Chapter 1

65 3 1
                                    

REMBULAN malam kembali menyapa Ashaline dengan terpaan anginnya nan lembut. Matanya terpejam, dihirupnya udara dalam-dalam. Lalu, terdengar helaan pelan tanda ia baru saja menghembuskan napasnya.

Gadis pecinta angin itu kembali berkutik dijendela kamarnya dengan sebuah bolpoin dan buku diary kecil. Entah mengapa menulis adalah satu satunya kegemarannya sejak belia. Ia begitu mencintai dunia literary. Gadis pecinta diksi ini mungkin akan dengan mudah ditebak oleh semua orang apa cita-citanya. Namun, jika kalian berpikir bahwa ia ingin menjadi seorang penulis, maka kalian salah besar.

Sejak terlepas dari bangku Sekolah Menengah Pertama, Ashaline tiba-tiba saja memimpikan dunia hukum. Terlintas begitu saja dibenaknya untuk menggeluti dunia tersebut. Pasalnya, saat zaman sekarang hukum sudah tidak lagi terlalu diperhatikan. Bahkan, tak banyak ditemui orang-orang kaya diluar sana dengan mudahnya mengeluarkan beratus ratus juta, hanya untuk terbebas dari hukum.

Bukankah dunia ini sangat membutuhkan generasi muda yang tegas dan berpikir bijak, lagi adil?

Sebelum menari narikan bolpoinnya keatas diary tersebut, Ashaline mendongakkan kepalanya. Diatas sana, ribuan bahkan jutaan bintang terhampar dengan indahnya. Kerlap kerlipnya mampu membuat lengkungan disudut bibir Ashaline.

Sendiri adalah temannya. Dan, ia tak begitu mempermasalahkan semuanya. Karena apa? Baginya, hanya kesendirianlah yang paling mengertinya. Hanya kesendirianlah yang tak pernah meninggalkannya. Seperti halnya orang yang sudah meninggalkannya dulu.

Mengingatnya, hanya akan membuat rasa sesak didadanya. Namun, ia pun tak tahu harus mengobatinya dengan cara apa. Selama ini, Ashaline hanya tahu mencintai, bukan melupakan.

Pintu kamarnya terbuka, menampilkan sosok makhluk ciptaan Tuhan yang paling disukainya. Siapa lagi kalau bukan, Papanya.

Papanya berjalan kearahnya dengan dahi mengernyit.

"Ada apa gerangan anak gadis duduk santai dijendela kamar malam malam, begini?" tanya Papanya lembut.

Papanya mengambil posisi disebelah Ashaline, namun ia memutar tubuhnya agar ia dan anak gadisnya itu berhadapan.

Ashaline terdiam sebentar. Ia menimang, apakah ia harus menceritakan semuanya atau tidak. Tetapi, ia takut dengan respon Papanya nanti. Mengingat, Papanya begitu over protektif akan putri kesayangannya tersebut.

"Hm.. Jadi, tidak ingin bercerita?" tanya Papanya lagi.

Papanya melirik kearah diary kecil miliknya. Seakan memberikan tanda, bahwa ia ingin tahu apa isi dari diary tersebut.

Setelah berpikir, akhirnya gadis dengan rambut sebahu itu menghela napas pelan.

"Tunggu. Jika ingin bercerita dengan Papa, harus membayar dulu!" canda Papanya.

Mau tidak mau ketegangan yang dirasakan Ashaline perlahan memudar. Ia tahu, Papanya itu sangat mengerti akan dirinya. Papanya paling bisa mencairkan suasana dengan leluconnya. Padahal, jika dilihat lihat Papanya itu tak memiliki wajah humoris sama sekali. Tetapi, bukankah seorang Ayah rela bersikap konyol hanya untuk membuat anak gadisnya tertawa? Itulah yang dilakukan oleh Papanya.

"Aku tidak jadi bercerita, ah! Masa harus membayar dulu." ucap Ashaline cemberut.

Ia mengerucutkan bibirnya lucu. Hal itu membuat tawa Papanya terbit. Tangan Papanya terulur untuk mengelus puncak kepalanya. Dan, setiap Papanya melakukan hal itu membuatnya senang dan nyaman. Ia begitu menyayangi Papanya.

"Yasudah, Papa beri diskon. Jadi, tidak perlu membayar." jawab Papanya.

Tawa Ashaline perlahan mereda. Ia memasang wajah seriusnya. Entah mengapa, setiap akan bercerita pada Papanya selalu saja membuat jantungnya berdegub. Ia takut, bahwa nanti Papanya akan marah. Bukan, bukan marah padanya. Tetapi, marah pada dia.

ASHALINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang