"Laras, kembali ke sini." Sial. Sialan Vino dan suaranya yang mengintimidasi. Laras kembali berbalik dan–dia mengumpat dalam hati-mengikuti perintah Vino, walau dengan raut wajah bangkang dan mata berkilat yang menunjukkan kekeraskepalaannya.
Laras berhenti di hadapan pria itu, berdiri di samping dua detektif muda yang sudah berani memasang ekspresi heran mereka sekarang. Panggilan nama kecil Laras , yang keluar dari mulut Vino tentu menjadi suatu hal yang cukup mudah untuk dijadikan pusat perhatian.
"Ada yang bisa saya bantu, capt?" tanya Laras dengan suara yang disopan-sopankan. Mata Vino menyipit tidak suka.
"Simpan dulu berita yang baru kau dapatkan tadi," kata Vino dengan nada memerintah. Laras balas menyipitkan mata, tidak mau terlihat gentar dan takut. Dia bukan bawahan Vino. Dia tak bekerja sesuai arahan pria itu. Ya, untuk apa dia merasa takut. Vino boleh berbicara sesadis apapun yang dia mau, tapi Laras akan tetap mendapatkan beritanya.
"Tidak mungkin. Kalau bukan aku maka reporter lain yang akan mendapatkannya," lawan Laras.
"Laras." Nada bicara Vino saat menyebut namanya terdengar sangat menjengkelkan. Pria itu seperti sedang berbicara dengan anak kecil yang baru saja berbuat kenakalan. Laras menaikan dagunya dengan menantang. Puncak kepalanya boleh hanya mencapai bahu pria itu, tapi keberaniannya jauh melebihi semua orang. Laras keras kepala, dan dia selalu senang dengan kenyataan itu. Dia bangga pada dirinya sendiri.
"Aku bilang tidak. Aku seorang reporter, Vino. Aku memberitahu dunia, bukan menutupi dari dunia." Dua detektif di sebelah Laras menarik napas keras. Menonton seseorang secara langsung melawan atasan mereka yang biasanya tak bisa dilawan adalah hal menarik di sela-sela waktu kerja mereka melelahkan.
"Ini masih menjadi rahasia kepolisian," kata Vino dengan suara dan aura yang lebih tegas. Pria itu kesal, dan Vino tahu dialah objek kekesalan Alvino Adyjaya saat ini.
"Tidak lagi. Berita semacam ini penting untuk diberitahukan pada semua orang." Laras melirik agenda kecilnya yang menyembul di saku jas seragam Vino. "Semua orang harus tahu jika ada seorang pembunuh berantai di luar sana, di tengah-tengah mereka. Mereka harus tahu Vino, agar mereka lebih berhati-hati."
Vino mendongakkan kepalanya, memberi pelototan garang pada langit-langit ruangan yang tidak bersalah. Jika mata kelam itu punya laser, langit-langit itu pasti sudah berlubang sekarang, pikir Laras lalu ikut mendongak. Dia tak sadar bahwa mata Vino telah beralih padanya, tepatnya pada lehernya yang dilingkari sebuah kalung hitam yang terbuat dari jalinan sulur-sulur tali kecil.
Laras berjengit mundur saat tangan Vino menyentuh lehernya.
"Apa yang ingin kau lakukan padaku?" sentak Laras kesal. "Kau ingin mencekikku karena membuatmu kesal ya?"
Vino mendengus. Tatapannya beralih pada dua detektif muda yang masih berdiri di tempat semula, memandang tertarik pada interaksi mereka. Satu tatapan memperingatkan dan dua detektif itu mengangguk hormat lalu berjalan menjauh terburu-buru, meninggalkan Laras dengan pria yang paling wajib ia waspadai saat ini.
Perhatian Vino kembali padanya, pada kalung yang melingkar di lehernya.
"Kalung itu ... ,"
"Aku memakainya karena ini bagus, bukan karena kau yang membuatkannya," potong Laras Tangannya terangkat, jemarinya menggenggam untaian kalung itu.
Alis Vino terangkat sebelah. "Kukira itu sudah ketinggalan zaman," katanya heran.
"Aku tak peduli. Jangan bilang kau ingin memintanya kembali?" Mata Laras menyipit curiga.
Vino mendengus. Lagi. "Apa aku terlihat seperti lelaki yang suka memakai perhiasan?" tanyanya dengan nada mengejek.
"Siapa tahu." Laras mengangkat bahu. "Wajahmu bahkan lebih cantik dari semua perempuan yang pernah aku temui."

KAMU SEDANG MEMBACA
Siapa Takut Jatuh Cinta
ФанфикMereka bertemu setelah 13 tahun berlalu. Vino dan Laras dengan dua karakter yang berbeda mencoba membangun cinta di lubuk hati masing-masing.