Tetangga masa kecil

2.1K 41 4
                                    

Tiga belas tahun yang lalu

(Things that were)

Laras melotot pada buku di hadapannya; menekuni berbagai macam angka yang tersusun dan tersambung sedemikian rupa, membentuk sebuah rumus rumit matematika yang sudah MATI-MATIAN coba ia pecahkan sejak tadi. Ia duduk di depan kaki sofa. Kakinya bersila, tangannya menggenggam keras sebuah pensil yang tinggal setengah panjangnya.

"Sudah hampir satu jam dan kau baru menyelesaikan satu soal, salah pula. Kenapa kau ini bodoh sekali sih!"

Mata Laras mulai berkaca-kaca. Di hadapannya, duduk Vino –tetangga sekaligus guru les dadakannya- yang sejak tadi memelototi dan mengomelinya tanpa henti.  Soal matematika yang dibuat secara khusus oleh pemuda galak itu, yang harus diselesaikannya dalam waktu satu jam.

"Aku tak bisa mengerjakannya, soalnya terlalu sulit Vino," keluhnya sambil sedikit terisak.

Vino mengerling ganas. "Apanya yang sulit? Aku saja saat kelas empat sepertimu bisa menyelesaikan yang lebih sulit dari itu."

"Itukan kau." Laras bersungut-sungut. Ia menutup buku pelajarannya dan memasukkan alat-alat tulisnya ke dalam tas, lalu berdiri menantang walau sebenarnya air mata yang mengalir deras di pipi, membuat pemberontakkan kecilnya ini terlihat tak meyakinkan.

Vino memicingkan kedua matanya. Ikut berdiri juga di hadapan bocah yang sedang sesenggukkan itu.

"Aku tak mau lagi di ajari olehmu. Hiks, kau menyebalkan!" Laras menyeret tasnya keluar dari ruangan itu, dari rumah tersebut. Ia keluar dan berjalan menuju rumah lain yang hanya dibatasi jalanan seukuran satu mobil di antaranya. Sebelum masuk ke rumahnya sendiri, ia berbalik dan menatap kesal pada Vino yang menatapnya datar, sedang bersandar di daun pintu dengan kedua tangan yang berada di dalam saku celana.

Dengan kesal Laras membuang muka dan masuk ke dalam rumah sambil membanting pintu di belakangnya, membuat ia mendapat semprotan omelan lain dari ibunya sendiri.

.

.

.

(Things that were)

Vino menyusuri jalanan di hadapannya dengan niat setengah hati; menginjak-injak keras ranting kering yang terserak disepanjang jalan menuju sebuah villa indah –menurut-orang-tuanya-dan-ia-sama-sekali-tidak-percaya. Mana ada villa indah di tengah hutan begini. Paling ada juga rumah pohon tanpa tembok atau paling buruk hewan liar pemakan daging. Hii. Memikirkannya saja membuat ia bergidik ngeri.

Ia melirik ke belakang.

Laras, gadis cengeng itu kelihatannya tenang-tenang saja, malah sejak tadi tersenyum senang dan menatap takjub sepanjang perjalanan. T-shirt kuning lemonnya tampak membaur dengan warna hutan yang hijau serta dedaunan kuning yang tampak akan mulai layu. Celana selututnya berbahan jeans lembut, sedikit tercoreng disana-sini karena gadis itu mengelapkan telapak tangannya yang kotor diakibatkan sentuhannya pada setiap pohon yang dilewatinya.

Lalu Laras menatap ke arahnya dan menyipitkan mata.

Tinggi Laras yang hanya mencapai bahunya membuat Vino merasa hebat dan mengintimidasi. Setidaknya Laras harus mendongak karena jarak mereka yang terpaut dekat. Langkah dan obrolan para orang tua masih jauh tertinggal di belakang mereka.

"Apa?" tantang Laras

Vino mendengus keras. "Aku menunggu para orang tua."

Laras mendengus keras, ia meniru dengusan bocah laki-laki yang lebih tua dua tahun darinya itu.

"Bilang saja kau takut harimau, ya 'kan?"

"Mana ada harimau disini, bocah." Walau di dalam hati ia was-was juga.

"Tentu saja ada, tadi saja aku melihat ayam!"

Vino mengangkat sebelah alisnya.

"Tentu saja, ayam dan bukannya harimau." Vino tertawa mengejek. "Bodoh."

"Biar, daripada kau, penakut."

"Lebih baik penakut daripada bodoh," balas Vino

"Hei hei kalian bertengkar lagi?" Ayahnya memutus perdebatan mereka. Di belakangnya Ibunya dan orang tua Laras menggeleng, agak aneh dengan perilaku kedua bocah itu yang akhir-akhir ini seringkali bertengkar. Padahal sebelumnya mereka tampak akur dan cukup dekat.

Vino dan Laras membuang muka. Kembali berjalan sambil bersungut-sungut kesal.

"Pindah? Kita pindah, bu? Lagi?"

Laras menghela napas.

Sekarang ia sedang duduk di teras rumahnya sambil menatap jendela di rumah seberang jalan. Vino jarang terlihat akhir-akhir ini. Tinggal setengah semester lagi cowok itu akan lulus dari elementary. Bisa dipastikan sekarang Vino pasti sedang belajar di kamarnya, membaca bermacam-macam buku pelajaran yang sebenarnya sudah ia hafal sepenuhnya.

"Huh menyebalkan."

Laras teringat percakapannya dengan ibunya tadi malam. Mereka akan pindah, seminggu lagi. Itu artinya sekolahnya selanjutnya akan menjadi elementary yang ketiga. Memikirkannya saja membuat ia meringis. Sekolah baru, teman baru, menjadi anak baru lagi. Proses yang hampir membuatnya terbiasa namun tetap terasa menakutkan.

Ia masih memandangi jendela rumah Vino. Tak bersiap memalingkan muka ketika pintu di sebelah jendela tersebut dibuka. Vino keluar dari pintu tersebut dan berjalan mendekatinya.

"Kenapa lihat-lihat jendelaku terus?" semprot Vino begitu sudah dekat.

Laras memasang tatapan bermusuhan. Sebenarnya agak salah tingkah karena ketahuan memandangi rumah orang.

"Aku tidak melihat ke jendelamu!" bantahnya.

"Jangan bohong," kata Vino. "Aku bisa melihatmu dengan jelas dari dalam kamar."

"Huh, terserah aku dong, mataku juga."

Vino memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Gaya biasa ketika ia mulai kesal.

"Kau tidak punya kerjaan lain apa?"

"Tidak ada, kenapa?"

"Belajar dong, bodoh."

"Tidak mau. Aku tidak mau jadi sepertimu. Membosankan dan menyebalkan."

Vino berkacak pinggang sekarang.

"Kau," geramnya

"Aku akan pindah sebentar lagi. Syukurlah, tak perlu mendengar omelanmu lagi."

Vino terdiam mendengar perkataan Laras. Tidak percaya dan jelas sangat kaget.

"Pindah?"

"Hum."

Vino menggeleng, lalu tersenyum. Jika orang dewasa pasti mengerti ada kesedihan dan kehilangan dalam senyum itu. Tapi Laras masih sebelas tahun. Ia tak dapat memahami ekspresi sedalam itu. Yang ia tahu Vino  terlihat gembira akan berita kepindahannya.

"Kau akan pindah? Pindah saja sana."

"Tentu. Aku akan pindah jauh." Laras berlari ke dalam rumah.

Tak menyadari Vino yang masih berdiri mematung di depan rumahnya untuk beberapa saat sebelum berjalan kembali ke rumahnya sendiri di seberang jalan.

Itu adalah pertemuan terakhir mereka sebelum saling menghindar dan kepindahan keluarga Laras. Perpisahan dua keluarga yang akrab menjadi kenangan yang tak ingin diingat lagi oleh keduanya.

.

.

.

Sejauh apapun, asalkan masih berada di langit yang sama. Pertemuan bukanlah sesuatu hal yang mustahil terjadi.

.

.

.

Walau butuh waktu lama bagi mereka untuk bertemu kembali.

.

.

.

Tiga belas tahun kemudian.

TBC-_-

Siapa Takut Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang