Tiga belas tahun kemudian.
(Things that are)
"Wow kau keren, setahun! hanya setahun. Demi Tuhan!"
Laras mematut diri di depan cermin, memandang pantulan dirinya dari bawah ke atas. Sepatu kets putih, celana jeans hitam panjang, kemeja katun polos berwarna biru dongker dilapisi jaket berwarna senada. Panjang dan tebal.
"Kubilang juga apa. Kau akan segera dipindahkan ke kantor pusat begitu kasus kebakaran besar kemarin terungkap." Di belakang Laras, Dara terus saja mengoceh.
"Setahun itu lama."
Dara mendengus.
"Lama menurutmu! Reporter lain butuh lebih dari dua tahun agar bisa ditempatkan di kantor pusat tahu."
Laras tersenyum bangga, "Benarkah?"
"Kubilang begitu baru kau senyum."
"Entahlah Dara. Aku merasa agak tak percaya diri," ungkap Laras sembari duduk di atas kasur yang ada di ruangan itu, berhadapan langsung pada Dara.
"Pindah tak seburuk itu kok."
Laras terkekeh. Pindah ya. Dara tidak tahu saja kalau hal seperti itu sudah seperti makanan sehari-harinya.
"Bukan pindahnya yang aku takutkan."
"Lantas?"
"Entahlah, aku juga tak tahu." Laras nyengir, menggaruk lehernya yang sama sekali tidak gatal.
"Dasar kau! Kalau takut pindah saja ke Report Selebrity."
Laras berjengit.
"Hah? Tidak ah. Sama sekali tidak menarik. Tidak keren."
"Jadi maksudmu aku tidak keren?"
Dara melingkarkan salah satu lengannya di seputar leher Laras, pura-pura mencekik. Laras tertawa sambil berusaha melepaskan diri, atau balas mencekik saat gagal melakukannya.
Mereka masih asik saja saling merangkul dan tertawa-tawa ketika suara ponsel membuat mereka siaga dan serta merta berdiri. Dua tahun pengalaman Dara sebagai reporter selebriti dan satu tahun pengalaman Laras sebagai salah satu reporter training berita lokal membuat suara ponsel selalu terasa penting.
"Punyaku," kekeh Laras sambil mengangkat ponselnya tinggi-tinggi.
Alarm nya yang tadi berbunyi. Sudah waktunya ia pergi ke kantor barunya dan bertemu rekan baru yang semoga saja sama asiknya dengan rekan lamanya di kantor cabang.
.
.
.
(Thing that are)
Ruangan itu tampak bersih terawat, luas dan dengan tepat menggambarkan jabatan penghuninya. Di atas meja di belakang jendela kaca berbingkai cokelat alami, tertata tepat di tengah-tengah meja bagian depan, sebuah plat nama terbuat dari kaca seberat satu kilogram
VINO
Criminal Division Chief
Di bangku tinggi berwarna merah gelap, tepat di belakang meja tersebut, Vino duduk dengan aura ketegasan yang menyeruak. Ekspresinya angkuh layaknya kaum aristokrat yang menempuh pendidikan tinggi–paling tinggi dari yang bisa kau capai dan bayangkan di posisinya.
Semua orang takjub sekaligus iri. Bagaimana mungkin di usianya yang baru menginjak dua puluh enam tahun Vino dapat menduduki jabatan setinggi itu? Dihormati seperti itu? Disegani bahkan oleh rekan yang lebih tua dan senior daripada dirinya. Tapi tak ada yang meragukan kecerdasannya. Otaknya yang cemerlang dalam memecahkan kasus apapun yang ia dapat tanpa keluhan membuatnya mendapat promosi jabatan setiap tahun. Dan dalam kurun waktu lima tahun, ia dapat membuktikan bahwa ialah yang paling layak berada di ruangan ini.
Vino tampak sedang meneliti beberapa kasus yang diajukan oleh timnya. Setidaknya ada tiga kasus pembunuhan yang memiliki ciri khas sama, begitu catatan yang didapat tim. Mereka pasti sedang menunggu persetujuannya sebelum memulai penyelidikkan lebih lanjut. Jadi ia keluar dari ruangan dan berjalan sendiri ke ruangan direktur.
"Masuk."
Suara dari dalam mempersilahkannya begitu ia selesai mengetuk pintu, ketukan khas yang hanya diketahui sedikit orang. Dan atasannya itu salah satu dari sedikit orang tersebut.
"Chief, saya membutuhkan tanda tangan anda dalam kasus ini," ujarnya to the point sedetik setelah ia duduk di hadapan sang atasan.
"Tegas seperti biasa." Direktur kepolisian pusat itu menaikan sebelah alisnya seraya membaca dokumen yang tadi ia bawa. Tak butuh waktu lama hingga tanda tangan orang nomor satu di kepolisian Jakarta itu terpampang di dokumen tadi.
"Kau berencana untuk turun ke lapangan ya?"
Vino tersenyum tipis, dan senyum itu hilang dalam hitungan detik digantikan ekspresi datar seperti biasa. Seolah tak pernah ada senyuman di bibir itu beberapa detik sebelumnya.
"Bukankah saya sudah pernah mengatakan? promosi itu terlalu cepat, chief."
"Tak ada lagi yang lebih pantas. Kepolisian membutuhkan otak cerdasmu itu."
Vino menahan diri untuk tidak mendengus.
"Lagipula ini usahaku agar kau tak termakan rayuan satuan khusus GUCI," tambah sang atasan. Vino bertaruh itulah alasan sebenarnya atasannya ini memberikan promosi padanya. Jika saja ia tak terlalu menghormati pria di hadapannya ini, ia pasti akan uring-uringan sepanjang waktu.
"Saya bahkan tak mempertimbangkannya."
"Senang mendengarnya." Direkturnya- Galang Bimo–itu tersenyum semakin lebar.
Vino berdiri dan membungkuk, tak peduli bahwa atasannya sama sekali belum mempersilahkannya keluar.
"Saya permisi. Sepertinya tim sedang menunggu."
"Jangan canggung begitu," kata Bimo. "Bukan gayamu untuk bertindak rendah hati. Mereka timmu."
Vino membungkuk sekali lagi, dan benar-benar keluar dari ruangan itu kali ini.
TBC OR STOP
Minta Votenya dan Comment nya boleh??
KAMU SEDANG MEMBACA
Siapa Takut Jatuh Cinta
Fiksi PenggemarMereka bertemu setelah 13 tahun berlalu. Vino dan Laras dengan dua karakter yang berbeda mencoba membangun cinta di lubuk hati masing-masing.