KONDISI tubuh Afrian kini sudah mulai membaik. Demamnya pun sudah mulai turun. Hal ini tentu saja membuat Ashaline sudah bisa bernapas lega.
Seharian ini, ia selalu menemani Papanya. Ia mengajak Papanya mengobrol obrolan lucu, serius, horor, serta mereka juga menonton televisi bersama. Seharian ini benar-benar dihabiskan untuk quality time. Meskipun Afrian masih belum diperbolehkan pulang oleh Ashaline, namun mereka masih bisa menonton bersama. Mengobrol bersama, serta tertawa bersama.
Hingga akhirnya, obrolan seru mereka terhenti karena telepon masuk dari sahabat Ashaline, Ayra.
Ashaline meringis pelan. Pasalnya, ia tadi lupa membawa ponsel, jadi ia tak bisa mengabari sahabatnya itu. Dengan cepat, ia menggeser tombol hijau kekanan.
"Assalaamualaikum.."
"...................."
"Baiklah."
".................."
"Waalaikumussalam."
Raut wajah Ashaline berubah seketika. Tentu saja, berbagai pertanyaan muncul dibenak Afrian. Ia yakin, percakapan dengan sipenelepon tadi sangat berpengaruh akan kondisi putrinya saat ini.
Namun, Afrian yang nampaknya mengerti bahwa Ashaline pasti tak ingin membahasnya saat ini. Lagipula, Ashaline akan bercerita dengan sendirinya tanpa harus dipaksa.
"Papa, Asha minta maaf ya, boleh Asha keluar sebentar? Ada hal penting yang ingin Asha bicarakan dengan Ayra." izin Ashaline.
Afrian langsung mengangguk cepat.
Ia menyunggingkan seulas senyum tipis. Ia yakin, anaknya pasti kuat.
Meski ia tak tahu, masalah apa yang tengah dihadapi oleh putri kesayangannya itu.
"Assalaamualaikum."
"Waalaikumussalam. Hati-hati princess."
Dengan langkah gontai, Ashaline berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Jantungnya begitu berdebar. Dan, ada rasa sesak yang membuncah didadanya. Seakan ia ingin mengeluarkan semuanya.
Matanya pun sudah mulai berkaca-kaca. Namun, ia sadar tidak mungkin ia akan menangis saat tengah berjalan. Sama saja nantinya ia membahayakan dirinya sendiri.
Ashaline semakin mempercepat langkahnya. Hingga akhirnya, ia tiba ditaman belakang rumah sakit. Taman itu lumayan ramai, namun masih banyak tempat duduk yang terlihat kosong.
Ashaline memilih salah satu bangku, lalu mendudukkan dirinya disana.
Matanya menatap lurus kedepan. Mata hitam pekatnya terlihat berkaca-kaca. Dalam satu kedipan, mungkin semuanya akan luruh.
Mengapa rasa sakit itu kembali? Tak puaskah ia mendatangiku terus-terusan? Tak bosankah ia membuat dadaku terasa sesak terus menerus?
"Asha!" panggil seseorang.
Ashaline langsung mendongak, dengan mata yang tengah dibanjiri oleh cairan bening tersebut.
"Please, don't cry. You're strong!" bisik Ayra ditelinga Ashaline.
Ashaline langsung menghamburkan dirinya kedalam pelukan Ayra. Ia benar-benar merasa lemah. Ia tak kuat. Mengapa semuanya kembali menyakiti dirinya?
"Aku sudah berusaha untuk melupakan semuanya, Ra. But, i can't.." lirih Ashaline.
"Kamu tidak perlu bersusah payah untuk melupakan, Sha. Kamu hanya perlu untuk tidak mengingat semuanya. Bersikaplah seolah kamu tidak tahu apa-apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
ASHALINE
Teen FictionKisah ini akan menceritakan tentang kedekatan seorang ayah dengan anak perempuannya. Bagaimana mereka saling mengisi layaknya teman, sahabat, ayah, ibu dan semuanya terpadu menjadi satu.