(6)

1.2K 252 55
                                    

🌻Jaehyun🌻

Keegoisanku kini mendapat hukuman dari Tuhan.

Mr. Choi marah luar biasa saat mengetahui Yuta menghilang tanpa jejak dan tanpa saksi mata. Akhirnya semua petugas penjaga sel tahanan Yuta termasuk aku mendapat sanksi. Kami berlutut dengan kepala menghadap ke bawah, sedangkan Mr. Choi mengotori tangannya dengan mencambuk kita bersama-sama.

Semua kesakitan. Tapi taukah kalian siapa yang paling sakit disini? Aku. Sakit yang kurasa bukan hanya muncul dari luar tubuhku, tapi sesuatu terasa mencabik hatiku.

Beberapa hari kemudian aku masih dengan tak tahu malu mendatangi tempat Taeyong bekerja. Masih dengan harapan ia masih mau menemuiku walau aku tahu Yuta telah kembali.

Aku tetap melakukan rutinitasku seperti biasanya, membeli dua kaleng bir dan menyerahkan satu kaleng untuknya.

"Apa aku masih terlihat muram, Jae?" tanyanya.

Semua berubah. Ekspresinya kini lebih terlihat bahagia. Tak ada lagi kemurungan, auranya nampak cerah dan yang paling kubenci, ia tampak sangat cocok dengan ekspresi itu. Seolah dia melupakan beberapa malam hangat yang lalu pernah kita lewati berdua. Seolah dia telah...melupakanku.

Rasanya sangat menyesakkan. Lebih terasa sesak saat aku bertanya, "Tidak. Apa kau bahagia akhir-akhir ini?"

Pertanyaan yang sudah jelas aku ketahui jawabannya. Sesuai perkiraanku, ia menceritakan detail kembalinya Yuta padanya. Bagaimana kondisi Yuta dan kehidupannya yang kembali seperti apa yang ia inginkan. Mendengarkannya semakin membuatku ingin marah. Semua yang dikatakannya membuatku sadar apa posisiku selama ini.

Hanya sebagai pengisi kekosongan.

Aku tak bisa lagi menahan semua perasaan tak adil yang kuterima. Semua terasa menyesakkan sampai air mata memenuhi sudut mataku.

"Lalu, aku bagaimana?" Aku memegang kedua tangannya, menuntut kejelasan.

Sorot matanya kini menunjukkan ekspresi bingung. Entah itu hanya akting atau memang ia tak mengerti maksud dari perkataanku. "Kau bagaimana apanya Jae?"

"Kau tak melihat perasaanku sedikitpun?"

Ia melepas genggamanku dengan tergesa-gesa saat ia melihat seseorang masuk dari pintu minimarket. Aku mengikuti arah pandangnya. Yuta berdiri dengan bahu basah terkena sedikit air hujan yang mungkin ia dapatkan dalam perjalanan menuju kesini.

Aku tahu pasti Yuta mengenalku dengan baik. Ia tahu siapa aku. Dari apa yang tergambar dari pandanganku, matanya terlihat marah saat melihatku. Tangannya mengepal kaku. Tapi sejenak kemudian senyumnya merekah.

Ia berjalan mendekati kasir tempat kami berada. Perkiraanku salah, aku sudah bersiap menerima pukulan yang akan dilayangkan padaku. Namun yang terjadi selanjutnya, ia tak memandangku lagi. Menganggapku kasat mata tak terlihat. Aku benci diabaikan seperti ini.

"Aku datang untuk menjemputmu, Taeyongie." sapanya pada Taeyong.

"Ah sebentar, aku harus menyelesaikan yang satu ini. Lagipula Jeno belum datang. Kau bisa menungguku sebentar lagi kan?"

Yuta mengangguk. Sekali lagi ia tak memandangku sama sekali. Aku tak tahu mengapa ia bersikap seperti itu. Perasaanku menjadi aneh. Rasanya aku lebih senang jika kepalan tinjunya mendarat di wajahku, membuatku lebam hingga berhari-hari.

Setidaknya menerima pukulan darinya akan membuatku sadar dimana tempatku yang seharusnya. Tidak seperti sekarang. Aku menginginkan lebih dan lebih.

Taeyong segera mengeluarkan kembalian dari uang yang kuberikan padanya. Ia tak mengambil sebotol yang kusodorkan padanya, membungkus 2 botol bir ke dalam kantong kresek seolah mengusirku agar tak terlalu lama di dekatnya. Aku bukanlah orang yang sensitif, hanya saja ekspresi cemas Taeyong menunjukkan segalanya. Ia tak ingin Yuta tahu ada sesuatu diantara aku dan Taeyong selama Yuta pergi.

Beberapa hari kedepan aku tetap mendatanginya terus menerus. Membuatnya jera, membuatnya bosan padaku sampai akhirnya ia akan menggantungkan hidupnya padaku seperti sebelumnya ia menggantungkan hidupnya pada Yuta. Itu yang kuinginkan.

Walaupun ia bersikap seolah tak mau tahu dengan perasaanku, tapi aku mengerti jika ia memikirkanku dan memiliki sedikit rasa yang sama denganku. Aku yakin bukan karena kepercayaan diriku yang terlalu tinggi. Bukan karena wajahku yang pasti lebih tampan dari Yuta maka dari itu aku besar kepala, bukan. Karena ia tak pernah sekalipun keberatan dengan kedatanganku. Karena ia tersenyum tiap kali aku memasuki minimarketnya. Menyapaku seperti biasa.

Itu semua sudah cukup asalkan ia tak pergi jauh dariku. Suatu saat aku akan membutnya ada disampingku walaupun itu bukan hari ini.

Yuta yang mengabaikanku begitu saja, kurasa kini mulai risih dengan kedekatanku dengan Taeyong. Awalnya ia mendiamkan kami, membuat kami terus dekat. Tapi sekarang, aku melihat sinar posesif dari matanya. Ia bahkan menghentikan jalan pulangku dari minimarket tempat kerja Taeyong.

Kala itu kita berada di sebuah jalan kecil yang sepi dari pejalan kaki. Kondisi dan suasananya sangat mendukung terjadinya pertengkaran hebat, namun yang terjadi selajutnya membuatku tak bisa bergerak seinci pun.

"Aku tahu kau menyukai Taeyong." pernyataannya tanpa basa-basi membuatku tersenyum. Kurasa Yuta ini telah lelah berpura-pura bodoh padahal hatinya tersakiti.

"Ya, benar." tandasku tanpa takut.

"Kuharap kau berhenti mendekatinya. Aku dan Taeyong akan menikah. Tak ada lagi kesempatan kau mendekatinya lagi karena dia milikku."

Hati dan jiwaku ingin memberontak ancaman dari Yuta. Semua terasa bohong. Taeyong masih sama seperti dulu, ia masih tersenyum padaku, menyapaku, dan yang paling pasti ia tak mengucapkan sepatah kata pun tentang pernikahan di depanku.

"Kau kira aku takut ancaman seperti ini? Taeyong menyukainya? Menikah denganmu?" Aku mulai hilang akal. Mataku tidak fokus.

Sebagian diriku ingin berbuat jahat. Melaporkan pada Mr. Choi bahwa aku bertemu dengan Yuta dan kembali memasukkan Yuta ke dalam sel tahanan. Tapi aku tak bisa. Aku tak bisa melihat senyum Taeyong menghilang. Semua menjadi serba salah.

"Dia sangat menginginkannya."

Setelah itu Yuta pergi meninggalkanku yang masih berdiri kaku melihat langkahnya pergi.

***

FatedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang