Kelamaan

309 9 3
                                    

"Kau tinggal dimana?" Vino bertanya seolah itu haknya untuk tahu hal tersebut.

"Di sini." Laras  menjawab sekenanya.

Senyuman pria itu kembali.

"Di sini? Di ruangan ini?"

"Di kantor ini," koreksi Laras.

Vino mengangguk. "Sudah kuduga, kau masih training ya?"

"Aku baru saja ditarik dari kantor cabang."

"Ah." Vino mengusap dagunya. "Baru jadi pegawai tetap."

"Yeah."

Lagi-lagi diam.

"Apalagi? kau bilang kau sedang banyak pekerjaan. Kenapa masih disini?"

Laras menggigit bibirnya sambil menyipitkan mata

"Kau menjengkelkan," gerutunya sebelum meninggalkan ruangan tersebut.

.

.

.

Laras merasa harusnya hari ini menjadi hari paling sempurna baginya. Rekan barunya menyenangkan. Atasannya mungkin tak pernah menjadi orang pendiam, tapi jelas sangat memerhatikan reporter amatir seperti mereka. Ruangan reporter di kepolisian cukup luas dibanding di kantor polisi cabang. Walau tak pernah senyaman flat sewaannya bersama Dara dan Sonya.

Dan yang membuatnya senang adalah pujian yang ia dapat karena berita tentang kasus pembunuhan berantai yang secara eksklusif diberikan langsung oleh salah satu detektif muda yang tampan, salah satu dari tim detektif Umino. Sedikit miris juga. Berita duka malah seolah menjadi hal yang membuatnya mendapat pujian atasan. Tapi ia akan mencari terus berita satu ini sampai tuntas, sampai pelakunya tertangkap dan diberi hukuman setimpal.

Ya, seharusnya hari ini menjadi hari yang istimewa. Jika saja pertemuannya dengan Vino tidak membuat emosinya naik turun sepanjang hari, dan orang-orang tidak terlalu penasaran akan pembicaraannya dengan salah satu orang penting yang terkenal tegas dan pelit senyum itu. Vino biasanya tak terlalu banyak bicara, kata mereka.

Bah!

Seandainya mereka tahu betapa cerewetnya orang itu.

Laras mengetik laporan tentang wawancaranya dengan tiga keluarga korban pembunuhan. Belum menemukan kesamaan apapun selain bahwa ketiganya adalah seorang wanita, umur acak, rambut sepertinya tak menjadi suatu tanda. Laras  sudah banyak menonton dan membaca novel detektif. Biasanya pembunuh berantai semacam ini memiliki sesuatu, sesuatu yang ia jadikan patokan dalam memilih korbannya.

Tapi ia tak menemukan satu tanda pun, belum.

"Langsung serius di berita pertama heh?" Reza meletakkan satu cup kopi hangat di atas meja. Ia sendiri sedang meminum kopi miliknya.

Laras menunggu sebentar, dan meneguk isinya banyak-banyak setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih.

"Kau sendiri sibuk mendengar ulang wawancara kita tadi."

Kiba meringis, menjatuhkan dirinya pada futon di seberang meja Laras. Ruangan cukup lenggang saat ini. Sebagian besar reporter sedang mengejar berita, membuat keributan di kantor kepolisian ini.

"Itu keji sekali kau tahu. Seseorang tidak seharusnya meninggal dengan cara seperti itu," ujar Reza sedikit emosional

"Aku tahu. Kurasa tak ada salahnya membantu para detektif mencari petunjuk apapun di samping tugas kita untuk memberitahu dunia."

Reza mengangguk setuju sebelum memejamkan mata untuk sejenak mengistirahatkan diri –Laras memijat dahinya–tapi ia akan tidur nanti, bergantian dengan Reza agar saat atasannya menelepon, ada salah satu di antara mereka yang tetap siaga.

.

.

.

Bab 2.

Laras tersentak mengangkat kepala seketika saat meja yang tadi ia gunakan untuk bersandar sedikit bergeser. Seorang reporter dari stasiun televisi lain tampak baru saja berdiri dan meminta maaf padanya. Laras tak ingin memperpanjang masalah hanya gara-gara salah satu orang dalam ruangan tersandung meja dan mengejutkannya. Ia malah bersyukur, karena berkat orang tersebut ia jadi terbangun.

