Apakah kau percaya takdir?
Sesosok pemuda berambut cokelat gelap dengan iris mata kecil sewarna batu bara tengah duduk di suatu ruang tamu. Ia tertuduk ke bawah, ditatapnya sepasang tangan maskulin berkulit sewarna madu. Jari-jarinya secara bergantian mengepal dan membuka dengan resah. Batinnya dipenuhi pikiran-pikiran negatif yang merisaukannya. Ia lelah, tetapi tertahan dalam angannya. Seribu detik berlalu pun tak jua menggerakkannya dari sana. Dengan waspada ia melirik kanan-kirinya, seolah khawatir jika ada seseorang yang muncul menghardiknya dan mengetawai kesendiriannya. Bagi orang lain, ini sungguh terdengar berlebihan, tetapi tidak baginya.
Pemuda itu menarik nafas panjang. Ia menggerakkan tangan rapuhnya pada secangkir teh di hadapannya. Di tatapnya lekat-lekat cangkir itu sebelum akhirnya ia menautkan jemarinya pada pegangan cangkir dan mengangkat benda yang seharusnya tak begitu berat itu. Berulang kali ia mengingatkan dirinya sendiri betapa berbahayanya benda itu. Air teh yang panas itu bisa saja tumpah mengenai kulitnya; cangkir antik itu bisa saja jatuh, pecah, dan serpihan keramiknya menggores kulitnya; teh yang akan ia minum itu pun bisa aja membuatnya tersedak. Pemuda itu sungguh tak bisa membayangkan jika hal itu sampai terjadi. Ia yakin obat miliknya sudah aman dalam saku kemejanya, tetapi ketakutan akan terluka itu terus menghantuinya setiap saat, menimbulkan depresi tak berujung, hingga membuatnya merasa ingin mati saja. Bagaimana mungkin ia lebih takut terluka daripada mati?
Pemuda bersurai walnut itu akhirnya memutuskan untuk meminum isi cangkirnya. Dengan perlahan ia mendekatkan tepi cangkir pada bibirnya dan merasakan suhu cairan di dalamnya. Tehnya tidak terlalu panas, ia sedikit bersyukur. Ia menegak teh itu perlahan, seperti seorang putri raja yang penuh tata krama. Namun pada kenyataannya, apa yang terpikirkan oleh remaja itu dan orang lain jelas berbeda. Remaja itu selalu bertarung melawan ketakutannya akan banyak hal yang berpotensi melukainya, maka ia selalu berhati-hati dan pelan-pelan. Baginya, goresan luka yang teramat kecil bisa membuatnya mati kapan saja.
Saat mendengar derap langkah kaki menghampirinya dari kejauhan, pemuda itu meletakkan cangkirnya kembali ke meja. Ia menoleh ke arah suara itu berasal, tampak seorang pria paruh baya dan seorang pemuda lain dengan kulit bersih berona putih gading dan rambut hitam pekat. Pemuda itu mengalihkan matanya secara terang-terangan, tidak memberi salam atau sekedar anggukan pada pemuda lain yang tengah menikmati tehnya itu.
"Taehyung-ssi, mulai hari ini dia akan menjadi saudaramu. Baik-baiklah dengannya." ujar pria paruh baya itu. Pria Itu memposisikan diri di belakang pemuda yang baru saja dibawanya, merengkuh kedua pundak bidangnya secara tiba-tiba dan membuat pemuda itu bergidik tak nyaman. Di mata pemuda yang ternyata bernama Taehyung itu, pemuda di hadapannya terlihat seperti ingin menangis. Ekspresi mukanya yang kusut menguarkan kegelisahan. "Namanya Jeon Jungkook, dia adalah anak sepupu jauhku."
Pemuda berambut walnut itu beranjak dari kursi. Dengan perlahan, ia berjalan menghampiri keduanya dan mengulurkan tangan pada pemuda yang baru saja ditemuinya itu.
"Hai Jungkook-ssi, namaku Kim Taehyung, aku 18 tahun." sapanya, mencoba beramah-tamah dengan orang yang akan menjadi saudaranya itu.
Pemuda itu tetap terdiam, ekspresinya terlihat semakin kalut. Ia bergantian menatap pemuda itu dengan intens disertai ekspresi kekhawatiran dan kecurigaan, serta ke penjuru lain seperti tangannya yang terulur, lantai, meja, atau benda apapun di ruangan itu.
Beberapa detik berlalu, Taehyung belum juga mendapatkan respon dari lawan bicaranya.
"Apa kau tuli? Atau bisu?" tanyanya frontal.
"Taehyung-ssi!" sentak sang pria paruh baya. "Kau tidak boleh berbicara seperti itu. Ia normal dan sehat."
"Ah," Taehyung kembali mengamati pemuda di hadapannya yang kini mulai berkeringat. Mungkin bentakan pria itu begitu mengagetkannya, meningkatkan intensitas pacu jantungnya, dan membuatnya makin kalut. Asumsi Taehyung tampaknya tidak sepenuhnya salah. Anak penakut itu perlahan menegak air liurnya sendiri, kemudian memberanikan diri untuk menatapnya lebih lama, lebih dari 3 detik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Disorder [KookV/ KookTae] - COMPLETE
FanfictionKim Taehyung - remaja berusia 18 tahun, terkungkung dalam dunia kecilnya, pengidap penyakit langka hemofilia, selalu dalam ketakutan akan hal-hal yang dapat melukai fisiknya. Jeon Jungkook - remaja berusia 16 tahun, korban kekerasan fisik dan seksua...