Waktu bisa mengubah penampilan seseorang. Namun sepertinya hal tersebut tak berlaku bagi pria itu. Ya, pria. Jika Laras tak salah menghitung, pria itu pasti sudah berumur genap dua puluh enam tahun tanggal dua puluh tiga Juli, empat bulan yang lalu. Ia yakin. Seyakin ia mengingat ulang tahunnya sendiri.
Aura tegas yang sejak dulu pria itu miliki tampaknya semakin terasah. Seragam hitam kepolisian dengan sejumlah lambang membuktikan tingkatan jabatan yang ia miliki.
Laras menyipitkan mata ketika beberapa detektif yang sedang ia tanyai membungkuk hormat ketika pria itu datang.
"Surat persetujuan sudah turun. Mulai penyelidikan secepat mungkin. Aku sudah menunjuk tim detektif Umino dalam kasus Ini."
Laras mencatat pada note kecilnya, melingkari dan menebalkan kata Kasus baru secara diam-diam. Tampaknya para detektif telah melupakan keberadaannya.
"Baik, Capt," seru orang yang di duga Laras sebagai detektif Umino yang dimaksud.
"Siapa saja tim yang kau tunjuk Umino?" tanya Pria itu lagi. Tegas. Tanpa senyum
Catat. Vino tampaknya semakin menyebalkan sekarang, pikir Laras sinis
"Saya sendiri dan empat orang di sini, ditambah dua IT."
Laras menelan ludah ketika tatapan Vino menelisik orang-orang yang dimaksud, begitu teliti, hingga tatapan itu berhenti pada dirinya. Lama. Para detektif baru sadar ia masih berada di sana sejak tadi.
Laras tak tahu harus bersorak gembira atau sakit hati ketika Vino dengan acuh seolah mengabaikannya. Jadi di dalam hati, ia memilih jalan tengah. Tidak peduli menjadi pilihannya. Lagipula ia sudah membuang jauh-jauh rasa malu ketika ia memutuskan memilih profesi ini; selagi tak ada yang mencoba membuka pakaiannya. Seorang reporter harus tebal muka untuk mendapatkan berita yang bagus. Itulah prinsip yang selalu ia pegang hingga saat ini.
"Kau, keruanganku sekarang."
"Tapi capt, dia seorang reporter. Bukan bagian dari kepolisian."
Laras baru sadar kalau dirinyalah yang dimaksud. Matanya menatap Vino penuh tanda tanya. Pria itu mengenalinya. Tapi apa pentingnya itu sekarang? Dia tak punya waktu untuk menemui tetangga masa kecil. Pekerjaannya masih banyak. Dua jam lagi ia harus memberi laporan rinci mengenai berita terhangat apapun yang bisa ia dapat jika tidak ingin di omel atasannya yang memiliki segudang kosakata unik tak berujung.
Laras mengangguk, walau tak mengerti kenapa ia melakukannya. Di ujung ruangan, rekan barunya Reza yang sedang menanyai tim lain menatap takjub sekaligus was-was. Yah, tak setiap hari seorang reporter dipanggil oleh orang penting di kepolisian.
Vino tampaknya jarang sekali menerima bantahan. Berjalan tegas menuju ruangan tempat ia keluar tadi tanpa menoleh sekalipun, yakin sekali bahwa Laras akan mengikutinya dan memang begitulah yang terjadi.
"Ada yang ingin anda tanyakan pada saya, capt?" tanya Laras segera setelah ia menutup pintu.
Vino berbalik, berdiri sambil bersandar pada meja kerjanya dan menyilangkan lengan di depan dada. Menatap datar Laras untuk beberapa saat yang tenang dan penuh tanda tanya.
"Jadi kau kembali."
Laras menghela napas, entah kenapa merasa gusar sendiri.
"Sudah sejak lama," jawabnya kemudian.
Vino mengangguk. Diam lagi. Laras menopangkan berat badannya di sebelah kaki. Berganti antara kiri dan kanan setiap menit yang dihabiskan pria itu untuk berdiam diri.
"Bagaimana kabar Paman dan bibi?"
"Baik, dan orang tuamu?" Basa-basi. Padahal orang tua mereka selalu saling mengabarkan.
"Mereka sehat."
Laras tersenyum canggung. "Syukurlah kalau begitu."
Diam lagi.
"Reporter? Apa kau tak punya pilihan lain?"
"Jangan menghina. Reporter adalah pilihan."
Vino mengangkat bahunya, tampak lebih santai di banding tadi. Senyum miring tercetak jelas di bibirnya.
"Jadi si Bocah cengeng menjadi seorang reporter, untuk berapa lama?"
Laras mendengus jauh dari kata anggun, berpikir untuk meninggalkan ruangan ini sekarang juga jika saja tidak memikirkan sopan santun lagi.
"Aku tidak cengeng, tidak saat berhadapan dengan orang selain kau."
Vino mendengus.
"Jadi hanya cengeng dihadapanku ya?"
"Karena kau menyebalkan? Ya, tentu."
Laras berjalan mendekat, berhenti tepat satu langkah di hadapan Laras, berdiri menjulang. Lebih parah dari dulu ketika mereka masih kecil.
"Apa kau tak pernah bertambah tinggi?" Vino sepertinya mengukur sama seperti yang Laras lakukan. Tinggi mereka terpaut jauh. Puncak kepala Laras hanya mencapai dada pria itu.
"Terus saja bicara, raksasa," rutuk Laras.
Vino terkekeh, menurunkan kepalanya, mensejajari tingginya dengan Laras. Membuat Laras mengumpat dalam hati karena merasa berdebar-debar dan salah tingkah.
"Masih tidak sopan seperti dulu, bocah pendek."
Laras menatap ke arah lain, berpura-pura marah, berpura-pura melihat jam tangan, berpura-pura melakukan apapun untuk menyamarkan kegugupannya.
"Jika tak ada lagi yang ingin dibicarakan Vino, aku masih banyak pekerjaan."
Vino menampilkan satu senyum terakhir lalu kembali berdiri tegak. Ketegasannya kembali dalam hitungan detik.
Dasar kepribadian ganda, rutuk Laras dalam hati.
Need follower & Readers setia

KAMU SEDANG MEMBACA
Siapa Takut Jatuh Cinta
FanfictionMereka bertemu setelah 13 tahun berlalu. Vino dan Laras dengan dua karakter yang berbeda mencoba membangun cinta di lubuk hati masing-masing.