Laras  merasakan berat di bahunya. Reza entah kapan telah menyelimutinya dengan jaket. Laras  terharu dengan perhatian kecil yang ia dapat dari rekannya tersebut. Ia tersenyum sambil menutup laptop dan memasukkannya ke dalam ransel lalu mengaitkannya di kedua bahu, memutuskan untuk mencari rekannya yang pasti sedang berjalan kesana-kemari mengganggu para petugas polisi agar memberikan mereka berita lainnya.

Butuh beberapa saat bagi Laras mencari dan menyimpulkan bahwa rekannya itu tak ditemukan di manapun di kantor ini. Laras menjadi sedikit khawatir. Fakta bahwa ia ketiduran lebih dari satu jam membuat ia merasa telah menghabiskan waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk mencari berita. Untung saja laporan sudah sempat ia kirim melalui email. Kalau tidak entah apa yang akan terjadi.

Ia berjalan cepat menuju tangga, hampir seperti berlari. Segera menghentikan langkah begitu mendapati dua dari empat detektif bawahan Umino sedang berbicara pelan di ujung tangga. Laras  menunduk, menyembunyikan tubuhnya di belokan tangga dan mencoba menajamkan pendengarannya.

"Aku tak percaya, kita bahkan belum menemukan titik terang pada tiga pembunuhan sebelumnya. Dan sekarang, sudah jatuh korban lagi." Laras mengeluarkan agenda kecilnya dan mulai mencatat.

"Entahlah, kau dengar kata kepala tim Umino tadi? kalau kita tak juga mendapatkan hasil apa-apa sebelum akhir hari ini, kepala divisi kita yang dingin itu akan ikut serta dalam penyelidikan. Semua orang tahu betapa menakutkannya Vino Bramasta."

Laras mengerutkan dahi setelah mendengar nama Vino disebut-sebut. Ia membaca kembali agenda di tangannya; hanya ada sedikit informasi yang ia dapatkan, itupun secara sembunyi-sembunyi.

Ia masih membolak-balik buku kecil itu ketika seseorang merebutnya dari arah belakang. Laras melebarkan matanya sedetik setelah berbalik.  Laras sedang membaca catatannya sambil mengangkat sebelah alisnya tinggi-tinggi.

"Dasar reporter. Dimana-mana sama saja," ujar pria itu sembari mengantongi agenda milik Laras ke dalam saku jasnya.

"Kembalikan catatanku Keparat!"

" Tidak."

Laras mengentakkan kaki-kakinya, mengundang perhatian dua orang detektif yang sedang ia mata-matai tadi. Vino dengan acuh berjalan mendahuluinya dan berhenti di ujung tangga, membuat dua detektif muda tadi kaget luar biasa.

"Membicarakan kasus besar di tempat yang sering dilewati orang lain." Mata Vino seolah tampak semakin menajam. Ia menatap satu per satu dua detektif muda yang berdiri serba salah di hadapannya. Laras yang masih berdiri di tempat semula merasa sedikit kasihan pada mereka.

"Apa kalian masih pantas disebut detektif?" Pertanyaan retoris itu terdengar lebih sadis saat keluar dari mulut Vino Bramasta. Larasnbergidik ngeri. Keinginannya untuk mendapatkan kembali catatannya ia kubur dalam-dalam. Dia sebaiknya cepat pergi dari tempat ini sebelum Vino menjadikan dirinya sebagai korban kesadisan mulut pria itu selanjutnya.

Laras berbalik diam-diam, bermaksud kembali ke atas dan mengurungkan niatnya mencari Reza. Ia memutuskan lebih baik kembali ke ruangan dan menelepon atasannya untuk memberitahukan kabar terbaru mengenai kasus pembunuhan berantai tersebut, tentang korban keempat yang mesti ia cari tahu juga identitasnya. Pekerjaan Laras masih banyak. Ia tak mau menambah beban di pundaknya dengan ikut campur dalam urusan orang-orang kepolisian. Apalagi jika sampai berkaitan dengan Vino Adyjaya yang menakutkan. Demi Tuhan, diantara begitu banyak profesi, kenapa pria itu harus menjadi orang kepolisian.

"Laras." Laras berpura-pura tak mendengar suara bernada angkuh itu. Dia naik satu dua tangga sebelum panggilan itu kembali terdengar.

.

.

.

To be Continued

Let me know what you think about this.

Siapa Takut Jatuh CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang