di samping Aira. "Sayang, ini makananmu. Jangan lupa berdo'a sebelum makan." Wajah Aira yang tadinya mendung berubah ceria kembali saat melihat makanan, dan Arsy lega melihatnya.
.
"Syi, umur Aira berapa sekarang?"
Syifa mendongak memandang Arsy.
'Apa yang salah dengan pertanyaanku? Kenapa dia menatapku seperti itu?' bathin Arsy.
"Hmm ... Lima tahun."
"Kau menikah muda?"
Syifa mengangguk.
"Suamimu ... "
"Bisa gak kita bicara hal lain saja?" belum sempat Arsy bicara, Syifa sudah memotongnya.
"Hmm ... Aira dah sekolah?" hanya itu yang terlintas dipikiran Arsy sekarang. Dia tak mau mood Syifa berubah buruk.
"Dia sudah masuk Taman KanakKanak."
Arsy menganggukngangguk.
"Kalau kau sedang bekerja, Aira sama siapa?"
"Sekolahnya fullday. Sore dia dijemput supir, lalu ke rumah sakit menjemputku." Terang Syifa.
"Baru tahu ada TK yang fullday. Biasanya dari SD saja yang ada. Btw, kau gak khawatir membiarkan Aira di sekolah terlalu lama seperti itu?"
"Aku memasukkannya kesana bukan karena aku tak mau mengurusnya dan bukan karena aku lebih memilih kerjaku. Kebetulan ini TKIT. Selain ilmu dunia, Aira juga bisa sekalian belajar agama. Bukan aku tak mau mengajari Aira dan meninggalkannya disana, tapi aku merasa ilmu agamaku belum cukup untuk membimbing Aira." Kata Syifa.
Arsy hanya memperhatikan Syifa yang asik bicara. Selama mengenal Syifa, mungkin inilah kalimat terpanjang yang pernah dia katakan. Tentu saja bagi Arsy itu merupakan suatu kemajuan.
.
...
Bersambung