Apakah ketulusan adalah kunci dari gembok pintu hati yang terdalam?
Jaehyun mempercepat langkah kakinya menyusuri koridor kediamannya. Beribu kali ia mengutuk dirinya sendiri karena membuat rumah sebesar itu. Butuh waktu lama hanya untuk sampai ke lantai dua. Namun itu bukan hal yang paling penting. Saat ini jantungnya berdetak tidak karuan. Air mata berkali-kali berencana untuk menetes begitu saja, tetapi ia menahannya sekuat tenaga. Bagaimanapun, seorang pria dewasa berlebel CEO sepertinya tidak boleh sembarangan menangis di tempat umum.
Sesampainya di depan sebuah pintu, pria itu menghentikan langkahnya. Ia mencoba mengatur napas yang memburu dan bersikap lebih tenang. Ini adalah bentuk tanggung jawabnya dan melarikan diri tak lagi menjadi opsinya. Saat dirinya membuka pintu, tampak seorang pria muda tengah duduk dengan kedua kaki terlipat. Kepalanya tersandar di atas lutut. Pria itu menatap ke depan dengan pandangan kosong, tak menoleh atau memperhatikan sekitar, terlebih ketika dirinya membuka pintu dan memanggil namanya beberapa kali.
Tak ada jawaban sepatah katapun dari bibirnya yang terkatup rapi.
Jaehyun mendekat, mencoba menepuk pundaknya. Namun tak ada respon sama sekali.
"Taehyung-ah, ayah datang. Kau bisa mendengarku?" tanyanya lebih mendekat.
Tak ada jawaban.
Sudah terlalu lama Jaehyun menahannya, kini air matanya meleleh keluar begitu saja. Ia pun merengkuh tubuh Taehyung yang kian mengurus itu, memeluknya dengan suara sesenggukan.
"Taehyung-ah, kumohon jawab aku. Kumohon." Jaehyun masih terus menangis, menyesal, begitu menyesal dengan kondisi putranya itu.
Berpuluh-puluh kali pun Jaehyun mencoba mengajaknya bicara, berbisik padanya, hingga mengguncang-guncangkan tubuhnya, Taehyung tak merespon sama sekali. Pandangannya selalu tampak kosong seakan tak lagi hidup. Meski masih bernapas, meski jantungnya masih berdetak, jiwanya seakan telah mengembara ke antah berantah, meninggalkan kehidupan sulit yang selama ini hanya melukainya.
"Maafkan aku."
Hanya penyesalan yang terucap dari mulutnya, lagi dan lagi, meski Taehyung tak memberi respon, Jaehyun tetap bersikukuh. Hingga pada akhirnya anak itu mengucapkan sepatah kata dengan lirih seakan seperti suatu keajaiban, walaupun ia mengatakannya seperti seseorang yang seolah tengah mengigau.
"Jungkook..."
Jaehyun terperangah. Ia menatap Taehyung penuh arti. Mengapa anaknya ini memanggil Jungkook? Bukankah dia begitu membenci adik angkatnya itu? Apa yang diinginkan Taehyung sebenarnya?
"Taehyung-ah, mengapa kau memanggil Jungkook?" tanya Jaehyun setengah frustasi.
"Jungkook..."
"Taehyung-ah? Kumohon jawablah aku."
"Jungkook..."
Anak itu terus merapalkan nama sang adik dengan suara beratnya yang parau, masih menatap kosong pada ketiadaan seakan tengah bermimpi dengan mata terjaga. Saat sebulir air mata mengalir dari pelupuk matanya yang sayu, Jaehyun kembali menangis.
"Apakah kau ingin bersama dengan Jungkook?"
Tak ada jawaban.
Mata Taehyung terus mengalirkan cairan bening itu. Beberapa kali ia kembali memanggil Jungkook seolah merasa begitu kehilangan dan sangat merindukannya. Apa kini Taehyung sudah bersikap lebih jujur pada dirinya sendiri?
***
Setelah mendapatkan telepon dari ayah angkatnya, Jungkook langsung bergegas pulang. Ini hal penting mengenai Taehyung dan bagaimanapun pria itu selalu menjadi prioritasnya. Sesampainya di rumah, Jungkook menemukan sang ayah tampak duduk di kursi ruang tengah dengan raut berduka. Ia tak melakukan apapun, hanya menunduk penuh kesedihan. Jungkook tak mengerti mengapa ayahnya sampai begini hanya karena kakaknya kembali sakit. Taehyung jatuh sakit itu sudah seperti suatu hal yang lumrah, karena itu rasanya tidak wajar jika sikapnya tampak sedikit berlebihan seperti sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Disorder [KookV/ KookTae] - COMPLETE
Fiksi PenggemarKim Taehyung - remaja berusia 18 tahun, terkungkung dalam dunia kecilnya, pengidap penyakit langka hemofilia, selalu dalam ketakutan akan hal-hal yang dapat melukai fisiknya. Jeon Jungkook - remaja berusia 16 tahun, korban kekerasan fisik dan seksua...